Selasa, 23 Desember 2014

THALAQ



Oleh : Hendri Permana

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

     Islam mengatur keluarga dengan segala perlindungan dan pertanggungan syariatnya. Islam juga mengatur hubungan lain jenis yang didasarkan pada perasaan yang tinggi, yakni pertemuan dua tubuh, dua jiwa, dua hati, dan dua ruh. Dalam bahasa yang umum, pertemuan dua insan yang diikat dengan kehidupan bersama, cita-cita bersama, penderitaan bersama dan masa depan bersama untuk menggapai keturunan yang tinggi dan menyongsong generasi baru. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh dua orang tua secara bersama yang tidak dapat dipisahkan. (Azzam dan Hawwas, 2011 : 251)
     Dalam keluarga yang dibutuhkan adalah sebuah ketenangan (sakinah), kecintaan (mawadah) dan kasih sayang (rahmah). Ini sebuah indikasi yang seluruh manusia yang berkeluarga ingin menciptakannya, sehingga semua cita-cita dan harapan dalam memenuhi kehidupan berkeluarga tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan. Terkadang berbagai macam cara dilakukan untuk mendapatkan tiga unsur dalam pernikahan ini (sakinah, mawadah dan warahmah) oleh satu pihak (baik suami atau istri) atau kedua pihak ( suami dan istri).
     Anehnya, ketika tujuan dari sebuah pernikahan ini hanya ingin mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan jalan syariat atau peraturan syariat islam, maka muncullah sebuah permasalahan yang semestinya tidak boleh terjadi dalam sebuah pernikahan. Masalah tersebut hanya memberikan sebuah dampak yang bisa memberikan pengaruh negative kepada keluarga seseorang, bahkan yang menyedihkan dari akibat
permasalahan ini adalah terlahirnya seorang anak yang semestinya diberikan sebuah perhatian dan pendidikan oleh keluarga ( ayah dan ibu), kini dia harus merelakan dirinya terbengkalai oleh sebab perpisahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
     ketika muncul sebuah permasalahan dalam rumah tangga kejenjang perceraian, islam memberikan solusi yang harus dijalankan yaitu mengirimkan seorang hakin dari pihak suami dan istri untuk menyelesaikan permaslahan yang sedang terjadi. Jadi, ketika sebuah permasalahan muncul dalam keluarga, selayaknya jangan terburu-buru untuk mengambil langkah dengan menjatuhkan sebuah talak, dikhawatirkan akan terjadi sebuah penyesalan yang mengakibatkan hancurnya sebuah harapan kehidupan yang dicita-citakan.
            Jika jalan penengah ini masih tidak bisa didapatkan hasilnya, maka terpaksa jalan yang harus diambil adalah jalan talak, walaupun hal ini perkara halal yang di benci dalam islam seperti dalam hadits Nabi Muhammad Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai." (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal).
      Dalam pengambilan talak tidak bisa dilakukan sembarangan, ada waktu-waktu yang di sunnahkannya yaitu dalam keadaan suci dan belum dipergauli seperti dalam hadits Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang haid pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa iddahnya yang diperintahkan Allah untuk menceraikan Allah untuk menceraikan istri." (HR. Muttafaq Alaihi).
     Penulis dalam kesempatan ini akan mengupas tentang permasalahan talak, dimulai dari definisi, syarat dan rukunnya. Semoga dengan tulisan ini, banyak keluarga yang mengetahui hakikat talak dan mampu menjauhi perceraian dalam rumah tangganya, sehingga impian dan harapan untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan mawarahmah terlaksana dan terwujud sampai usia pernikahan yang sudah ditetapkan oleh Allah sang maha pengatur alam semesta raya ini.

 




B. Rumusan Masalah

      Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
      1.            Mengetahui definisi talak
      2.            Menjelaskan tentang hukum talak
      3.            Menjelaskan rukun-rukun talak
      4.            Bentuk-bentuk penjatuhan talak

C. Tujuan Penulisan

      Dalam penulisan makalah ini, penulis bermaksud untuk menjelaskan secara jelas tentang permasalahan talak dalam prespektif hukum agama islam, sehingga pembaca mampu mengetahui hakikat talak dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam permaslahan talak. Semoga dengan adanya sebuah tulisan ini akan memberikan gambaran secara global tentang hakikat pentingnya sebuah perhatian dalam setiap permasalahan dalam kehidupan keluarga, sehingga tidak mudah untuk berucap dan menjatuhkan talak kepada istri tercinta.
     


BAB II
PEMBAHASAN

A. definisi talak

     Menurut bahasa, talak berarti melepas tali dan membebaskan. Misalnya, ناقة طالقة  (unta yang terlepas tanpa diikat). Menurut syara’ adalah melepas tali nikah dengan lafal talak atau sesamanya. Menurut imam nawawi dalam bukunya Tahdzib, talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutuskan nikah. (Azzam dan Hawwas, 2011 : 255)
Dalam kitab kifayatul ahyar, Syekh Abu Syuja’ berkata :
وَالطَّلاَقُ ضَرْبَانِ : صَرِيْحٌ وَ كِنَايَةٌ
“ Talak itu ada dua macam : Dengan jelas dan Sindiran.” (Al Husaini, 2011 : 466)
     Lafal talak sudah ada sejak zaman jahiliyah. Syari’at islam datang untuk menguatkannya bukan secara spesifik untuk umat ini. Penduduk jahiliyah menggunakannya ketika melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali. Hadits diriwayatkan dari Urwah bin Zubair berkata : “ Dulunya manusia menalak istrinya tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang menalak istri, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian menalak lagi begitu seterusnya, kemudian kembali lagi dengan maksud menyakiti wanita, maka turunlah ayat 229 surat Al-Baqarah.
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
 “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecualai keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka jangan kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang dzalim.” (QS. Al-Baqarah : 229)
     Allah mensyariatkan talak dan menjadikannya sebagai hak prerogatif di tangan suami. Sebagian kalangan mengklaim bahwa kedudukan hak semacam ini akan menjadi faktor yang bisa membahayakan tata kehidupan sosial dan menghancurkan institusi keluarga. Statemen ganjil itu, menurut mereka, telah dikuatkan oleh kenyataan bahwa persentase kasus talak di Mesir (sebagai sampel) dinyatakan termasuk cukup tinggi jumlahnya hingga mencapai angka 30 %, bahkan lebih. Hal itu akan berujung pada meningkatnya jumlah anak-anak terlantar. Di sini kita mencoba mengklarifikasikan persoalan, dengan mengulas maksud hak prerogatif suami dalam talak dan menjelaskan benar tidaknya statemen di atas.
     Pertama, hak talak yang diberikan kepada suami tidak bebas begitu saja, tapi ada ketentuannya -baik yang bersifat psikologis atau kwantitatif- berkaitan dengan istri yang sudah digauli. Ketentuan-ketentuan tersebut di antaranya:
      1.            Suami tidak menjatuhkan talak kepada istri lebih dari satu kali talak raj'iy, yang mengandung pengetian bahwa suami berhak merujuk kembali istrinya selama masa idah atau membiarkannya tanpa rujuk. Alternatif kedua ini menandakan bahwa suami tidak lagi menyukai istrinya. Dan sebagaimana dimaklumi, tidak akan ada perkawinan tanpa didasari oleh rasa suka sama suka.
      2.            Suami tidak boleh mencerai istrinya jika sedang dalam masa haid, karena dalam kondisi seperti ini istri mudah marah. Di samping itu, selama masa haid wanita tidak bisa melaksanakan tugas (menuruti kehendak suami untuk melakukan hubungan seksual) seperti pada masa suci. Barangkali persoalan sepele ini justru sebagai hal yang melatarbelakangi perceraian.
      3.            Suami tidak boleh menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan suci tapi telah terjadi hubungan seksual pada masa itu.
     Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kasus perceraian di Mesir tergolong tinggi, kalau saja benar itu masih berada di bawah jumlah kasus yang terjadi di beberapa negara maju seperi Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Di sisi lain bahwa kasus-kasus semacam itu tidak seluruhnya berakibat pada perceraian yang mengakhiri perkawinan atau bubarnya sebuah rumah tangga.
     Dapat dijelaskan, bahwa talak yang terjadi sebelum suami berhubungan dengan istri tidak tergolong sebagai bencana, tapi justru sebagai upaya menghindari bencana itu sendiri. Sementara kita juga menemukan bukti bahwa kasus rujuk, kasus talak sebelum suami istri berhubungan, talak yang sama-sama dikehendaki oleh kedua belah pihak secara sukarela dan termasuk perkawinan yang diperbarui lagi sesudah talak, cukup besar jumlahnya. Kalau saja jumlah itu kita bandingkan dengan kasus talak yang 30% dan bersifat umum itu, maka persentase itu akan turun drastis sehingga kasus talak yang benar-benar berakhir dengan perpisahan suami istri hanya akan berkisar antara 1 sampai dengan 2% saja.
     Ketiga, menyangkut persoalan anak terlantar akibat perceraian orang tua bisa dipastikan tidak benar. Penelitian yang pernah dilakukan membuktikan bahwa kasus talak jarang sekali terjadi setelah kelahiran anak. Secara rinci dibuktikan bahwa 75% kasus talak terjadi pada pasangan muda yang belum mempunyai keturunan, dan 17% terjadi pada pasangan suami istri yang mempunyai tidak lebih dari seorang anak. Persentase itu semakin menurun sebanding dengan bertambahnya anak hingga mencapai 0,25% pada pasangan suami istri yang mempunyai lima orang anak atau lebih.
     Dari hasil penelitian ini sepertinya tidak ada lagi bukti yang menguatkan bahwa keterlantaran anak itu sebagai akibat dari talak. Justru yang benar adalah bahwa problem anak terlantar itu diakibatkan oleh lemahnya pengawasan orangtua dalam pendidikan anak. Hal itu diperkuat oleh hasil penelitian lain bahwa kasus kriminalitas lebih banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian edukatif orangtua dan bukan faktor perceraian.
     Dalam ayat lain Allah shubhanahu wata’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru." [Ath-Thalaaq: 1]
     Dari ayat di atas sangat jelas sekali bahwa talak itu sesuatu yang dibolehkan oleh syariat, namun ada sebuah peraturan yang wajib menjadi sebuah pegangan kaum muslimin, yaitu mentalak seorang istri harus di dahului dengan sebuah usaha atau proses perbaikan rumah tangga dengan mendatangkan dua orang hakim, kedua hakim tersebut harus mewakili dari kedua belah pihak, yakni dati pihak suami dan pihak istri. Tujuannya, supaya tidak dengan mudahnya orang melakukan perceraian.
     Talak dalam islam dibatasi tiga kali saja, dua kali masih bisa melakukan rujuk, adapun yang ketiga kalinya harus mendatangkan seorang penghalal (muhalil) untuk dinikahi kembali. Inilah islam, dengan begitu indahnya mengatur system kehidupan dalam masyarakat, agar tercipta sebuah keluarga yang benar-benar menciptakan suasana sakinah, mawaddah warahmah. Dengan demikian, janganlah mudah untuk mengucapkan kata talak, baik kata talak dengan sharih (jelas) atau hanya dengan sebuah kinayah ( sindiran).

B. Hukum Talak

      Para ulama berbeda pendapat dalam masalah talak. Pendapat yang paling kuat adalah makruh, apabila penjatuhan talaknya dengan tidak memiliki hajat yang menyebabkan jatuhnya talak tersebut, Karena dengan penjatuhan talak, berarti mengindikasikan kufur terhadap nikmat dari Allah shubhanahu wata’ala. Pernikahan adalah suatu nikmat dari Allah yang diberikan kepada makhlukNya, menjatuhkan talak berarti menolak sebuah nikmat dari Allah, dengan penolakan nikmat ( kufur) dari apa yang diberikan oleh Allah, maka hukumnya menjadi haram.
     Talak hukumnya tidak halal bagi seorang suami yang hanya mencari sebuah kesenangan belaka, karena talak ini hanya diperbolehkan ketika kondisi suatu keluarga benar-benar tidak memungkinkan untuk diperbaiki kembali dengan berbagai macam cara yang sudah dilakukan, hukum talak akan berubah jika talak ini dilakukan benar-benar akibat sebuah persoalan yang tidak bisa diselesaikan lagi, maka hukum talak berubah dari boleh menjadi haram.
     Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tentang hukum talak secara rinci. Menurut mereka hukum talak terkadang wajib dan terkadang haram dan sunnah. Al-Baijarami berkata: “ Hukum talak ada lima, yaitu adakalanya wajib seperti talaknya orang yang bersumpah ilaa (bersumpah tidak mencampuri istri) atau dua utusan dari keluarga suami dan istri, adakalanya haram seperti talak bid’ah, dan adakalanya sunnah seperti talaknya orang yang lemah, tidak mampu melaksanakan hak-hak pernikahan. Demikian juga sunnah, talaknya suami yang tidak ada kecenderungan hati kepada istri, karena perintah salah satu dari dua orang tuanya yang bukan memberatkan, karena buruk akhlaknya dan ia tidak tahan hidup bersamanya, tetapi ini tidak mutlak karena umumnya wanita seperti itu.” Rasulullah telah mengisyaratkan dengan sabdanya: wanita yang baik seperti burung gagak yang putih kedua sayap dan kedua kakinya. Hadits ini sindiran kelangkaan wujudnya Al-A’shamm artinya putih kedua sayapnya atau kedua kakinya dan atau salah satunya. ( Azzam dan Hawwas, 2011 : 258)
     Di dalam kitab kifayatul ahyar, syekh Abu Syuja’ memberikan pandangan bahwa ada dua macam wanita di dalam talak, yaitu sebagai berikut :
      1.            Menalaknya bisa sunnah dan bisa bid’ah, yaitu wanita yang masih bisa mengalami haid.
                               a.            Yang sunnah ialah menjatuhkan talak ketika wanita itu dalam keadaan suci yang pada saat suci itu tidak pernah disetubuhi.
                              b.            Yang bid’ah ialah menjatuhkan talak ketika wanita sedang haid, atau ketika suci tetapi pada saat itu pernah di setubuhi.
      2.            Menalaknya tidak sunnah dan tidak bid’ah, yaitu kepada empat macam wanita :
                               a.            Istri yang masih kecil (belum pernah haid)
                              b.            Istri yang sudah tidak bisa haid lagi
                               c.            Istri yang hamil
                              d.            Istri yang dikhuluk yang tidak pernah disetubuhi suami.
     Para ulama dahulu dan sekarang selalu menyifati talak dengan sunnah dan bid’ah. Ada dua istilah dalam memberikan dua pengertian tersebut :
     Pertama, sunnah ialah tidak haram menjatuhkannya, sedangkan bid’ah ialah haram menjatuhkannya. Menurut istilah yang pertama ini, tidak ada pembagian lagi selain sunnah dan bid’ah.
     Kedua, yaitu yang berlaku umum dan diikuti oleh pengarang, adalah sebagai berikut :
  ü   Talak yang sunnah ialah mentalak istri yang sudah disetubuhi namun tidak hamil, bukan istri yang masih kecil (belum pernah haid) dan bukan istri yang tidak bisa haid lagi.
  ü   Talak yang bid’ah ialah mentalak istri yang sudah disetubuhi, pada saat talak itu istri sedang haid atau sedang nifas atau pada saat suci yang pada saat suci itu pernah disetubuhi dan tidak jelas hamilnya.
  ü   Tinggal satu bagian lagi, yaitu talak yang tidak sunnah dan tidak bid’ah, misalnya menalak istri yang belum pernah disetubuhi, istri yang sedang hamil, istri yang sudah tidak bisa haid lagi dan istri yang masih kecil. (Al-Husaini, 2011 : 477-478)
     Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa talak itu terbagi menjadi 3 bagian, talak yang bersifat sunnah, talak yang bersifat bid’ah dan talak yang bersifat tidak sunnah dan tidak bidah.
     Talak Sunnah yaitu seorang suami mentalak isterinya yang telah dicampuri dengan satu talak, dalam keadaan suci dan pada masa itu ia tidak mencampurinya.Allah Ta’ala berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (Al-Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." (Ath-Thalaaq: 1)
     Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak isterinya yang sedang dalam keadaan haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.
“Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan isteri.” (HR. Mutafaq Alaih)
     Adapun Talak yang bid’ah, yaitu talak yang menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau seorang suami melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis, seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”, atau ucapannya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.”
     Terakhir talak yang tidak sunnah dan bid’ah atau disebut juga talak mubah , talak mubah adalah talak karena hajat seperti akhlak wanita yang tidak baik, interaksi pergaulannya yang tidak baik dan merugikan. Apabila pernikahannya dilanjutkanpun tidak akan mendapat tujuan apa-apa.

C. Rukun-rukun Talak

     Dalam talak harus diperhatikan pula rukun-rukunnya, karena ini sebuah syariat yang mengatur muamalah antar sesama manusia, sehingga bisa jadi seseorang menghendaki sebuah talak, namun disebabkan tidak terpenuhinya sebauh rukun, maka tidak jatuhlah talak tersebut, atau malah sebaliknya, seseorang menghendaki tidak terjadinya sebuah talak, namun Karena perbuatannya telah memenuhi sebuah rukun-rukun talak, maka jatuhlah kepadanya sebuah talak. Rukun talak itu ada 3 bagian, sebagai berikut :
1.      Mukallaf
2.      Istri yang ditalak
3.      Ucapan (lafal) yang digunakan untuk mentalak
     Ketika 3 rukun ini terpenuhi, maka telah jatuhlah talak bagi seorang istri dari suaminya.
1. Mukallaf
     Ulama telah sepakat bahwa rukun dari jatuhnya talak adalah mukallaf, maksudnya adalah seorang suami yang menjatuhkan talak tersebut berakal dan baligh. Tidak syah talak seseorang yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, mabuk dan tidur, baik talak yang dilakukannya itu secara jelas (sharih) atau hanya dengan sindiran (kinayah). Sesungguhnya talak akan diterima manakala dilakukan oleh ahli talak, yaitu berakal, baligh, dan pilihan sendiri. Seperti dalam hadits dikatakan : “ Setiap talak itu boleh kecuali talaknya orang yang kurang akalnya.” (HR. At-Tirmidzi dan Bukhari secara mauquf)
     Selain mukallaf yang dikecualikan, ada juga seorang pemabuk dengan sengaja, maksudnya ia adalah seorang peminum khamr dan dia mengetahui bahwa yang diminumnya adalah khamr yang dapat memabuknya, katika dia menjatuhkan sebuah talak, maka talaknya akan terjadi meskipun dia dalam keadaan mabuk, karena kesalahannya dengan sengaja menghilangkan akal, maka ia dijadikan seperti berakal. Hukum yang digunakan adalah hukum wadh’I, yakni penetapan hukum yang berkaitan dengan sebab. (Azzam dan Hawwas, 2011 : 262)
2. Istri yang ditalak
     Salah satu rukun talak adalah adanya seorang istri yang ditalak. Bagaimana talak akan jatuh terhadap seseorang istri, jika seorang laki-laki tidak memiliki istri ? maka rukun dari jatuhnya talak adanya seorang istri yang sudah dinikahi oleh seorang suami.
3. Lafal yang digunakan untuk mentalak
Talak akan jatuh jika di ucapkan oleh seorang suami terhadap istrinya, tidaklah jatuh sebuah talak yang hanya berada dalam niat saja. Namun, seandainya seorang suami menggerakkan mulutnya dengan maksud talak, tetapi hanya diucapkan secara berbisik dan tidak terdengar oleh dirinya sendiri, maka ada dua pendapat yang di katakan oleh Al-Muzani :
1)      Talaknya jatuh karena yang demikian itu lebih kuat daripada talak sindiran dengan disertai niat;
2)      Talaknya tidak jatuh, karena suara berbisik tersebut dianggap bukan perkataan. Atas dasar ini pula, jika seseorang hendak melaksanakan shalat, disyaratkan untuk mengeraskan bacaanya minimal didengar oleh dirinya sendiri.
Imam nawawi mengatakan : “ Yang lebih jelas adalah pendapat kedua (talaknya tidak berlaku), karena ucapan yang tidak bisa didengar oleh diri pengucap sindiri hukumnya sama dengan kategori niat aja. Lain dengan talak sindiran, Karen jatuhnya talak itu harus dengan ucapan yang bisa dipahami. Sedangkan dalam hal ini tidak ada yang  bisa dipahami.” (Al-Husaini, 2011 : 466-467)
     Lafal talak itu adakala nya sharih (jelas) dan adakalanya kinayah (sindiran).
     Lafal talak yang sharih (jelas) adalah lafal yang bisa mengakibatkan jatuhnya talak tanpa tergantung kepada niat, karena lafal tersebut memang dijadikan oleh pembuat syariat (yaitu Allah) untuk mengatakan talak.
     Lafal talak kinayah (sindiran) ialah lafal yang tergantung terhadap niat. Demikian ini menurut ijmak para ulama. Lafal talak dengan sindirian tidak mengakibatkan jatuhnya talak, jika tidak dibarengi dengan niat talak.
Syekh abu syuja’ berkata : talak yang sharih (jelas) itu lafalnya ada 3 :
       a.            Dengan kata-kata talak
      b.            Dengan kata-kata cerai
       c.            Dengan kata-kata lepas
     Talak dengan menggunakan lafal sharih tidak memerlukan niat.
     Kata firaq (cerai) dan sarah (lepas) termasuk kategori sharih, karena dua kata tersebut berlaku di dalam Alquran bermakna talak.
وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلاً ( الاحزاب : 49 )
Artinya :” …. Dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya…” (QS. Al-Ahzab : 49)
Diriwayatkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang talak yang ketiga, beliau menjawab :
أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ (رواه الدرقطنى)
Artinya :” Atau menceraikan dengan baik.” (HR. Al-Daruquthni)
Al-Daruquthni membenarkan bahwa hadits ini mursal, tetapi ibnul Qaththan menganggap hadist shahih.
     Menurut kaul qadim, kata firaq dan sarah termasuk kinayah (sindiran). Karena dua kata tersebut disamping dipergunakan untuk pernyataan talak, kata ini juga dipergunakan untuk selain talak, maka kata ini hampir menyerupai kata dzahir. Adapun menurut kaul jaded, dua kata tersebut (firaq dan sarah) termasuk kepada arti yang pertama ( yakni sharih bukan sindirin).
Dalam buku fiqh munakahat dijelaskan bahwa talaq tidak sah bagi orang yang dipaksa atau terpaksa, dengan alasan hadits nabi shalallahu alaihi wasallam:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطَّاءُ وَ النِسْيَانُ وَمَا اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ
“ terangkat dari umatku kesalahan, lupa dan dipaksa.”
Paksaan adalah sebuah perbuatan yang tidak benar, karena paksaan mengungkapkan perkataan kufur (terpaksa) dalam mengucapkannya, bukan benar-benar dari dalam hati atau niat untuk mentalak seorang istri.
Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
لاَطَلاَقَ فِي إِغْلاَقِ
“ tidak ada talak sah pada orang yang tertutup”
     Maksud tertutup disini adalah orang yang terpaksa dalam pengucapannya, tidak mampunya seseorang karena paksaaan, sehingga dia harus mengucapkan sesuatu yang dirinya sendiri tidak menginginkan kata-kata tersebut terucap dari bibirnya, yaitu perkataan talak. Adapun jika paksaaan tersebut dimaksudkan dalam kebenaran, seperti pemaksaan seorang hakin kepada suami yang mengharuskan dia bertalak, maka hukum paksaan ini di sahkan dan dibenarkan.
Ungkapan dalam talak ada 2 macam, yaitu talak dengan ucapan sharih (jelas) dan ucapan sindiran (kinayah).
1. ucapan talak dengan bahasa sharih (jelas)
     Jika seseorang berniat mentalak istrinya di dalam hati tanpa di ucapkan atau semacamnya, maka tidak jatuh talak menurut keumumam para fuqaha. Diantarnya seperti Atha’, Jabir bin Zaid, Said bin Jubair, Yahya bin Abi Katsir, Asy-Syafi’I, Ishak, Al-Qasim, Salim, dan Al-Hasan. Namun berbeda dengan pendapat Zubair dan Ibnu Sirin, dimana mereka berpendapat bahwa sebuah talak tanpa diucapkan, jika hal itu didasari oleh azam (keinginan) untuk mentalak istri, maka hal ini menimbulkan jatuhnya talak kepada istri. Bahkan Ibnu Sirin mengatakan “ Tidakkah Allah mengetahuinya”.
Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat dengan membawakan hadits nabi:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا خَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“ Sesungguhnya Allah melewati umatku (tidak ada sanksinya) apa yang dikatakan hati selagi belum dikerjakan atau belum diungkapkan.” (HR. Al-Bukhari, An-Nasa’I, dan At-Tirmidzi)
     Contoh lafadz talak yang diungkapkan secara sharih (jelas):
1)      Hai orang yang tertalak (يا طالق)
2)      Wanita tertalak (مطلّة)
3)      Engkau seorang tertalak(أنْتِ طالقة)
4)      Aku talak engkau( طَلَّقْتُكِ)
     Semua lafal diatas menunjukan sebuah ungkapan talak yang sharih (jelas), wanita tertalak dengan ungkapan-ungkapan tersebut, ungkapan ini baik di ucapkan secara sengaja atau tidak sengaja, karena selama seorang suami tersebut memahmi maksud dari kata-kata tersebut. Dalam sebuah hadits dikatakan:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ حَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ حَدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرّجْعَةُ
“ ada tiga perkara kesungguhannya menjadi sungguh-sungguh dan bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh, yakni talak, nikah dan rujuk.”
     Jika seseorang mengatakan hal-hal diatas (ungkapan talak) namun maksudnya yang lain, hanya saja lisannya mengucapkannya, maka tidak diterima perkataan orang tersebut karena menyalahi lahirnya. Hal ini urusan antara dirinya dengan Allah Karena bisa saja diartikan seperti pengakuannya, seperti dalam hadits Rasulullah, beliau bersabda:” Aku menghukumi yang lahir dan Allahlah yang menguasai yang tersembunyi.”




2. ungkapan talak dengan sindiran (kinayah)
     Lafal talak sindiran (kinayah), yaitu suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau yang lain. Berikut adalah contoh-contoh ungkapan sindiran yang menyebabkan jatuhnya sebuah talak, diantaranya :
1)      Engkau bebas
2)      Engkau terputus
3)      Engkau terpisah
4)      Melanggarlah
5)      Bebaskan rahimmu
6)      Pulanglah ke orang tuamu
7)      Talimu terhadapku keanehanmu
8)      Jauhkan aku
9)      Pergilah
10)  Dan lain-lain.
     Jika seseorang berkata kepada istrinya : “ Aku memerdekakan engkau atau engkau merdeka “ dan berniat talak, maka terjadilah talak. Demikian juga perkataan seseorang kepada hambanya : “ Engkau saya talak “ dengan niat talak terjadilah pemerdekaan dan ia merdeka.
     Beberapa masalah, perkataan seorang suami terhadap istri: “ Engkau terhadapku haram atau aku haramkan engkau “ adalah sebuah sindiran, mungkin saja diartikan sebuah talak atau hanya sebuah dzihar (penyerupaan istri dengan mahram suami). Ada beberapa kemungkinan makna ungkapan tersebut, yakni sebagai berikut:
       a.            Jika ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut Karena mengandung arti haram sebab talak. 
      b.            Jika diniatkan sebagai dzihar, maka jatuhlah dzihar karena dzihar menuntut keharaman sampai kekufuran.
       c.            Jika seseorang meniatkan keduanya secara bersamaan (talak dan dzihar), maka seseorang itu diperbolehkan memilih salah satunya dan terjadilah apa yang dipilih oleh seseorangnya. Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang terkuat adalah talak, Karen alasan talak lebih kuat dalam melenyapkan kepemilikan. Pendapat lain mengatakan bahwa jatuh dzihar, karena asalnya adalah tetapnya sebuah pernikahan. Keduanya tidak terjadi secara bersamaan, karena talak menghilangkan nikah, sedangkan dzihar menyebabkan talak.
      d.            Jika ia tidak berniat apapun, maka tidak terjadi apapun juga (tidak talak dan tidak dzihar), karena perkataan tersebut tidak mengandung perkataan tegas, sedangkan sebuah sindiran memerlukan sebuah niat yang membantu sebuah maksud dari lafal.
       e.            Jika ia berniat dengan ucapannya: “ Engkau terhadapku haram atau keharamanmu seperti keharaman matanya atau seperti farajnya dan atau seperti menggaulinya “. Ungkapan ini tidak menunjukan sebuah keharaman, tetapi wajib membayar sebuah kaffarah sumpah. Kewajiban kaffarah sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan : “ Rasulullah bersumpah ilaa terhadap sebagian istrinya, kemudian beliau jadikan yang haram menjadi halal dan beliau jadikan sumpah dengan kaffarah.”
       f.            Jika ia mengatakan ungkapan demikian dan tidak ada niat sesuatu, apakah ia wajib membayar kaffarah ? jawabannya ada dua pendapat ; pertama, wajib membayar kaffarah, berdasarkan lafalnya yang tegas dalam mewajibkannya. Kedua, tidak wajib kaffarah,  berdasarkan lafalnya yang tidak tegas. (Azzam dan Hawwas, 2011 : 264-272)
     dalam pembagian ungkapan talak yang terbagi menjadi 2 macam, yaitu talak sharih dan talak kinayah, ada pula beberapa cara dalam mengungkapkan talak, seperti dengan tulisan dan dengan isyarat. Dalam ungkapan-ungkapan diatas, walaupun dilakukan dengan hanya sebuah tulisan atau sebuah isyarat, jika dia berniat dan menghendaki sebuah perceraian, maka akan jatuhlah sebuah talak bagi seorang istri.

D. Macam-Macam Talak

Talak memiliki macam-macamnya yang perlu diperhatikan, ini memberikan sebuah gambaran untuk membedakan talak mana yang masih bisa di rujuk (kembali) atau talak mana yang tidak bisa di rujuk, bisa rujuk namun harus menghadirkan seorang muhalil (yang menghalalkan) yang menikahi istrinya setelah mendapatkan talak tiga. Berikut ini macam-macam talak :
1.      Talak raj’I, yakni talak yang jatuh kepada istri untuk pertama dan kedua, sehingga seorang suami masih bisa rujuk (kembali) kepada pangkuan istrinya tanpa harus melakukan pernikahan terlebih dahulu. Dalam talak ini seorang suami wajib memberikan nafkah sampai habis masa iddahnya, tidak boleh seoarang istri keluar rumah atau seorang suami mengeluarkan istrinya dari rumah. Sebagaimana dalam firman Allah yang artinya,” wahai Nabi ! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.” (QS.At-Thalak: 1)
2.      Talak ba’in, yaitu talak yang tidak membolehkan seorang suami untuk rujuk kembali kepada istrinya, kecuali seorang istri sudah menikah dengan laki-laki lain (muhalil), kemudian mereka terjadi sebuah percerain dan telah melakukan hubungan badan. Maka hal ini boleh seorang suami pertama menikahinya kembali setelah masa idahnya selesai. Dalam talak ini (talak ba’in) seorang istri tidak mendapatkan hak-haknya sebagai seorang istri, yaitu tidak memperoleh tempat tinggal (rumah) dan nafkah. Dalam hadits dari Fatimah binti qois, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang talak tiga, beliau bersabda:” tidaklah bagi wanita (yang ditalak tiga) itu mendapatkan tempat tinggal dan tidak pula mendapatkan nafakah.” (HR. Muslim).
3.      Talak Sunni, yaitu talak yang diperbolehkan kepada seorang suami untuk mentalak istrinya yang masih suci dan masih belum dicampuri selama masa sucinya.
4.      Talak Bad’I, yaitu talak yang dilarang dijatuhkan kepada seorang istri, dimana istri dalam keadaan haid atau seorang istri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri.
Demikianlah penulis dapat penjelasan tentang macam-macam talak, semoga dengan mengetahui macam-macam talak dan bentuk-bentuk penjatuhan talak, pembaca mampu menghindari sebuah perbuatan yang halal namun Allah benci ini, sehingga dalam menjalani kehidupan berkeluarganya tercipta sebuah kehidupan yang harmonis dan mensejahterakan.


5.       

BAB III
PENUTUP

A.     Ringkasan

Islam sebagai agama yang sempurna dan sebagai risalah terakhir yang turun kepada manusia mulia yakni nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, mengatur setiap aspek kehidupan manusia yang memiliki akal untuk menjalani kehidupan yang mulia, yang memberikan kenyamanan dan keamanan. Begitu pula dalam masalah kehidupan berkeluarga, syariat islam sangat memperhatikan permaslah ini, sehingga memberikan sebuah aturan yang dapat menjadikan sebuah pegangan bagi kaum muslimin dalam menjalankan kehidupan berkeluarga, karena berkeluarga ini sebuah kehidupan yang menyatukan dua insan yang memiliki latar dan sifat yang berbeda, maka layaklah bagi orang yang hendak berkeluarga mempelajari dulu aspek-aspek yang menjelaskan tentang hal-hal dalam berkeluarga, salah satunya adalah talak.
Talak sudah ada sejak zaman jahiliyah, islam datang untuk menguatkan dalam proses menjalankannya bukan datang hanya memberikan sebauh syariat baru bagi umat ini, oleh sebab itu, islam memberikan sebuah mengaturan yang lebih spesifik ketika terjadi sebuah pertalakan.
Dalam pengucapan terjadi dua macam, ada yang bisa menjatuhkan langsung kepada talak walaupun tanpa niat dan hanya bercanda saja, pengucapan talak ini dinamakan dengan pengucapan talak secara sharih. Sedangkan ada pengucapan talak yang tidak menjatuhkan terhadap talak, jika maksud pengucapan ini tidak dibarengi dengan sebuah niat, apabila pengucapan tersebut dibarengi dengan sebuah niat pentalakan, maka jatuhlah talak tersebut, pengucapan seperti ini dinamakan dengan kinayah (sindiran).
Ketika penjatuhan talak terjadi, maka seorang suami dan istri akan terbagi kepada 4 keadaan, diantaranya :
1.      talak raj’i
2.      talak ba’in
3.      talak sunni
4.      talak bad’i

B.     Saran

Bahayanya talak bagi kelangsungan pernikahan seseorang, maka selayaknya kepala keluarga harus bisa menjaga keutuhan keluarga dengan selalu memberikan perhatian pernuh dan juga berhati-hati dalam berucap. dalam pernikahan harus saling percaya satu sama lainnya, sehingga keutuhan keluarga akan selalu terjaga dan selalu tercipta suasana harmoni.
Ada hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjaga keutuhan kehidupan keluarga, diantaranya sebagai berikut :
1.      Selalu tumbuhkan saling percaya satu sama lainnya dan jauhi curiga yang berlebihan;
2.      Berikanlah sapaan yang mampu menyenangkan suami atau istri walaupun dalam sesibuk yang dijalani;
3.      Luangkan waktu untuk mengajak keluarga untuk menikmati liburan, dan jalan-jalan dalam rangka menghibur dan menghilangkan kejenuhan;
4.      Bantulah tugas rumah tangga agar dapat memberikan ketenangan dan pasangan merasa tidak terbebani oleh aktivitas yang selalu dia lakukan.



Daftar Pustaka

1.      Al quranul karim. 2005. Bandung: PT. Syamil Cipta Media
2.      Azzam, Abdul Aziz dan Hawwas, Abdul Wahab. Fiqh Munakahat. 2011. Jakarta : Amzah
3.      Al Husaini, al imam taqiyuddin abu bakar. Kifayatul akhyar. 2011. Surabaya: PT. Bina Ilmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar