Sabtu, 20 Desember 2014

STATUS ANAK HASIL PERZINAHAN



Oleh : Hendri Permana

 

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Shubhanahu Wata’ala, yang telah memberikan berbagai kemudahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan selalu kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam., yang telah membawa umat manusia dari kegelapan kepada cahaya terang menderang.
Penyusunan makalah  ini dapat di selesaikan penulis berkat adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis menyampaikan terima kasih yang tiada terhingga dari lubuk hati yang paling dalam kepada :
1.      Yth. Bapak Dr. H. Fadlil Munawwar Manshur, M.S., Rektor Institut Agama Islam Darussalam (IAID) dan Pengasuh Pondok Pesantren Modern  Darussalam Ciamis;
2.      Yth. Bapak Dede Husni Mubarok S.H, M.Pd.I . Sebagai dosen kami dalam mata kulih fikih jinayah
3.      Keluarga tercinta kami  yang telah memberikan do’a dan motivasinya setiap waktu, yang sangat berharga dan dibutuhkan oleh penulis, khususnya dalam penyusunan makalah ini; dan
4.      Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dorongan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah Shubhanahu Wata’ala. memberikan pahala yang sebaik-baiknya kepada mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
makalah ini tentu masih terdapat banyak kekurangan.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan sumbangsih pemikiran dari semua pihak.Mudah-mudahan penyusunan makalah ini diridhai Allah Shubhanahu Wata’ala., dan hasilnya dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Ciamis, 06 desember 2014

                                    Penulis








BAB I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Kehidupan social tak lepas dari sebuah peraturan-peraturan yang mengatur untuk menuju sebuah kehidupan yang aman dan tentran, sehingga manusia perlu memperhatikan peraturan tersebut, agar mendapatkan sebuah kehidupan yang indah, aman, damai, dan tentran tersebut. Peraturan tersebut ada yang berupa hukum adat yang sudah dijalankan oleh masyarakat, hukum Negara yang dijalankan oleh suatu pemerintahan, dan hukum agama yang dijalankan bagi kearifan seluruh alam (Rahmatan lil ‘alamiin).
Islam datang mengatur segala bentuk interaksi, baik interaksi dengan sang pencipta (hablum minallah) atau interaksi antar sesame manusia (hablum minnas). Seperti halnya dalam masalah pernikahan, islam mengatur sedemikian rupa agar manusia itu mendapatkan sebuah hak yang sepatutnya dia dapatkan, seperti hak nasab, hak pengakuan, dan hak waris. Oleh sebab itu, peraturan yang ada dalam agama islam ini yang diterangkum dalam dua kitab pusaka, yaitu Al-Quran dan Hadits, memberikan sebuah peraturan yang mencangkup seluruh kebahagian yang di dambakan oleh semua manusia yang menganut berbagai macam agama.
Dalam kehidupan masyarakat yang heterogen tingkat keilmuan dan pergaulan sehari-hari, terkadang hal tersbut akan menimbulkan sebuah masalah yang harus dicarikan sebuah solusi yang bisa memberikan kemaslahatan bagi korban ataupun dari pelaku, namun hal ini bukan berarti untuk memberikan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan sebuah hukum larangan dalam islam, namun hal ini untuk menjadikan korban yang tidak berdosa dan tidak pernah ada sebuah keinginan untuk menjadi objek dalam sebuah hukum itu merasa diberlakukan tidak adil oleh sebuh syariat, terkhusus korban tersebut adalah seorang muslim.
Seperti halnya anak yang dihasilkan oleh perzinahan, dimana anak yang di lahirkan tidak menginginkan hal tersebut terjadi kepada dirinya, namun hal ini sudah menjadi sebuah takdir dari illahi sang pencipta manusia, sehingga hal ini menjadikan pelajaran berharga bagi manusia lainnya untuk memperhatikan permasalahan hukum yang akan diterima, baik hukum masyarakat (adat) atau hukum agama yang sifatnya mutlak. Anak yang hasil dari perzinahan jelas harus dicarikan sebuah solusi dalam memberikan pernasaban bagi dirinya, begitu juga untuk masalah hak waris dari orang tuanya. Agar anak tersebut dalam kehidupannya bisa menjalankan dengan penuh keyakinan bahwa hal itu bukan apa yang ia inginkan, namun sudah menjadi kehendak tuhan bahwa dia terlahir dari perzinahan, karena perzinahan ini bisa disebabkan karena terpaksa atau bahkan kekhilafan yang orang tuanya lakukan.
Dalam pembahasan masalah ini, para ulama sudah jauh-jauh hari membahas tentang keadaan seperti ini, bahkan diantara mereka berselisih dalam penetapan hukumnya, dikarenakan ada beberapa factor yang masih perlu diperhatikan, diantarnya:
1.      Bagaimanakah pernikahan yang harus dilakukan bagi orang yang melakukan perzinahan terlebih dahulu ?
2.      Apakah anak yang dihasilkan dari hasil perzinahan dinasabkan kepada ibunya ataukah kepada bapaknya ?
3.      Bagaimanakah masalah perwarisannya, apakah dia (anak hasil perzinahan) itu  mendapatkan hasil sebagaimana anak sah (bukan hasil perzinahan) ?
Dengan permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk membahas hal ini. Sehingga penulis mampu melihat dari beberapa aspek yang akan menjadi sebuah bahan penunjang untuk memperluas sebuah pengetahuan penulis dalam aspek-aspek hukum terhadap status anak yang dihasilkan dari perzinahan, oleh sebab itu, maka penulis membentuk rumusan maslah agar dalam penulisannya bisa lebih terperinci dan terfakus.

1.      Defenisi perkawinan
2.      Hukum wanita hamil di luar nikah
3.      Perkawinan wanita hamil di luar nikah
4.      Kedudukan anak luar nikah
5.      Hukum perwarisan bagi anak di luar nikah


C.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan hukum perkawinan diluar nikah
2.      Menjelaskan status anak dari hasil perzinahan
3.      Menjelaskan status kewarisan bagi anak hasil dari perzinahan

D.    Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui hukum perkawinan di luar nikah
2.      Mengetahui status anak hasil dari perzinahan
3.      Mengetahui status kewarisan bagi anak hasil perzinahan

E.     Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis lakukan sebagai berikut
1.      Penelitian pustaka, yaitu pengumpulan data-data yang di ambil dari buku-buku referensi hukum islam baik yang klasik maupun modern
2.      Wawancara, metode ini penulis lakukan dengan cara mewawancarai ketua bagian kantor urusan agama (KUA) kecamatan cisaga

F.     Sistematika Penulisan










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan

Menurut bahasa, pernikahan adalah  الـنـكاح هـو فى الـلّـغـة الـضـمُّ والـجـمع artinya menghimpun atau berkumpul.
Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan keajiban diantara keduanya.
Dalam UU NO 1 TAHUN 1974 BAB 1 Pasal 1 : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahan Yang Maha Esa” .
Menurut Dr. Zakiyah Darajat : Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafad nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya.
Dan menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam),” Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”

B.     Dasar Hukum Pernikahan

1.      Al-Qur’an

1)      Az-zariyat Ayat 49
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
" Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah."
2)      An-Nisa ayat 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً  وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  ﴿النساء:١﴾
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
3)      An-Nahl Ayat 72
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“ Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan curu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah.”

2.      Hadits

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq Alaihi.)
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ:لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku."
 (Muttafaq Alaihi)
وَعَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا
, وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ  (رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ)
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَةِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.

وَعَنْهُ ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَّأَ إِنْسَانًا إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ : ( بَارَكَ اَللَّهُ لَكَ , وَبَارَكَ عَلَيْكَ , وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila mendoakan seseorang yang nikah, beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَلسَّاعِدِيِّ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي , فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ اَلنَّظَرَ فِيهَا , وَصَوَّبَهُ , ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأْسَهُ , فَلَمَّا رَأَتْ اَلْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ , فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ. فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا. قَالَ : فَهَلْ عِنْدكَ مِنْ شَيْءٍ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ : اِذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ , فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا ? فَذَهَبَ , ثُمَّ رَجَعَ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَذَهَبَ، ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ : لَا وَاَللَّهِ , يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ , وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي - قَالَ سَهْلٌ : مَالُهُ رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ ? إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ فَجَلَسَ اَلرَّجُلُ , وَحَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ ; فَرَآهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُوَلِّيًا , فَأَمَرَ بِهِ , فَدُعِيَ لَهُ , فَلَمَّا جَاءَ. قَالَ : مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ? قَالَ : مَعِي سُورَةُ كَذَا , وَسُورَةُ كَذَا , عَدَّدَهَا فَقَالَ : تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ ? قَالَ : نَعَمْ , قَالَ : اِذْهَبْ , فَقَدَ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( اِنْطَلِقْ , فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا , فَعَلِّمْهَا مِنَ الْقُرْآنِ ) وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( أَمْكَنَّاكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ )
Sahal Ibnu Sa'ad al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang wanita menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian beliau menganggukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: "Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Pergilah ke keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu." Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi." Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai hafalan Qur'an?" Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan itu. Beliau bertanya: "Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?" Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat: Beliau bersabda padanya: "berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur'an." Menurut riwayat Bukhari: "Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur'an yang telah engkau hafal."

3.      Itihad

Meskipun Al-Qur’an dan Sunah Rasul telah memberikan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan secara terperinci, dalam beberapa masalah pemahaman tentang masalah-masalah itu seringkali memerlukan adanya pemikiran para fuqaha. Disamping itu, didalam hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya secara jelas dalamAl-Qur’an dan Sunah Rasul diperlukan adanya Ijtihad untuk memperoleh ketentuan hukumnya.
Misalnya, Ijtihad sahabat Ali tentang masa Idah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya. Menurut Beliau, ketentuan habis masa Idah perempuan hamil dengan melahirkan kandungan itu adalah bagi perempuan yang ditalak, bukan untuk perempuan yang ditinggal mati suaminya.  Al-Qur’an menetukan masa Idah perempuan yang ditinggal mati suaminya selama 4 bulan 10 hari. Dengan demikian, sahabat Ali berpendapat bahwa masa Idah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya adalah mana yang lebih panjang antara melahirkan dan 4 bulan 10 hari. Apabila anak lahir sebelum cukup waktu 4 bulan 10 hari dari kematian suami, masa idahnya adalah 4 bulan 10 hari; apabila setelah cukup 4 bulan 10 hari anak masih belum lahir juga, masa idahnya sampai melahirkan.
Pendapat sahabat Ali itu tidak disetujui oleh sahabat Umar. Beliau berpendapat bahwa masa Idah telah habis apabila perempuan telah melahirkan, meskipun belum cukup 4 bulan 10 hari.
Hal yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul, tetapi memerlukan ketentuan hukum dengan Ijtihad misalnya mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, perkawinan wanita hamil karena zina, dan akibat pembatalan pertunangan terhadap hadiah-hadiah pertunangan (Basyir Ahmad Azhar, 1999: 8).

C.    Hukum Pernikahan

Meskipun pada dasarnya Islam menganjurkan kawin, apabila ditinjau dari keadaan yang melaksanakannya, perkawinan dapat dikenai hukuman wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.

1.      Perkawinan yang Wajib

Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta adanya kekhawatiran, apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir berbuat zina.
Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut. Menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan kawin, bagi orang itu, melakukan perkawinan hukumnya adalah wajib. Qa’idah Fiqhiyah mengatakan : “sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib”; atau dengan kata lain, “apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu wajib pula hukumnya.” Penerapan kaidah tersebut dalam masalah perkawinan adalah apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina hanya dengan jalan perkawinan, baginya perkawinan wajib hukumnya (Basyir Ahmad Azhar, 1999: 14).

2.      Perkawinan yang Sunah

Perkawinan hukumnya sunah bagi orang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan mamikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.
Alasan hukum sunah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal Islam menganjurkan perkawinan diatas. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa beralasan ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunah Rasul itu, hukum dasar perkawinan adalah Sunah.
Ulama Madzhab Syafi’I berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah. Ulama-ulama Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan bagi orang yang mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin (Basyir Ahmad Azhar, 1999: 14-15).

3.      Perkawinan yang Haram

Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan menyusahkan istrinya.
Hadis Nabi mengajarkan agar orang jangan sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri sendiri dan orang lain.
Al-Qurthubi, salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal mengawini seorang kecuali apabila ia menjelaskan keadaannya itu kepada calon istri; atau ia bersabar sampai meerasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah ia boleh melakukan perkawinan.
Al-Qurthubi mengatakan juga bahwa orang yang mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi kemungkuinan melakukan hubungan dengan calon istri harus memberi keterangan kepada calon istri agar pihak istri tidak akan merasa tertipu (Basyir Ahmad Azhar, 1999: 15).

4.      Perkawinan yang Makruh

Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi materiil. Cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhui kewajiban-kewajibannya terhadap istri; misalnya calon istri tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin.
Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh dari pada yang telah disebutkan diatas (Basyir Ahmad Azhar, 1999: 16).

5.      Perkawinan yang Mubah

Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawinpun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama (Basyir Ahmad Azhar, 1999: 16).



D.    Macam-Macam Pernikahan

Adapun macam-macam nikah yang diharamkan menurut syari’at adalah antara lain sebagai berikut :

1.      Nikah Badal (tukar menukar istri)

Yaitu seorang laki-laki mengadakan perjanjian untuk menyarahkan istrinya kepada orang lain dan mengambil istri orang lain itu sebagai istrinya dengan memberi sejumlah uang tambahan.

2.      Nikah Mut’ah

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.
فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِطَ التَّوْقِيتَ فَهَذَا ” نِكَاحُ الْمُتْعَةِ ” الَّذِي اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِهِوَأَمَّا إذَا نَوَى الزَّوْجُ الْأَجَلَ وَلَمْ يُظْهِرْهُ لِلْمَرْأَةِ : فَهَذَا فِيهِ نِزَاعٌ : يُرَخِّصُ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَيَكْرَهُهُ مَالِكٌ وَأَحْمَد وَغَيْرُهُمَا
“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 107-108)
Nikah ini dilarang berdasarkan hadist Nabi:
عن عليّ بن ابي طالب رضي الله عنه انّ رسول الله ص م نهى عن متعة النّساء يوم حيبر
“Dari Ali bin Abi Tholib, Ia berkata: sesungguhnya Rasul saw melarang nikah mut’ah dengan perempuan-perempuan pada waktu perang khaibar.”


3.      Nikah Syighar

Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-laki berkata  “janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu”
Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu”
(ولا) يصح (نكاح شغار) للنهي عنه في خبر الصحيحين، (كزوجتكها على أن تزوجني بنتك وبضع كل) منهما (صداق الاخرى فيقبل) ذلك. وكذا لا يصح (لو سميا معه) أي مع البضع (ما لا)، كأن قال وبضع كل واحدة وألف صداق الاخرى
"Nikah Syighor hukumnya tidak sah karena dilarang oleh nabi Muhammad SAW dalam hadis bukhori muslim seperti perkataan seseorang " aku nikahkan dia (pr) kepadamu asalkan kamu mengawinkan putrimu kepadaku dan vagina mereka masing-masing sebagai mahar"
Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah perkawinan tersebut sah saja asal ada maskawin untuk perempuan yang dinikahi, sebab seorang perempuan buakanlah sebuah maskawin. Akad dalam nikah ini sah, akan tetapi maskawin harus diganti dengan mahar mitsil yang seimbang.

4.      Nikah Tahlil

Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.
Dikatakan muhallil karena ia dianggap membuat halal lagi bekas suami yang dulu agar bisa mengawini bekas istrinya yang sudah ditalak bain. Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil (seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas suruhan suami sebelumnya yang telah mentalaknya tiga kali. Hal ini bertujuan agar mantan suami itu dapat menikahi wanita tersebut setelah masa ‘iddahnya selesai) dan muhallala lahu (seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya kemudian menyuruh seorang laki-laki untuk menikahi mantan isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat menikahi mantan isterinya kembali setelah masa ‘iddahnya selesai).
Menurut Imam Syafi’I perkawinan ini sama saja dengan nikah mut’ah karena seolah-olah wali si perempuan yang dinikahkan berkata kepada calon suaminya “ ku nikahkan engkau dengannya dengan syarat setelah engkau melakukan hubungan seksual engkau harus menceraikannya “. Berarti ada batasan waktu dalam perkawinan ini, untuk itu hukumnya tidak diperbolehkan.

5.      Nikah Istibdlo’

Yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan laki-laki lain dengan tujuan untuk mendapatkan benih keturunan dari laki-laki tersebut, setelah diketahui jelas kehamilannya maka diambil kembali oleh suaminya yang pertama.

6.      Nikah Righoth

Yakni pernikahan yang dilakukan beberapa laki-laki secara bergantian menyetubuhi wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan wanita tersebut menunjuk salah satu diantara laki-laki yang menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak dari anak yang dilahirkan, kemudian antara keduanya berlaku kehidupan sebagai suami istri.

7.      Nikah Baghoya

Yaitu pernikahan yang ditandai dengan adanya hubungan seksual dengan beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila. Setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebut maka dipanggillah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki tersebut sebagai bapaknya berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang menghamili.

E.     Kedudukan Anak

1.      Nasab Anak

Dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 5, mengajarkan “panggilah anak-anak dengan nasab (garis keturunan) ayah-ayah mereka; demikian itulah yang lebih adil menurut Allah……”. Ayat tersebut berhubungan dengan ayat sebelumnya yang menentukan bahwa pengangkatan anak dengan jalan adopsi tidak dapat dibenarkan sebab berakibat keluarnya seseorang dari garis keturunana ayah kandungnya dan masuknya kepada nasab orang yang mengangkatnya.
Dari ayat tersebut kita peroleh ketentuan bahwa anak selalu bernasab kepada ayah, tidak kepada ibu. Satu-satunya anak yang bernasab kepada ibunya disebut dalam al-quran adalah Isa bin Maryam karena Nabi Isa dilahirkan oleh ibunya yang belum pernah bertemu dengan laki-laki.
Dalam hubungan ini QS. Maryam :17-20 menyebutkan bahwa ketika Maryam kedatangan malaikat Jibril yang menjelma sebagai seorang laki-laki, ia menolak kedatangannya sambil memohon perlindungan kepada Allah agar jangan sampai melakukan perbuatan serong. Namun, Malaikat Jibril menjawab bahwa ia diutus oleh Allah untuk memberi kabar gembira bahwa Maryam akan dianugerahi putra yang bersih. Mendengar jawaban Malaikat Jibril itu Maryam mengatakan, “ bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun, demikian pula aku bukan perempuan jalang”.
Seruan Al-Qur’an kepada umat manusia dngan panggilan wahai anak keturunan Adam memberi isyarat bahwa menisbahkan keturunan anak adalah kepada ayah, bukan kepada ibu.

2.      Sahnya Keturunan Anak

Hukum Islam menetukan bahwa bahwa pada dasarnya keturunan anak adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan, antara ibu anak dan laki-laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan perlawinan yang sah.
Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungan berasal dari suami ibu atau bukan , ditentukan melalui masa kehamilannya, masa yang terpendek adalah enam bulan dan masa terpanjang galibnya adalah satu tahun. Dengan demikian, apabila seorang perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan sah dengan seorang laki-laki, tetapi jarak antara waktu terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan kurang dari enam bulan, anak yang dilahirkannya bukan anak sah bagi suami ibunya. Demikian pula, apabila seorang janda yang ditinggal mati suaminya melahirkan anak setelah lebih dari satu tahun dari kematian suami, anak yang dilahirkan bukan anak sah bagi almarhum suami perempuan tersebut.
Apabila seorang perempuan diktahui telah hamil sebagai akibat hubungan zina, kemudian dikawinkan dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilan dan akhirnya melahirkan kandungannya lebih dari enam bulan dari waktu perkawinan dilakukan, dapatkah anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah bagi kedua orang tuanya? Jawabannya, karena anak tersebut telah ada dalam kandungan sebelum terjadi perkawinan. Maka, meskipun ia lahir dalam perkawinan yang sah antara laki-laki yang menyebabkan kehamilan, katakanlah bapaknya dan ibunya yang melahirkannya, kedudukannya hanya menjadi anak sah dari ibunya saja, bukan anak sah dari bapaknya. Antara ank dan bapak tidak terjadi hubungan waris-mewaris. Antara anak dan anak dari ibu bapaknyayang lahir kemudian mempunyai hubungan saudara seibu.
Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa anak yang telah terjadi sebelum dilakukan perkawinan antara bapak dan ibunya seperti diatas itu mungkin menjadi anak-anak sah dari bapak ibunya apabila diakui oleh bapaknya dengan jalan “istilhaq” (mengakui sebagai anak). Sepintas lalu pendapat Ishaq bin Rahawaih itu melindungi kepentingan anak jangan sampai tidak mempunyai nasab. Namun, apabila ditinjau dari segi moral, pendapat Ishaq seperti itu akan mudah disalahgunakan untuk melindungi kemerosotan moral. Dengan dimungkinkannya pengakuan anakyang jelas terjadi sebagai akibat hubungan zina itu, orang akan merasa tidak keberatan untukmelakukan nubungan sebelum perkawinan sebab akhirnya toh anak yang lahir dapat dinyatakansebagai anak sah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendapat Ishaq tersebut seyogyanya ntidak usah dipertahankanguna melindungi nilali-nilai akhlak manusia dalam kehidupan masyarakat.
Jalan untuk mengatasi agar peristiwa kehamilan diluar nikah tidak banyak terjadi ialah dengan menentukan bahwa perbuatan zina adalah delik yang diancam dengan hukuman.

3.      Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang

Undang-undang perkawinan No. 1/1974 Pasal 42 menetukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan undang-undang ini, kita lihat ada dua kemungkinan sahnya anak, yaitu anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Pada kemungkinan kedua tidak menjadi masalah sebab hukum Islam pun menetukan demikian. Namun, pada kemungkinan prtama, hanya dipandang sesuai dengan ketentuan hukum Islam apabila diperhatikan syarat bahwa terjadinya anak apabila benar-benar setelah perkawinan dilakukan, dengan memperhatikan lamanya waktu hamil dan tidak diketahui dengan jelas bahwa anak telah terjadi sebelum perkawinan dilakukan.
Dalam hal ketentuan bagian pertama Pasal 42 Undang-undang perkawinan tersebut diartikan secara mutlak, kapanpun lahirnya anak asal dalam perkawinan yang sah dan tanpa memperhatikan apakah laki-laki yang kemudian menjadi suami ibu anak adalah yang menyebabkan kehamilan atau bukan, dapat dipastikan bahwa ketentuan undang-undang itu tidak sejalan dengan hukum Islam (Basyir Ahmad Azhar, 1999: 105-107).

4.      Anak Di Luar Nikah

Anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.
Dalam praktek hukum perdata pengertian anak luar nikah ada dua macam, yaitu:
1.      Apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar kawin.
2.      Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang, mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu disebut anak di luar nikah.
Beda keduanya adalah anak zina dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak di luar nikah dapat diakui oleh orang tua biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta perkawinan dapat dicantumkan pengakuan (erkennen) di sebelah samping akta perkawinannya.
Dalam kompilasi hukum islam di Indonesia yang diatur dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Tahun 154/1991 disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah hanya dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilaksanakan secara langsung tanpa menunggu wanita itu melahirkan, tidak diperlukan kawin ulang (tajdidun nikah). Jika anak tersebut lahir, maka anak tersebut menjadi anak sah. Dalam pasal 43 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak di  luar nikah ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah belum diterbitkan. (Abdul Manan, 2008: 81)
Menurut H. Herusuko banyak faktor penyebab penyebab terjadinya anak di luar nikah, diantaranya adalah:
1.      Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi wanita tersebut tidak mempunyai ikatan perkawinan pengan pria yang menyetubuhinya dan tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria atau wanita lain;
2.      Anak yang lahir dari seorang wanita, kelahiran tersebut diketahui dan dikehendaki oleh salah satu atau ibu bapaknya, hanya saja salah satu atau kedua orang tuanya itu masih terkait dengan perkawinan yang lain;
3.      Anak yang lahir dari seorang wanita tetapi pria yang menghamilinya itu tidak diketahui, misalnya akibat korban pemerkosaan;
4.      Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah penceraian, tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Ada kemungkinan anak di luar nikah ini dapat diterima oleh keluarga kedua belah pihak secara wajar jika wanita yang melahirkan itu kawin dengan pria yang menyetubuhinya;
5.      Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih dari 300 hari, anak tersebut tidak diakui oleh suaminya sebagai anak yang sah;
6.      Anak yang lahir dari seorang wanita, padahal agama yang mereka peluk menentukan lain, misalnya dalam agama Katolik tidak mengenal adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia menikah lagi dan melahirkan anak. Anak tersebut dianggap anak di luar nikah;
7.      Anak yang lahir dari seorang wanita, sedangkan pada mereka berlaku ketentuan negara melarang mengadakan perkawinan, misalnya WNA dan WNI tidak mendapat izin dari Kedutaan Besar untuk mengadakan perkawinan, karena salah satunya dari mereka telah mempunyai isteri, tetapi mereka tetap campur dan melahirkan anak tersebut merupakan anak luar nikah;
8.      Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mengetahui kedua orang tuanya;
9.      Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat di Kantor Catatan Sipil dan/atau Kantor Urusan Agama;
10.  Anak yang lahir dari perkawinan secara adat, tidak dilaksanakan secara adat, tidak dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya serta tidak didaftar di kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama Kecamatan. H. Herusuko (dalam Abdul Manan, 2008: 81-82 )
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan pernikahan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristeri atau dudasebagaimana yang berlaku pada hukum perdata. Ada dua macam istilah yang digunakan bagi zina, yaitu:
1.      Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah;
2.      Zina Ghairu muhson, adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan.
Hukum islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson yang dilakukan oleh bujang/perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson dirajam sampai mati sedangkan yang ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson disebut anak di luar perkawinan.


Disamping hal tersebut di atas, hukum islam juga menetapkan anak di luar nikah adalah:
1.      Anak Mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-li’an oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah ini hukumnya sama saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-li’an, tetapi mengikuti nasab ibunya yang melahirkan, ketentuan ini juga berlaku terhadap kewarisan, perkawinan, dan lain-lain;
2.      Anak Syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali jika laki-laki itu mengakuinya. Dalam kitab Al-Ahwal al Syakhshiyyah karangan Muhyiddin sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah ditemukan bahwa nasab tidak dapat ditetapkan dengan syubhat macam apa pun, kecuali orang yang melakukan syubhat itu mengakuinya, karena sebenarnya ia lebih mengetahui tentang dirinya. Tentang hal yang terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum di kalangan sunni dan syi’ah. Muhammad Jawad Mughniyah (dalam Abdul Manan, 2008: 83)
Hukum islam membedakan syubhat kepada dua bentuk, yaitu:
1.      Anak syubhat yang dilahirkan dari syubhat perbuatan adalah hubungan seksual yang dilakukan karena suatu kesalahan, misalnya salah kamar, suami menyangka yang sedang tidur di kamar A adalah isterinya, namun ternyata itu adalah iparnya atau wanita lain. Demikian pula isterinya yang menyangka yang datang ke kamarnya adalah suaminya, kemudian terjadilah hubungan seksual dan menyebabkan hamil serta melahirkan anak di luar nikah;
2.      Anak syubhat yang dilahirkan dari suatu akad, misalnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita, kemudian diketahui bahwwa wanita yang dinikahi itu adalah adik kandungnya sendiri atau saudara sepersusuan yang haram dinikahi. Jika melahirkan anak dari dua syubhat ini, maka anak tersebut dapat dihubungkan nasabnya kepada bapak syubhat-nya atas pengakuannya.
Dalam syubhat adat, setelah diketahui adanya kekeliruan itu, maka isterinya harus diceraikan, karena perkawinan dengan adik kandung atau saudara sepersusuan adalah haram dinikahi dalam Hukum Islam. Oleh karena masalah syubhat ini sesuatu yang diragukan keadaannya (ada kesamaran antara hak dan bathil), maka perlu syubhat ini tidak dikenakan sanksi had apabila syubhat betul-betul terjadi dengan tidak dengan sengaja, sama sekali tidak direkayasa.

5.      Pengakuan Dan Pengesahan Anak

Perlindungan hukum dapat diberikan kepada anak luar nikah sebagaimana tersebut di atas agar terlepas dari beban kehidupan yang berat yaitu dengan jalan pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan. Sementara Peraturan Pemerintah sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang akan mengatur tentang nasib anak di luar nikah sampai saat ini belum diterbitkan.
Menurut Erna Sofwan Syukrie, dalam pengertian formil pengakuan anak menurut hukum adalah merupakan suatu bentuk pemberian keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan terhadap anak-anaknya. Sedangkan menurut pengakuan materiil yang dimaksud pengakuan anak adalah merupakan perbuatan hukum untuk menimbulkan hubungan kekeluargaan antar anak dengan yang mengakuinya tanpa mempersoalkan siapa yang membuahi atau membenihkan wanita yang melahirkan anak tersebut. Jadi, penekanannya bukan siapa yang membuahi atau membenihkan wanita tersebut, tetapi kepada pengakuannya sehingga menjadi sumber lahirnya hubungan kekeluargaan itu. Dengan adanya pengakuan itu, anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan berhak atas warisan dari pria yang mengakuinya. Erna Sofwan Syukrie (dalam Abdul manan, 2008: 84-85)
Pada mulanya pengakuan anak hanya dimaksudkan untuk menciptakan adanya kaitan hukum kekeluargaan terhadap anak di luar nikah, lambat laun dan seiring dengan berkembangnya hukum keluarga di beberapa negara, pengertiaan tersebut diperluas sehingga mempunyai arti yang hampir sama dengan pengangkatan anak yang berlaku dalam hukum perdata. Sebenarnya antara pengakuan dan pengangkatan anak mempunyai perbedaan yang prinsipil, yaitu;
1.      Pengakuan anak hanya terjadi dengan anak-anak yang tidak sah, sedangkan pengangkatan anak dapat terjadi terhadap baik anak yang sah maupun terhadap anak sah;
2.      Dalam pengakuan anak dianggap bahwa orang yang mengakui adalah sebagai ayah kandungnya sehingga orang tersebut setidaknya mempunyai hak untuk memberikan pengakuannya terhadap anak tersebut. Sedangakan pada pengangkatan anak justru bertolak pada tidak adanya suatu hubungan pertalian kekeluargaan tetapi bermaksud mewujudkan kaitan hukum dimana anak yang dianggap benar-benar sebagai keturunan sendiri dari orang yang mengangkatnya;
3.      Pengakuan anak yang dimintakan oleh ayahnya, sedangkan pengangkatan anak dimintakan oleh sepasang suami isteri;
4.      Pengangkatan anak tidak selalu mempunyai akibat bahwa anak yang diakui sekaligus menjadi anak sah dari orang yang mengakui menjadi anak sah;
5.      Pengakuan anak cukup dilakukan dengan akta notaris atau akta kelahiran yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil, sedangkan pengangkatan anak harus dengan putusan hakim. (Abdul Manan, 2008: 85)
Apabila anak luar nikah diakui oleh ayahnya, maka memperoleh status sebagai anak sah. Menurut hukum perdata Belanda sebagaimana tersebut dalam Pasal 214 N-BW, pengesahan itu dapat terjadi karena:
1.      Pernikahan ibu dan bapak dari anak tersebut;
2.      Pengangkatan oleh suami ibunyadalam jangka waktu perkawinan mereka;
3.      Pengakuan oleh suami ibunya setelah perkawinan putus karena kematian ibunya
Kemudian dalam Pasal 214 N-BW juga disebutkan bahwa pengesahan dapat terjadi karena “surat pengesahan”. Permohonan surat pengesahan dapat diajukan kepada raja yang memutuskan setelah mendengar pertimbangan dari Hoge Raad. Tetapi ada kemungkinan pengesahan itu terbatas kepada:
1.      Jika setelah pengakuan, perkawinan yang direncanakan itu terhalang karena kematian salah satu pihak, hal ini merupakan pengecualian dari pasal 214 N-BW di atas, ada pegakuan tetapi tidak ada perkawinan;
2.      Jika pria yang sudah mengetahui kehamilan wanita itu dan bermaksud mengawininya tetapi meninggal sebelum kelahiran anak tidak sah itu tanpa mengakuinya. Dalam hal ini tidak ada pengakuan dan tidak ada perkawinan.
Ketentuan pasal ini bertujuan untuk menawarkan pemecahan masalah karena kematian yang mendadak, sehingga menghalangi maksud pria itu mengawini wanita hamil tersebut dank arena anak yang dikandungnya itu menjadi anak sah pada saat lahirnya. Abdul Kadir Muhammad (dalam Abdul Manan, 2008: 86)
Dalam hukum adat sulit ditarik garis pemisah antara anak yang diakui dengan anak yang disahkan, tergantung bagaimana masyarakat di sekelilingnya menilai, karena hukum adat memang luwes sifatnya. Di daerah yang pengaruh agama Islamnya kuat maka pengakuan, pengesahan, danpengangkatan anak di luar nikah menjadikan sebagai anak kandung sendiri boleh dikatakan sangat kecil terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tetapi di daerah yang susunan keluarganya masih kuat, pengakuan dan pengangkatan anak masih dilakukan bagi yang memerlukannya. Hanya saja tata cara pengakuan dan pengangkatan yang berbeda si satu daerah dengan daerah lain. Di daerah Pamona (Poso) bila seorang pria berhubungan dengan seorang wanita tanpa kawin, kemudian lahir anak, ia dapat membeli anak tersebut untuk menjadi anak yang sah dan menjadi tanggungannya. Akan tetapi di daerah Kecamatan Pasimasanggu tidak mengenal anak yang disahkan, yang ada hanya diakui oleh ayahnya bila wanita yang hamil dan melahirkan anak di luar nikah.

6.      Pengakuan Anak Dalam Hukum Perdata

Lembaga pengakuan anak dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana dikemukakan bahwa anak di luar nikah (natuurlijk kind), kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan darah, tiap-tiap anak yang lahir di luar perkawinan apabila ibu dan bapaknya melaksanakan perkawinan, maka anak tersebut menjadi anak sah jika bapak dan ibunya sebelum melaksanakan perkawinan mengakuinya menurut ketentuan undang-undang, atau pengakuan itu dilakukan dalam akta tersendiri. Kemudian dalam Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa dengan adanya pengakuan anak di luar nikah sebagaimana tersebut di atas, maka timbullah hubungan perdata antara anak luar kawin itu dengan ibu dan bapaknya sebagai anak yang sah yang lainnya.
Untuk memperoleh status hubungan antara ayah, ibu, dan anak yang lahir di luar nikah, maka anak tersebut harus diakui oleh ayah dan ibunya. Pengakuan itu harus dilakukan dengan akta autentik, secara tegas dan tidak boleh dengan cara disimpulkan saja. Menurut Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyelidiki soal siapakah bapak seorang anak dilarang, selebihnya dalam Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyelidiki soal siapakah ibu seorang anak luar nikah diperbolehkan dan dalam hal ini si anak di luar nikah itu harus dapat dibuktikan bahwa ia anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang disebutkannya. Apabila ia dapat membuktikannya, maka ia dapat meminta ibunya untuk mengakuinya sebagai anak yang dilahirkannya, maka ia dapat meminta ibunya untuk mengakuinya sebagai anak yang dilahirkannya. Pengakuan ini tidak boleh berlaku surut, sehingga saat pengakuan terjadi anak tidak sah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, tentu saja hubungan hukum dengan ibunya terjadi saat kelahirannya. pengakuan anak terhadap anak yang ada dalam kandungan ibunya dimungkinkan karena anak tersebut dianggap sebagai sudah lahir bila kepentingannya menghendaki.
Menurut hukum perata sebagaimana tersebut dalam Pasal 224 Ayat (1) N-BW pengakuan terhadap anak yang tidak sah adalah batal jika dilakukan oleh:
1.      Pria yang dilarang kawin dengan ibunya anak;
2.      Suami yang telah melangsungkan perkawinan lebih dari 306 hari sebelum kelahiran anak;
3.      Pria yang belum berumur 18 tahun, kecuali jika pengakuan itu terjadi pada hari upacara perkawinan;
4.      Tanpa persetujuan lebih dahulu dari ibu anak itu selama masa hidupnya;
5.      Tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari anak itu jika ia sudah dewasa.
Selain itu, pengakuan juga dilarang karena ada pertalian darah yang sangat dekat (incest) atau karena hubungan semenda. Pria ini tidak boleh mengakui anak di luar nikah itu, jiks dilakukan juga maka pengakuan itu batal, akibatnya anak tersebut berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Ketentuan ini juga berlaku kepada pria yang dilarang kawin dengan ibu anak luar kawin bukan karena incest, pria tersebut bukan pemberi benih anak di luar nikah. Apabila halangan ini tetap dilakukan, maka dianggap pelanggaran serius terhadap moral masyarakat dan juga merupakan kegiatan yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi anak di luar nikah dengan mempercepatnya sebagai anak kampang. Pengakuian ini juga menghalangi pengakuan oleh suami ibu anak luar nikah itu bila ia akan menerima anak luar nikah sebagai anggota keluarganya setelah ia menikah nanti.
Akibat hukum dari pengakuan itu antara lain adalah terjadinya hubungan perdata antara si anak luar nikah dengan bapak dan ibu yang mengakuinya sehingga menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, mewaris, dan sebagainya. Terhadap perlakuan ini setiap orang yang berkepentingan dapat menggugat adanya pengakuan anak tersebut, hanya orang yang mengakui sendiri tidak dapat menggugat atas pengakuan yang sudah diberikan. Dahulu masih dipersoalkan apakah pengakuan ini merupakan suatu perbuatan hukum pembuktian tentang kebapaan kandung ataukah juga sebagai suatu perbuatan yang menentukan adanya hubungan hukum kekeluargaan tanpa mensyaratkan ketentuan sehingga dengan pengakuan itu anak di luar nikah mempunyai akibat hukum keperdataan secara luas. Pendapat yang terakhir ini sudah diterima sebagai suatu kenyataan da sudah terdapat dalam yurisprudensi, dimana HR menetapkan pengakuan anak di luar nikah  tidak menghalangi suatu tuntutan untuk mendapatkan bagian alimentasi yang sebelumnya dari orang lain yang bukan melakukan pengakuan tersebut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak menjelaskan secara rinci tentang pengakuan anak di luar kawin. Hanya dijelaskan bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya atau keluarga ibunya. Kedudukan luar nikah ini akan diatur secara tersendiri dalam peraturan pemerintah, tetapi sampai sekarang peraturan pemerintah yang dimaksud belum diterbitkan. Kemudia dalam Pasal 44 disebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang berzina dan anak tersebut sebagai akibat dari perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Dalam Pasal 42 dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinannya yang sah.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga tidak menjelaskan tentang pengakuan anak secara rinci dan lengkap. Senada dengan yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang perkawinan ditegaskan dalam beberapa pasal tentang kedudukan tentang anak di luar nikah. Dalam Pasal 100 disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya dalam Pasal 101 dijelaskan bahwa seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedangkan isteri tidak menyangkalnya dapat menangguhkan pengingkarannya dengan li’an. Kemudian dalam Pasal 102 ayat (1) dikemukakan bahwa suami yang mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya dapat mengajukan gugat kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari akhirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama, dalam ayat (2) ditetapkan bahwa pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. (Abdul Manan, 2008: 87-90)

7.      Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam

Undang-Undang Hukum Keluarga yang berlaku di negara-negara Islam dewasa ini, pada umumnya mengatur tentang hukum pengakuan anak secara lengkap dan rinci. Sebenarnya tentang lembaga pengakuan anak tersebut telah layak dibahas dalam berbagai literatur Islam baik yang tradisional maupun kontemporer. Bahkan ada kesan lembaga pengakuan anak yang berlaku di beberapa negara Eropa sedikit banyaknya bersumber dari literatur Islam dengan sedikit modifikasi sesuai dengan kondisi masyarakat mereka dan sesuai dengan hukum yang berkembang saat ini. Meskipun pada negara-negara Islam lembaga pengakuan anak ini sudah diatur secara lengkap dalam hukum keluarga mereka, tampaknya di Indonesia masalah pengakuan anak ini belum terbiasa dalam kehidupan masyarakat, sehingga Kompilasi Hukum Islam tidak mengaturnya secara jelas dan lengkap.
Lembaga pengakuan anak menurut hukum perdata sebagaimana termuat dalam N-BW dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama dengan lembaga “istilhaq” dalam hukum Islam yang mempunyai arti adalah pengakuan seorang mukallaf  bahwa ia adalah seorang ayah dari anak yang tidak diketahui nasabnya.
Menurut Abdullah Ali Hussein tidak setiap mukallaf  dapat mengakui seorang anaknya yang sah, melainkan harus berpegang pada asas:
1.      Adanya status yang baik dari anak tanpa ayah;
2.      Tidak ada ketunggalan hukum dalam masalah nasab;
3.      Pengakuan itu diharapkan dapat melindungi bagi yang lemah;
4.      Adanya larangan dengan mengingkari kembali pengakuan yang telah diberikan.
Dengan asas ini hukum Islam telah memberikan patokan terhadap masalah anak sah dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak terjadi hal-hal yang buruk dalam kehidupan seseorang. Abdullah Ali Hussein (dalam Abdul Manan, 2008: 90)
Menurut konsep hukum Islam, pengakuan anak ada dua macam, yaitu pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak untuk orang lain. Pada prinsipnya sama tujuannya, hanya dalam pelaksanaannya sendiri sedikit berbeda, yakni:
1.      Pengakuan Anak untuk Diri Sendiri
Pengakuan anak dengan cara ini dilaksanakan secara langsung, misalnya si Fulan mengatakan bahwa anak itu adalah anakku. Jika pernyataan ini memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam, maka anak tersebut menjadi anak sah bagi yang mengakuinya.
Menurut Abdullah Ali Hussein dalam hukum Islam dikenal beberapa syarat untuk melaksanakan pengakuan seorang anak bagi dirinya sendiri, yaitu:
1.      Orang yang mengetahui anak haruslah seorang pria sebab tidak ada bukti lain menurut hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan kebapakan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan dia mengandung dan melahirkan anak tersebut;
2.      Orang yang mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan pengakuan orang gila, orang yang dipaksakan, dan orang yang belum cukup umur tidak dapat diterima;
3.      Anak yang diakui itu haruslah anak yang tidak diketahui nasabnya, tidak sah pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui nasabnya, demikian juga terhadap anak yang telah terbukti secara sah sebagai anak zina atau tidak diakui sebelumnya dengan cara lain;
4.      Pengakuan itu tidak disangkal oleh akal sehat, misalnya umur anak yang diketahui lebih tua dari yang mengakui atau tempat tinggal mereka sangat jauh yang menurut ukuran biasa tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapakan;
5.      Pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya, jika yang diakuinya menyangkal terhadap pengakuan itu, maka pria yang mengakui itu harus membuktikannya atau anak yang diakui itu harus mengangkat sumpah kalau ia mau maka hubungan nasab itu terbukti adanya. Abdullah Ali Hussein (dalam Abdul Manan, 2008: 91)
Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, maka anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan kedudukannya adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Taufiq (dalam Abdul Manan, 2008: 92). Pengakuan anak tersebut dapat dilakukan di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan lembaga resmi dengan akta autentik atau surat biasa. Pengakuan anak tersebut merupakan tindak sepihak, kecuali apabila orang yang diakui itu sudah dewasa dan menyangkalnya, dalam hal yang terakhir ini diperlukan campur tangan pihak pengadilan.
Apabila seorang pria telah melaksanakan pengakuan terhadap seorang dengan menyatakan bahwa ia adalah anaknya, maka pengakuan tersebut tidak boleh dicabut kembali, sekali ia telah mengikrarkannya maka pengakuan itu berlaku terus sepanjang masa. Pengakuan anak itu dapat dilaksanakan kapan saja, walaupun setelah meninggalnya orang yang diakui. Hanya saja hukum Islam menganggap bahwa pengakuan anak terhadap orang yang telah meninggal dunia bermotif yang tidak baik, iasanya karena ada warisan. Dalam hukum Islam pengakuan anak yang seperti ini baru dapat diterima apabila anak yang diakui itu tidak mempunyai ahli waris dan harta peninggalannya hanya sedikit.
2.      Pengakuan Anak Terhadap Orang Lain
Pengakuan anak dalam kategori ini sering disebut dengan pengakuan secara tidak langsung, misalnya si Fulan mengatakan bahwa seorang anak yang bernama Faisal adalah saudara kandung dirinya. Ini berarti bahwa si Fulan mengakui Faisal sebagai anak dari Abdullah, di mana Abdullah itu adalah ayah kandung dari orang yang bernama Fulan. Jika syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam sudah terpenuhi, maka terjadilah hubungan nasab antara Fulan dengan Faisal sebagai saudaranya dan dengan Abdullah sebagai ayahnya.
Menurut Ahmad Husni syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan anak secara tidak langsung adalah secara umum sama saja dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan untuk dirinya sendiri, hanya ditambah dua poin lagi, yaitu:
1.      Orang yang dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia betul mempunyai hubungan nasab dengan seseorang yang dihubungkan nasab kepadanya;
2.      Ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang dihubungkan dengan nasab kepadanya tidak membenarkan pengakuan tersebut. Ahmad Husni (dalam Abdul Manan, 2008: 93)
Apabila syarat-syarat pengakuan anak baik untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut secara hukum. Demikian juga apabila seorang laki-laki mengadakan hubungan seksual dengan seorang wanita di luar nikah, kemudian wanita tersebut hamil, lalu laki-laki tadi atau orang lain yang bukan membuahi wanita itu menikah dengan wanita hamil tadi, maka anak yang dilahirkan oleh wanita itu menjadi anak yang sah. Hal ini disebabkan karena dengan kesediaan laki-laki tersebut menikahi wanita hamil tadi, berarti secara diam-diam ia telah mengakui anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kecuali suami wanita itu mengingkari dengan cara lain. Ketentuan ini adalah sejalan dengan hal yang tersebut dalam fiqih Syafi’I, di mana disebutkan bahwa wanita hamil karena zina dapat saja dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya dan sah sebagai suami isteri dengan segala akibat hukumnya. Jadi, lak-laki dan wanita yang menikah itu dapat melakukan hubungan seksual tanpa menunggu kelahiran anaknya sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Hanafi, demikian juga tentang kedudukan anak yang dilahirkan itu menjadi anak sah dari suami isteri yang menikah itu meskipun bukan dari orang yang menghamili wanita tersebut (Ahmad Husni).
Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Indonesia disebutkan bahwa laki-laki yang menghamili wanita itu saja yang boleh menikahi dengan wanita yang hamil tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita yang hamil itu kawin dengan orang yang bukan membuahinya atau menghamilinya. Sebenarnya kalau terdapat alasan yang kuat tentang motivasi tentang pengakuan anak, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, tidak ada salahnya hakim mengambil pendapat sebagaimana yang dikemukakan Syafi’I, meskipun syarat yang dikemukakan oleh Imam Hanafi sebagaimana tersebut di atas dapat dijadikan dasar dalam menetapkan pengakuan anak bagi wanita hamil dan melahirkan anak.
Menurut Fathi Utsman pemikiran dari madzhab Syafi’I ini lebih menitikberatkan kepada manfaat dan mudharat bagi semua pihak, terutama bagi anak yang lahir dari hasil perbuatan zina atau luar nikah. Tentang hal ini Asy Syathibi dalam kitab al Muwafaqad menyatakan bahwa manfaat dan mudharat adalah merupakan hal yang nisbi, bukan hakiki. Suatu keadaan yang mungkin dianggap bermanfaat di suatu waktu tertentu belum tentu bermanfaat pada waktu yang lain. Demikian juga bermanfaat pada diri seseorang belum tentu bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, terserah kepada hakim untuk menetapkan mana yang lebih baik dan bermanfaat untuk semua pihak, sehingga segalanya dapat berjalan secara baik dan damai. Solusi yang diberikan oleh Asy Syathibi ini akan lebih jelas apabila dikaitkan dengan tugas hakim sebagai pencipta hukum dalam skala makro. Dengan demikian, hakim bebas memutuskan soal tersebut baik dengan konsep Imam Syafi’I maupun dengan konsep Imam Hanafi atau pendapat yang lain asalkan membawa manfaat kepada semua pihak, tidak akan menimbulkan mudharat pada generasi selanjutnya. Fathi Utsman (dalam Abdul Manan, 2008: 94)

8.      Pengakuan Anak Terhadap Anak Temuan

Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan “al Laqith” (anak temuan) adalah anak kecil yang belum baligh, yang ditemukan di jalan atau sesat di jalan dan tidak diketahui keluarganya. Memungutnya merupakan fardhu kifayah, sama hukumnya memungut barang yang hilang lainnya. Seorang anak kecil yang ditemukan dinegara Islam, maka dihukumkan sebagai muslim. Orang yang menemukan anak temuan tersebut berkewajiban untuk meberikan nafkah, jika ia tidak memiliki harta, maka ia dapat meminta bantuan kepada Baitulmal guna digunakan untuk biaya hidup dan biaya lain-lain yang diperlukan anak temuan tersebut. Sayyid Sabiq (dalam Abdul Manan, 2008: 94)
Ahmad Husni mengatakan, sebenarnya hukum Islam telah memberikan perhatian yang serius terhadap lembaga pengakuan anak ini, termasuk juga pengakuan terhadap anak temuan. Hamper semua kitab Fiqih tradisional maupun kontemporer menulis tentang lembaga anak ini, khususnya kepada anak temuan tang dissebut dengan “Laqith”. Demikian juga Undang-undang keluarga muslim di negar-negara Islam Timur Tengah telah menetapkan bahwa perlindungan terhadap anak temuan itu merupakan suatu kewajiban yang ahrhus dilaksanakan oleh orang Islam untuk menyantuninya, jika ia tidak melakukannya maka ia akan berdosa dan dapat dikenakan denda sebagai perbuatan jarimah. Apa yang dikemukakan oleh Ahmad Husni ini di Indonesia belum dapat tempat yang wajar, belum ada pengaturan secara luas tentang lembaga masalah  anak temuan yang harus diakui sebagai anak kandungnya. Tentang hal ini merupakan satu hal yang sangat tabu dalam kahidupan masyarakat Indonesia. Peraturan perundang-undangan tentang hukum kekeluargaan di Indonesia belum memberikan forsi yang lengkap dan rinci terhadap lembaga pengakuan anak sebagaimana dalam peraturan-peraturan hukum kekeluargaan di Negara Muslim lainnya dan juga dibeberapa Negara yang tergabung dalam Asean. Ahmad Husni (dalam Abdul Manan, 2008: 95)
Orang Islam yang menemukan anak temuan dapat melakukan pengakuan terhadap anak tersebut sebagai anak kandungnya. Apabila pihak yang menemukan anak tersebut telah mengikrarkan pengakuannya, maka sahlah anak tersebut sebagai anaknya sendiri, dan sah pula pertalian nasab anak tersebut dengan orang yang mengakuinya meskipun pengakuan tersebut dilawan oleh orang lain dengan menunjukkan bukti-bukti yabg kuat dan meyakinkan. Menurut Imam Malik, pengakuan tersebut tidak sampai menimbulkan nasab  yang sah, kecuali yang menemukan anak tersebut mempunyai alasan dan bukti yang dibenarkan oleh hukum Islam. Jika hal ini dapat dilaksanakan oleh orang yang menemukan anak tersebut, maka sahlah anak tersebut sebagai anak kandungnya dan mempunyai akibat hukum keperdataan dalam bidang kawarisan, perwalian, dan sebagainnya.
Tentang anak temuan yang lahir dari perkawinan yang tidak sah atau sebagai akibat zina, anak tersebut tidak memppunyai hubungan dengan laki-laki yang menghamili ibunya bahkan laki-laki itu harus dirajam sebagaimana ketentuan yang telah digariskan dalam hukum Islam. Anak yang lahir dari akibat zina ini hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu yang melahirkannya. Tetapi Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa anak yang lahir dari hubungan di luar nikah anatara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang tidak terkait dengan perkawinan lain, dapat diakui oleh laki-laki yang membuahinya sebagai anak yang sah. Sedangkan kejahatan terhadap zina yang dilakukan tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Sebagian besar  para pakar hukum Islam tidak sependapat dengan pemikiran Ibnu Taimiyah ini, mereka hanya sepakat bahwa hukum Islam menganjurkan unuk mengakui anak luar nikah itu hanya sebatas pada kemaslahatan dan untuk menutup aib saja, ini pun sepanjang tidak ada halangan hukum Islam yang mengaturnya. Jadi, tidak mengubah statusnya dari anak luar nikah menjadi anak yang sah.
Menurut Taufiq ada perbedaan yang prinsipil antara pengakuan anak menurut hukum Islam dengan konsep pengangkatan anak dalam hukum perdata Barat. Menurut konsep hukum Islam dan pengangkatan anak itu tidak semata-mata untuk memberikan kedudukan anak luar nikah sebagai anak kandung, sedangkan menurut konsep hukum perdata Barat pengakuan dan pengangkatan itu semata-mata memberikan kedudukan anak luar nikah sebagai anak kandung. Ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai pengakuan anak tersebut dari segi lahir semata bukan dari segi hakikat dan agama (diyani). Sehubung dengan hal itu, apabila seseorang mengambil anak dari rumah sakit yang tidak diketahui siapa orang tuanya mengakui sebagai anaknya, maka perbuatan ini mengakibatkan timbulnya hubungan hukum perdataan antara anak yang diakui tersebut dengan orang yang mengakuinya sebagai anak kandung. Taufiq (dalam Abdul Manan, 2008: 96-97)
Untuk melakukan pengakuan anak tidak ada pembatasan waktu, seseorang dapat saja melakukan pengakuan anak kapan saja, bahkan pada saat anak yang diakui itu telah meninggal dunia pun pengakuan itu dapat dibenarkan. Hanya saja dalam hal yang terakhir ini hukum Islam sangat  bersikap hati-hati, jangan sampai pengakuan itu mengakibatkan timbulnya kemudharatan pada pihak lain sebab sebagian besar pengakuan yang dilakukan setelah anak itu meninggal biasanya bermotif  harta warisan, bukan motif lain yang sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh hukum Islam, maka akan lahir akibat hukum yaitu timbul pertalian nasab antara yang mengakui dengan yang diakui, anak yang diakui itu menjadi anak yang sah menurut syar’I dan sama kedudukannya dengan anak hasil perkawinan yang sah dalam segala hal dan kewajiban yang timbul daripadanya. Khusus pengakuan anak untuk orang lain, jika dibantah oleh anak yang diakuinya dan tidak ada bukti yang menguatkan pengakuannya, maka tidak ada akibat hukum daripadanya seperti pertalian nasab dan hak kewarisan, hubungan hanya terbatas pada hak kekeluargaan saja, seperti hak memberi nafkah, memelihara, dan memberikan pendidikan secukupnya.
Di samping itu, dengan adanya pengakuan anak itu, maka lahirnya hak memusakai dengan jalan mewaris. Khusus dalam hal pengakuan anak untuk orang lain, sedangkan orang yang diakui itu tidak membenarkan pengakuan itu dan tidak ada bukti-bukti yang mendukung adanya pertalian nasab, maka yang mengakui mengandung resiko dengan timbulnya hak antara yang diakui dan yang mengakui, tidak sebaliknya. Menurut madzhab Hanafi bahwa orang yang diakui itu memperoleh setelah maulal muwalah. Oleh karena itu, apabila yang mengakui mempunyai ahli waris termasuk dzawil arham, maka yang dilakukan itu tidak berhak mewaris. Tetapi jika ahli waris suami atau isteri, maka ia berhak atas sisanya karena Raad kepada suami atau isteri dan ini harus diakhirkan. Berbeda dengan madzhab Syafi’I bahwa hak memusakai itu bukan hak sebagai pewaris, meskipun dalam beberapa hal dianggap sebagai pewaris, misalnya hak didahulukan daripada memberikan kelebihan sepertiga kepada penerima wasiat. Alasan madzhab Syafi’I bahwa kewarisan itu haruslah didasarkan kepada pertalian nasab yang sah. Fathurrahman Djamil (dalam Abdul Manan, 2008: 98)
Menurut hukum perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa akibat dari pengakuan anak adalah terjadinya hubungan keperdataan antara anak dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Dengan kata lain, pengakuan anak itu mengakibatkan status anak yang semula sebagai anak wajar (natuurlijke kinderen) menjadi anak sah sehingga menimbulkan hak dan kewajiban, seperti pemberian izin kawin, pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama orang tua yang mengakuinya, mewaris, dan sebagainya. Tetapi hukum perdata sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 286 Kitan Undang-Undang Hukum Perdata hanya membatasi pengakuan anak luar kawin oleh suami atau isteri selama adanya perkawinan atas anak yang diperoleh sebelum melaksanakan pernikahan, pengakuan itu tidak boleh merugikan isteri atau suami serta anak-anak sah dari perkawinan mereka. Sehingga berdasarkan Pasal 286 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata setiap orang yang berkepentingan dengan adanya pengakuan anak itu dapat menggugat terhadap pengakuan anak itu supaya dibatalkan.

9.      Penetapan Asal Usul Anak

Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia, penetapan asal usul anak dapat dilakukan dengan pengakuan secara sukarela dan pengakuan yang dipaksakan. Pengakuan anak secara sukarela adalah pernyataan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang ayah dan ibu atau ibunya mengakui seorang anak yang lahir dari seorang ibunya itu betul anak dari hasil hubungan biologis  mereka dalam hubungan itu tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan karena hubungan zina dan sumbang. Sedangkan pengakuan yang dilaksanakan adalah pengakuan yang terjadi karena adanya putusan hakim dalam suatu gugatan asal usul seorang anak. Hal ini berkaitan dengan Pasal 287 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di mana disebutkan apabila terjadi salah satu kejahatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 285-288, 294, atau 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka atas kejahatan itu dapat diajukan ke pengadilan. Berdasarkan bukti-bukti yang kuat, hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki yang berbuat jahat itu sebagai bapak yang sah dari seorang anak yang lahir dari perbuatan jahatnya.
Anak yang lahir dari perbuatan zina dan sumbang tidak diperkenankan untuk diakui oleh orang yang berbuat zina, kecuali ada dispensasi dari presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 283 jo 273 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan ini, maka anak zina dan anak sumbang tidak bisa dipaksakan pengakuannya kepada laki-laki yang membuahinya. Hal ini didasarkan kepada asas hukum perdata yang menentukan nahwa dalam hukum perkawinan harus dihormati ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, di antaranya ada halangan bagi laki-laki untuk menikahi ibu si anak itu. Membenarkan pengakuan yang dipaksakan dalam peristiwa ini adalah bertentangan dengan prinsip Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku.
Dalam Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan ada tiga cara untuk mengakui anak luar kawin, yaitu:
1.      Dalam akta kelahitan anak yang bersangkutan;
2.      Di dalam akta perkawinan ada;
3.      Di dalam akta autentik.
Dalam praktik hukum perdata, cara yang sering dimuat adalah pengakuan oleh seorang ayah yang namanya disebutkan dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan. Pengakuan seperti ini diberikan oleh ayah yang bersangkutan pada waktu melaporkan kelahiran anaknya. Sedangkan cara yang kedua dilaksanakan dengan cara melaksanakan perkawinan sah antara wanita yang hamil itu dengan pria yang membuahinya sekaligus mengakui anak luar kawinnya. Yang diakui pria yang membuahinya sekaligus mengakui anak luar kawinnya. Yang diakui disini adalah anak luar kawin yang sudah dilahirkan dan pada waktu melaporkan kelahiran belum diberikan pengakuan oleh ayahnya. Pengakuan seperti ini membawa akibat sebagaimana diatur dalam Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan pengakuan cara ketiga adalah pengakuan yang dituangkan dalam akta autentik berupa akta notaris. Pengakuan ini ditindaklanjuti dengan melaporkan kepada Kantor Catatan Sipil, di mana kelahiran anak itu dahulu telah didaftarkan dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan.
Selain dari tiga cara pengakuan sebagaimana tersebut di atas, masih ada lagi cara pengakuan anak luar kawin sebagaimana tersebut dalam Pasal 281 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pengakuan yang dapat dilakukan dengan kata yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil dan dilakukan dengan register kelahiran menurut hari penanggalannya. Pengakuan ini harus dicatat dengan dengan jihad akta kelahiran. Berdasarkan Pasal 281 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa pengakuan di sini dilakukan terhadap anak yang sudah dicatat kelahirannya sebagai anak luar kawin di dalam register kelahiran di Kantor Catatan Sipil. Pengakuan susulan seperti ini selain bisa dilakukan dalam suatu akta notaris sebagaimana yang telah diuraikan di atas, juga bisa di hadapan Pegawai Catatan Sipil, yang wajib membukukannya dalam register kelahiran yang berjalan dan selanjutnya mencatat pengakuan itu dalam minit akta kelahiran anak yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan “jihad” atau “minit” di sini adalah akta asli yang ada di dalam bundel akta Kantor Catatan Sipil, yang ditandatangani oleh yang melaporkan, para saksi, dan pejabat Kantor Catatan Sipil.
Sebenarmya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah dicantumkan penetapan asal usul anak menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu masih dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Baru setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 kewenangan tentag penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam menjadi kewenangan Peradilan Agama. Penetapan asal usul anak bagi orang yang beragama Islam berlaku hukum perdata Islam dan diselesaikan oleh lembaga Peradilan Agama. Penetapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi Kantor Catatan Sipiluntuk mengeluarkan kelahiran anak bagi yang memerlukannya.
Perkara penetapan asal usul anak termasuk perkara volunteer. Oleh karena itu, pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan perkara volunteer yang lain dengan produk penetapan, bukan putusan, perkara penetapan asal usul anak dapat menjadi perkara contentious jika pihak-pihak yang dijadikan tergugat dalam perkara tersebut. Jika perkara asal usul anak diajukan dengan cara contentious maka pemeriksaannya dilaksanakan dengan cara pembuktian yang lengkap (itsbat nasab bil bayyinah) tidak lagi dengan cara pemeriksaan yang lazim berlaku dalam pemeriksaan perkara volunteer atau prosedur penetapan asal usul anak dengan pengakuan (itsbat nasab bil ikrar). Dalam pemeriksaan perkara penetapan perkara volunter yang lain. Dalam pemeriksaan perkara penetapan asal usul anak harus dibuktikan dalam syarat-syarat pengakuan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukan benar tidaknya pengakuan itu. Apabila syarat-syarat telah ditetapkan oleh hukum Islam sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pengakuan tersebut tidak dapat dibenarkan dan permohonan penetapan asal usul anak yang diajukan itu ditolak.
Meskipun dalam literatur ilmu fiqih tidak terdapat secara khusus membahas tentang pengakuan dan penetapan asal usul anak secara lengkap sebagaimana yang tersebut dalam hukum perdata barat, tetapi secara substansial dapat ditemukan dalam bab yang membahas tentang hukum-hukum kekeluargaan, khususnya bab tentang da’waan nasab. Hampir semua kitab fiqih membahas tentang perlunya perlindungan terhadap anak terlantar, anak luar kawin, anak yatim piatu, dan sebangsanya. Jika ada keraguan dalam menetapkan tentang asal usul anak ini, maka diselesaikan lewat pengadilan yang berwenang. Oleh karena masalah ini belum terbiasa dalam kehidupan masyarakat, maka hakim diharapkan dapat menciptakan putusan yang berbobot dengan pertimbangan yang cukup sehingga lembaga pengakuan anak ini dapat tempat dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia dan dihargai sebagaimana mestinya. Hakim dalam menetapkan asal usul anak, khususnya terhadap pengakuan anak perlu memerhatikan ijtihat tathbiqy dengan metodologi muqaranah li mazahib dan talfieq. (Abdul Manan, 2008: 99-102).

F.     Perkawinan Wanita Hamil Dan Status Anak

Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah perkawinan wanita hamil harus dibutuhkan penelitian dan perhatian yang bijaksana terutama Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N). Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hokum Islam, insyaallah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat , yaitu :
(1)   Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2)   Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggulebih dahulu kelahiran anaknya.
(3)   Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. (himpunan peraturan perundang-undangan perkawinan, 2009: 245).

G.    Status Perwarisan Dan Pengakuan Anak

1.      Pengertian Waris

Kata Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhatun, diambil dari kata fardhu yang mempunyai arti “ketentuan.”
Allah Shubhanahu Wata’ala berfirman (dengan menggunakan kata faradha yang bermakna ketentuan):
فَنِصْفُ مَافَرَضْتُمْ (البقرة : 237)
Artinya: “ …. Maka bayarlah separuh maskawin yang telah kamu tentukan.” (Al-Baqarah : 237)
Arti demikian itu dari segi bahasa.
Kata fardhu menurut istilah syarak adalah bagian yang ditentukan untuk orang yang berhak sesuai dengan ajaran syarak. (Al Husaini. 2011 :279)
Ilmu waris termasuk dari tingkatan ilmu paling penting dalam ketentuan pembagian harta, ilmu ini dalam kemuliannya telah Allah jelaskan dan terangkan dalam kitabullah (Al-Quran) baik dari ketentuan-ketentuannya atau penerima-penerima warisnya. Pada masa jahiliyah orang-orang Arab memberikan harta waris kepada kaum laki-laki saja tanpa memberikannya kepada kaum wanitam juga hanya memberikan kepada laki-laki dewasa saja tidak memberikan kepada laki-laki kecil. Mereka juga memberikan harta waris kepada orang lain di luar ahli waris atas dasar perjanjian (sumpah), kemudian datanglah syariat islam mengatur pembagian waris ini dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Al-Quran dan Hadits.

2.      Sebab-Sebab Warisan

Dalam perwarisan ada aturan yang harus diperhatikan, tidak semua anak yang bernasab kepada orang tuanya mendapatkan harta warisan dari harta yang orang tuanya tinggalkan. Dalam kitab fiqh as-sunnah dijelaskan bahwa sebab-sebab menerima waris itu ada 4 sebab, diantaranya:
a.       Nikah
Apabila kedua orang melakukan pernikahan, maka berhak baginya mendapatkan warisan dari harta salah satunya dengan sebab akad nikah yang benar. Adapun nikah fasid maka tidak berhak baginya warisan dan bagi yang dalam keadaan talak raj’I tidak terlarang baginya warisan selama dalam masa iddah.
b.      Nasab (Kerabat)
Kerabat adalah penyambung antara kedua manusia dengan pengkaitan dengan sebab kelahiran yang dekat atau kelahiran yang jauh. Nasab dibagi menjadi 3 bagian:
1)      Ushul, yaitu bapak, kakek, dan sampai ke atasnya
2)      Furu’, yaitu anak, cucu dan sampai ke bawahnya
3)      Hawasyi, yaitu saudara, anak mereka, paman, dan anak paman.
c.       Wala’
Wala’ adalah pengikat dalam sebab mendapatkan waris karena memerdekan budak, apabila budak meninggal dunia maka warisnya dimiliki oleh tuannya.
d.      Jihah Islam, maksudnya adalah harta warisan dibagikan hanya kepada orang yang beragama islam (tidak murtad).

3.      Hal-Hal Yang Menghalangi Warisan

Adapula hal yang menyebabkan tidak dapat mewariskan hartanya, padahal secara nasab dan pernikahan ia berhak mewariskan harta yang ditinggalkan kepada keturunannya atau saudaranya. Larangan yang tidak membolehkan seseorang mewariskan hartanya kepada keturunannya adalah adanya suatu sebab yang dilarang dari syar’I kepada ahlu waris tersebut, dibawah ini adalah sebab-sebab orang tidak dapat mewariskan hartanya kepada ahlu waris :
a.       Budak, seorang budak tidak bisa mewariskan harta peninggalannya, karena seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada tuannya (orang yang memerdekakan).
b.      Pembunuh, seorang pembunuh tidak mewariskan atau mendapatkan warisan dari harta yang ditinggalkan, karena jatuhnya sebuah qisash bagi pelaku pembunuhan. Apabila pembunuhannya dikarenakan sebab salah, maka terjadi perselesihan dikalangan ulama, jumhur memandang bahwa orang yang membunuh disebabkan salah, maka mutlak baginya hukum pembunuh (tidak mendapatkan warisan).
c.       Berbeda Agama, tidak mewariskan seorang muslim kepada seorang yang kafir atau sebaliknya seorang kafir kepada seorang muslim. Sebagaimana sabda nabi, “ Tidak mewariskan seorang muslim kepada kafir, dan seorang kafir kepada muslim.” (HR. Bukhari)
Selain dari sebab diatas, adapula orang yang tidak dapat mewariskan hartanya disebabkan oleh murtad (keluar dari islam), baik dia meninggalkan islam karena kemauannya sendiri atau sebab pilihannya. Sepakat para ulama bahwa tidak mewariskan sebuah harta kepada orang yang murtad tanpa ada perselisihan.

4.      Hukum Waris Bagi Anak Perzinahan

Permasalahan yang muncul sekarang adalah tentang bagaimana warisan ini jatuh kepada anak yang dihasilkan dari hasil perzinahan (hamil diluar nikah), apakah seorang anak yang dihasilkan dari hasil perzinahan akan mendapatkan sebauh harta warisan dari kedua orang tuanya atau hanya dari salah satunyanya saja ?
Dalam Al-Quran dijelaskan akan kejelasan sebuah nasab bagi seseorang anak, firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 4-5 :
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ   öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab :4-5)
Dalam sebuah hadits menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman. “ Dari ‘Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya  ‘Utbah  ibn  Abi  Waqqash  dia  sampaikan  ke  saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn  Zum’ah  juga  berkata:  “Anak  ini  saudaraku  wahai Rasulullah,  ia  terlahir  dari  pemilik  kasur  (firasy)  ayahku  dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai ‘Abd ibn Zum’ah.  Anak  itu  adalah  bagi  pemilik  kasur/suami  dari  perempuan yang  melahirkan  (firasy)  dan  bagi  pezina adalah  (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam’ah. Aisyah  berkata:  ia  tidak  pernah  melihat  Saudah  sama  sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain dikatakan,“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata:  seseorang  berkata:  Ya Rasulullah,  sesungguhnya  si fulan itu  anak  saya,  saya  menzinai  ibunya  ketika  masih  masa jahiliyyah,  Rasulullah  saw  pun  bersabda:  “tidak  ada pengakuan  anak  dalam  Islam,  telah  lewat  urusan  di  masa jahiliyyah.  Anak  itu  adalah  bagi  pemilik  kasur/suami  dari perempuan  yang  melahirkan  (firasy)  dan  bagi  pezina  adalah  batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)
Dalil-dalil tadi sangat jelas menerangkan bagaimana posisi seorang anak dalam nasab, anak akan dinisbatkan kepada bapaknya dengan syarat anak tersebut dihasilkan dari hasil pernikahan yang syah menurut syara’, sedangkan seorang anak yang dihasilkan dari hasil perzinahan, maka pernisbatannya bukan kepada bapaknya (orang yang menghamilinya), akan tetapi dinasabkan kepada ibunya. Jelasnya bahwa seorang anak terputus hubungan pernasaban dengan bapaknya dikarenakan perzinahan (hamil diluar nikah), begitu pula dengan warisan dari pihak bapaknya, seorang anak hasil zina tidak akan mendapatkan harta bagian dari bapaknya.
Anak yang dihasilkan dari perzinahan tidaklah menjadi ahli waris dari harta ayahnya, meskipun ibunya menikah saat ia mengandung anak itu. Sebagaimana hal ini dalam hadits nabi, “ Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang  wanita merdeka atau budak wanita, maka anaknya adalah anak zina yang tidak mewarisi dan tidak diwarisi.” (HR. Imam Tirmidzi)
Ibnul Malak menyebutkan bahwa anak zina itu tidaklah mewarisi laki-laki yang menzinahi ibunya dan juga tidak mewarisi saudara-saudara kerabatnya, karena pewarisan adalah berdasarkan nasab, sedangkan anak itu (anak zina) tidak lah memiliki hubungan nasab dengan laki-laki yang berzina tersebut.
Dalam hal akta kelahiran yang dicatat oleh pemerintah, anak yang dihasilkan dari perzinahan masih diakui sebagai anak orang yang menzinahi ibunya, sebagaimana dalam kompilasi hukum islam, bahwa wanita yang dihamili oleh seorang laki-laki diluar nikah hanya dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Jika laki-laki ini menghamilinya, maka anak yang lahir menjadi sah. Pasal 272 KUH Perdata juga menyebutkan demikian. Pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekkuensi adanya hubungan perdata (pasal 208 KUH Perdata).
Namun terjadi revisi pada tanggal 17 Februari 2012 tentang isi putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Pasal 43 ayat (1) UUP yang bunyinya menjadi: “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Yang dimaksud “di luar perkawina resmi” dalam pasal tersebut, adalah: kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.
Dalam masalah pencatan sipil, anak yang dihasilkan dari luar nikah masih bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menghamili ibunya sesuai dengan keputusan mahkamah konstitusi yang berlaku di Negara Indonesia, namun dalam masalah perwarisan, hukum agama islam melarang seorang anak hasil di luar nikah itu menjadi ahli waris laki-laki yang menghamilinya atau saudara-saudaranya.
Para ulama sepakat bahwa, bila zina itu telah terbukti dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan dengan cara seperti yang telah dijelaskan tadi, maka tidak ada hak waris-mewarisi antara anak yang dilahirkan melalui perzinaan dengan orang-orang yang lahir dari mani orang tuanya. Sebab, anak tersebut, secara syar’i tidak memiliki kaitan nasab yang sah dengannya.
Akan tetapi para ulama mazhab menghadapi kesulitan besar sebagai konsekuensi dari fatwa mereka bahwa anak zina tidak berhak menerima waris. Mereka tidak mampu keluar dari kesulitan itu, yaitu manakala anak zina itu tidak memiliki kaitan nasab secara syar’i dengan orang-orang yang lahir dari mani orang tuanya, maka-dalam kondisi seperti itu laki-laki yang melakukan zina tersebut tidak haram mengawini anak perempuan hasil zinanya, dan anak laki-laki zina tidak haram mengawini saudara perempuan dan bibinya, sepanjang mereka itu dianggap tidak muhrim, maka anak zina itu dianggap sebagai anak yang sah, sehingga diberikan seluruh haknya sebagaimana yang diberikan kepada anak-anak sah lainnya, termasuk hak waris dan nafkah, atau dipandang sebagai anak tidak sah, sehingga diberikan pula hak-haknya sebagaimana orang-orang yang tidak mempunyai nasab, termasuk boleh kawin antara bapak dan anak perempuannya atau antara dia dan saudara perempuannya sendiri. Pemisahan antara efek sesuatu yang tidak dapat dipisahkan adalah mengada-ada dan tanpa alasan. Karena itu kita lihat para ulama mazhab, sesudah sepakat bahwa si anak tidak mendapat waris, mereka berbeda pendapat dalam hal lain.

5.      Pendapat-Pendapat Ulama Tentang Status Anak Perzinahan Dalam Waris

Disini ada beberapa pandangan para ulama tentang status anak hasil perzinahan, pendapat-pendapat ulama tersebut diantaranya :
1)      Imam Maliki dan Imam Syafi’i menyatakan : seorang laki-laki boleh mengawininya anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan, dan keponakan perempuan hasil perbuatan zina. Sebab wanita-wanita tersebut tidak mempunyai kaitan nasab secara syar’i dengannya. Ini merupakan jalan keluar dari satu kesulitan menuju kesulitan yang lebih besar lagi.
2)      Imamiyah, Hanafi dan Hambali mengatakan : kita harus melakukan pemisahan. Artinya, kita tindakan hak waris dan melarang dia dan ayahnya untuk kawin dan mengawini orang-orang yang menjadi muhrim mereka. Bahkan tidak dibenarkan bagi mereka untuk melihat dan menyentuh anak zinanya dengan birahi. Tapi pada saat yang sama mereka berdua tidak saling waris-mewarisi.
Nampak sekali bagaimana para ulama membahas tentang status anak yang di hasilkan bukan dari pernikahan yang sah (hasil perzinahan), mereka sepakat bahwa dalam masalah anak yang dihasilkan di luar nikah, hukum bagi mereka tidak sama seperti anak yang di hasilkan dari pernikahan yang sah, mereka pula dalam posisi keluarga diberikan status bukan mahram. Oleh sebab itu, dalam permasalahan warispun mereka tidak berhak mendapatkan warisan dari laki-laki yang menghamili ibuny dan dari saudara-saudara anak dari laki-laki yang menghamili ibunya, karena dalam salah satu sebab warisan adalah adanya sebuah nasab orang tua atau adanya nasab antara pewaris dan yang diwarisi.
Dengan demikian, warisan tidak bisa diberikan kepada anak yang dihasilkan dari hasil perzinahan yang dilakukan sebelum menikah hal ini dipertegas dengan hadits Nabi Shalallahu Alaihi wasallam “Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah  saw  bersabda:  Setiap  orang  yang  menzinai perempuan  baik  merdeka  maupun  budak,  maka  anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)
Namun apabila anak tersebut dihasilkan dari perzinahan (selingkuh) dengan orang lain, baik perzinahan ini diketahui oleh suaminya atau tidak diketahui oleh suaminya, maka status anak itu di nasabkan kepada suami perempuan tersebut. Sebagaimana dalam hadits shahih, “ Anak itu haknya bagi yang memiliki tempat tidur (suaminya) dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).” (HR. Bukhari)
Hal tersebut dipertegas dengan Ijma’ Ulama,  sebagaimana  disampaikan  oleh  Imam  Ibn  Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak,  maka  anak  tidak  dinasabkan  kepada  lelaki  yang menzinainya,  melainkan  kepada  suami  dari  ibunya  tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut. Jadi masih ada sebuah syarat lain yang harus ditempuh ketika anak tersebut dihasilkan dari hasil perzinahan yang dilakukan seorang istri, yaitu pengakuan dari seorang suaminya, namun apabila suaminya memberikan sumpah lia’an, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya, karena suaminya tidak mengakui secara sepihak.
Sebagaimana perkataan Ibnu Abdir Barr ,”Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis Nabi saw,  dan Rasul saw  menetapkan  setiap  anak  yang terlahir  dari  ibu,  dan  ada  suaminya,  dinasabkan  kepada ayahnya  (suami  ibunya),  kecuali  ia  menafikan  anak  tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an.” Juga  disampaikan  oleh  Imam  Ibnu  Qudamah  dalam  Kitab al-Mughni (9/123) sebagai berikut: “Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan  ada  suaminya,  kemudian  orang  lain  mengaku  (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.”

6.      Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Status Anak Perzinahan

Penulis mengutip fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor:  11 Tahun 2012 Tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”. Memperhatikan :
1.      Pendapat  Jumhur  Madzhab  Fikih  Hanafiyyah,  Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah  yang  menyatakan  bahwa  prinsip penetapan  nasab  adalah  karena  adanya  hubungan  pernikahan yang  sah.  Selain  karena  pernikahan  yang  sah,  maka  tidak  ada akibat  hukum  hubungan  nasab,  dan  dengan  demikian anak  zina dinasabkan  kepada  ibunya,  tidak  dinasabkan  pada  lelaki  yang menzinai,  sebagaimana  termaktub  dalam  beberapa  kutipan berikut:
a)      Pendapat  Imam  al-Sayyid  al-Bakry dalam kitab “I’anatu al-Thalibin” juz 2 halaman 128 sebagai berikut:” Anak  zina  itu  tidak  dinasabkan  kepada  ayah,  ia  hanya dinasabkan kepada ibunya.”
b)      Pendapat  Imam  Ibn  Hazm  dalam  Kitab al-Muhalla juz  10 halaman 323 sebagai berikut :” Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian  mengandungnya,  dan  tidak  dinasabkan  kepada lelaki.”
c)      Pendapat Imam  Ibnu  Nujaim  dalam    kitab “al-Bahr  al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq”:” Anak  hasil  zina dan li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak  ibu  saja,  karena  nasabnya  dari  pihak  bapak  telah terputus,  maka  ia  tidak  mendapatkan  hak  waris  dari  pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu  dengan  fardh  saja  (bagian  tertentu),  demikian  pula dengan  ibu  dan  saudara  perempuannya  yang  seibu,  ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.”
Manjelis Ulama Indonesia Memutuskan Menetapkan  :  Fatwa  Tentang  “Anak  Hasil  Zina  Dan Perlakuan Terhadapnya”. Berlaku bagi anak hasil zina ketentuan umum menurut putusan MUI tahun 2012, adalah sebagai berikut:
1.      Anak hasil  zina adalah  anak  yang  lahir  sebagai  akibat  dari hubungan  badan  di  luar  pernikahan  yang  sah  menurut ketentuan  agama,  dan merupakan jarimah  (tindak  pidana kejahatan).
2.      Hadd adalah jenis  hukuman atas  tindak  pidana  yang  bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
3.       Ta’zir adalah jenis  hukuman  atas  tindak  pidana  yang  bentuk dan  kadarnya  diserahkan  kepada  ulil  amri  (pihak  yang berwenang menetapkan hukuman)
4.       Wasiat  wajibah adalah kebijakan ulil  amri (penguasa) yang mengharuskan  laki-laki  yang  mengakibatkan  lahirnya  anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Adapun fatwa MUI menimbang dari ketentuan hukum, maka anak hasil zina diberlakukan sebagi berikut:
1.      Anak hasil  zina  tidak  mempunyai  hubungan  nasab,  wali nikah,  waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
2.      Anak hasil  zina  hanya  mempunyai  hubungan  nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. 
3.      Anak hasil  zina  tidak  menanggung  dosa  perzinaan  yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya. 
4.      Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk  kepentingan  menjaga  keturunan  yang  sah  (hifzh  al-nasl).
5.      Pemerintah berwenang menjatuhkan  hukuman ta’zir kepada lelaki  pezina  yang  mengakibatkan  lahirnya  anak  dengan mewajibkannya untuk :
a.  mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b.  memberikan  harta  setelah  ia  meninggal  melalui wasiat wajibah.
6.      Hukuman  sebagaimana  dimaksud  nomor  5  bertujuan melindungi  anak,  bukan  untuk  mensahkan  hubungan  nasab antara  anak  tersebut  dengan  lelaki  yang  mengakibatkan kelahirannya.
Demikianlan penjelasan tentang status anak yang dihasilkan dari luar nikah (perzinahan) dipandang dari sisi hukum islam dan hukum perdata yang berlaku di Indonesia dan juga fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang kedudukan anak yang dihasilkan dari perzinahan dan perlakuan terhadapnya.











BAB III
PENUTUP

A.    Rangkuman

Seseorang anak akan mendapatnya dari sebuah kelurga, apabila anak ini dihasilkan dari sebuah pernikahan yang sah menurut agama dan pemerintahan, hal ini sangat penting diperhatikan bagi masyarakat yang akan menjadikan kehidupan keluarga sebagai sarana untuk meraih sebuah kebahagiaan. Dengan mengikuti sebuah peraturan yang ada, baik peraturan dari pemerintahan ataupun dari agama, maka akan memberikan kepastian dalam menjamin sebuah ketenangan dalam keluarga.
Seorang anak yang menjadi buah cinta dalam keluarga jangan menjadi korban dari sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan, sehingga anak yang tak berdosa menanggung beban perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, jadikanlah peraturan yang ada dalam agama dan pemerintahan sebagai acuan hidup yang akan menjamin kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Perzinahan yang dilakukan orang orang yang tak berfikir sebab dan akibatnya, akan memberikan dampak buruk pada masa depan anak yang akan tumbuh besar dan akan menjalani kehidupan seperti sewajarnya, namun apabila proses terciptanya anak ini bukan dari sisi kehalalan yang sesuai dengan aturan agama, yaitu dengan cara perzinahan yang dilakukan, baik sebelum menikah atau sesudah menikah (selingkuh), maka akan mengakibatkan hak-hak yang seharusnya anak nikmati terbuang jelas dan menjadi sebuah beban berat bagi proses pertumbuhan anak kelak.
Dengan demikian, dalam proses menjalani hidup dalam berkeluarga harus memperhatikan aspek masa depan yang akan dijalani oleh seorang anak, seperti status mereka, hak-hak warisnya, perlindungannya dan lain-lain. Sehingga anak akan berkembang tanpa menanggung sebuah beban berat dan akan memberikan sumbangsih dan kebahagian tersendiri bagi para orang tua. Orang tuapun akan bahagia dan akan memberikan apapun yang mampu dilakukan untuk memberikan sebuah pelayanan baik dan pelayanan dalam proses pembentukan karakter anak tersebut tanpa menanggung sebuah aib dari apa yang tidak selayaknya dilakukan.
Apabila sebuah perzinahan sudah dilakukan dan memberikan sebuah dampak buruk bagi anaknya, maka sebagai seorang muslim yang baik dan sebagai masyarakat yang pengertian, tidak pantas kita memberikan sebuah label jelek bagi perkembangan anak tersebut, bahkan orang tua sekalipun masih mampu memberikan hak yang harus diberikan kepada anaknya, bisa dari sisi pengakuan atau bahkan dari sisi kewarisan dengan memberikan wasiat bagi mereka (anak hasil perzinahan).
Sebagaimana penjelasan di atas dalam masalah anak yang dihasilkan dari perzinahan, maka sepantasnya kita memperhatikan hal-hal berikut ini :
1.      Anak hasil perzinahan tidak memiliki nasab dengan laki-laki yang menzinahinya, namun nasabnya hanya di nasabkan kepada ibunya saja.
2.      Apabila istri melakukan perselingkuhan, lalu melahirkan seorang anak dari hasil perselingkuhannya, maka nasabnya tetap di nasabkan kepada suaminya bukan kepada laki-laki yang menzinahinya, kecuali suaminya memberikan sumpah li’an, yakni tidak mengakui anak tersebut.
3.      Anak hasil perzinahan tidak mendapatkan hak waris dari laki-laki dan saudara-saudaranya yang menzinahi, kecuali laki-laki tersebut memberikan wasiat bagi anak.
4.      Untuk pengakuan dari pihak sipil, anak bisa dinasabkan kepada suami atau saudara terdekatnya dengan membawa bukti.

B.     Saran

Seiring dengan bebasnya pergaulan pada masa modern ini, maka sikap yang harus diambil oleh orang tua adalah menjaga dan memberikan pembimbingan ketat kepada anak, agar anak tidak terjerumus kepada pergaulan bebas, sek bebas, dan lain-lain. Hal ini perlu dilakukan, mengingat banyaknya kasus-kasus anak yang hamil diluar nikah, bahkan mereka sampai melahirkan anak dan tidak mengetahui siapa ayah bagi anak tersebut. Demikian juga dengan akses teknologi yang begitu berkembang pesat dan mudahnya anak untuk mengakses film-film yang tidak mendidik dan menyebabkan gejolak syahwat memuncak, maka orang tua harus mampu mengarahkan anak ke dalam jalur yang bisa berkembang tanpa mengikuti pergaulan negative.
Penulis dalam kesempatan ini memberikan saran, agar anak-anak itu diberikan protek yang bisa membuat sebuah karakter keimanan kuat dan mampu menjaga diri tanpa harus diberikan sebuah hukuman keras, hal-hal yang mungkin bisa diberikan kepada anak adalah sebagai berikut:
1.      Pendidikan islam sejak dini.
2.      Memberikan pengertian tentang bahayanya sek bebas dan pergaulan bebas
3.      Mengenalkan perjuangan orang-orang sukses yang bertahan di era yang serba canggih.
4.      Memberikan pelatihan skil yang bermanfaat bagi kehidupan masa depannya.
Penulis juga menghibau kepada :
1.      Para elemen masyarakat untuk mempersempit ruang gerak tempat-tempat perzinahan yang ada di masyarakat.
2.      Para muda-mudi mampu menjaga diri dan melindungi jiwanya dengan menjauhi pergaulan bebas, menjaga norma-norma adat dan agama.
3.      Para akademisi untuk memberikan penjelasan dampak dan akibat dari perzinahan bagi nasib anak di masa depan.




Daftar Pustaka


1 komentar:

  1. alhamdulillah, syukron atas makalah ini, yang begitu lengkap pemaparannya.jazakallah ahsanul jaza.

    BalasHapus