Minggu, 21 Desember 2014

ALIRAN MU'TAZILAH

Oleh : Hendri Permana


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam permasalah teologi dalam agama islam, banyak bermunculan kelompok-kelompok yang memperkuat argumentasi dalam beragamanya dengan menggunakan rasio, walaupun mereka tetap menggunakan nash yaitu al qur an dan al hadits. Akan tetapi, dengan menggunakan rasio yang mereka agungkan ini, maka muncul pemikir-pemikir islam yang memperkuat sebuah alasan dalam mempertahankan keyakinannya.
Mu’tazilah adalah salah satu kelompok/golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum khawarij dan murji’ah. Walaupun pada mulanya kelompok ini hanya sebatas gerakan beberapa orang sahabat saja yang tidak puas dengan sikap pemerintahan sayidina ali bin abi thalib.
Penyebutan kelompok ini dengan sebutan kelompok mu’tazilah terjadi setelah adanya perbedaan pendapat antara wasil ibn atha dengan gurunya hasan al bishri tentang penilaian orang yang berbuat dosa. Dengan munculnya pemikiran seperti inilah maka mu’tazilah lahir sebagai nama kelompok baru dalam dunia pemikiran islam.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
       a.            Pengertian mu’tazilah
      b.            Latar belakang munculnya aliran mu’tazilah
       c.            Doktrin-doktrin aliran mu’tazilah
      d.            Sejarah perkembangan mu’tazilah
C. Tujuannya
     Adapun tujuan penulisan makalah ini, agar :
       a.            Memhami sejarah munculnya mu’tazilah
      b.            Mengetahui pemikiran-pemikiran mu’tazilah
       c.            Mengetahui doktrin-doktrin mu’tazilah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’tazilah
            Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.
            Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan  teologi, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
            Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yeng berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan muamalah manusia.
            Kaum Mu’tazilah muncul sebagai tanggapan atas pertikaian antara Khawarij dan murji’ah mengenai pelaku dosa besar. Khawarij berpendapat dosa besar termasuk orang kafir, sedangkan murji’ah berpendapat pelaku dosa besar masih dianggap mukmin.
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah
            Mu’tazilah muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad 2 hijriyah, yaitu antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Basrah mantan murid Hasan al Basri yang bernama Washil bin Atha Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Washil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al Basri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham dikarenakan perselisihan tersebut antara murid dan guru, dan akhirnya  golongan Mu’tazilah dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
            Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon polotik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral polotik, khususnya bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
            Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
            Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah  kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di  Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang  orang yang berbuat dosa besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berpikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,”Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar  bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.
            Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi, ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majlisnya karena ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa itu tidak mukmin dan tidak kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
            Versi lain dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majlis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majlis tersebut bukan majis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “Ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakanMu’tazilah.
            Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri, mereka diberi nama Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat di antara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).
            Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana: Satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya kpada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan diri dengan Mu’tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.
C. Doktrin-doktrin Pokok Aliran Mu’tazilah
            Mu’tazilah memiliki ajaran pokok dengan sebutan Al-Usul Al-Khamsah (lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah).
1.      At Tauhid
Tauhid dalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahlut-tauhid. At-Tauhid berarti ke Maha Esaan Tuhan. Menurut faham mereka,Tuhan hrus disucikan dari segala yang dapat mengurangi arti ke Maha Esaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim. Bila yang qadim itu lebih dari satu, maka telah terjadi  ta’addud al qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhn, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
            Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa tak satupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha melihat, Mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainyaitu bukanlah sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah suautu yang melekat. Bila sifat itu qadim, berarti ada dua qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Atho yang dikutip  oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak bis aditerima karena pebuatan syirik. Apa yang disebut sifat menurut Mu’tazilah adalah Tuhan itu sendiri. Abu Huzzail berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu tuhan sendiri, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu Tuhan sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
2.      Al-‘Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Ajaran ini bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut pandangan manusia. Tuhan dipandang adil jika bertindak hanya yang baik dan terbaik. Tuhan juga dianggap adil jika memenuhi janjinya karena Tuhan terikat dengan janji-Nya.
            Ajaran tentang keadilan ini terkait dengan beberapa hal:
a.       Perbuatan Manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, manusia bebas menentukan perbuatannya, Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
b.      Berbuat Baik dan Terbaik
Yang dimaksud  dengan berbuat baik dan terbaik adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiyaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Bahkan menurut An-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah berpendapat, “Tuhan tidak dapat berbuat jahat”. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan dan pengasihan Tuhan (sifat-sifat yang layak bagi-Nya).
c.       Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini:
·         Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
·         Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. As-Syu’ara:29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
·         Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.
3.      Al-Wa’d wa Al-Wa’id
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan wajib melaksanakan janji-Nya, yaitu janji Tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang berbuat baik dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan.Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan atau pahala, sebaliknya orang yang berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan atau siksa.Tiada ampunan bagi orang berbuat dosa kecuali ia bertobat. Ajaran ini tampaknya bertujuan untuk medorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.      Al-Manzilah bain Al-Manziltain
Prinsip ini sangat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yang timbul dalam masalah teologi sehingga lahir  golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq suatu posisi diantara dua posisi. Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjad kafir dan akan kekal di neraka. Golongan Murji’ah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di neraka. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasik dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij  dan pendapat Murji’ah.
5.      Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An Nahyu ‘An al-Munkar
Al-amr bi al-Ma’ruf wa An Nahyu ‘An al-Munkar artinya mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ajaran ini berpihak kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan berbuat baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan mu’tazilah saja, tapi juga dimiliki oleh umat Islam lainnya. Namun dalam pelaksanaannya, Mu’tazilah menggunakan kekerasan bila dianggap perlu.
D. Perkembangan Aliran Mu’tazilah
       Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam. Karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofi itu. Alasan lain karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak teguh berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para sahabat.
       Kelompok ini baru mendapat dukungan yang luas pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun, penguasa Abasiyah (198-218 H / 813-833 M). Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah al-Ma’mun menjadikannya sebagai mahzab resmi negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena mendapat dukungan dari pemerintah, kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain yang dikenal dengan peristiwa minhah (inquisition). Minhah itu timbul sehubungan pendapat mereka bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. Kalam adalah terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf dan dapat ditiru bunyinya. Al-Qur’an itu makhluk, dalam arti ciptaan Tuhan. Karena itu diciptakan maka sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika dikatakan Al-Qur’an itu qadim, maka kesimpulannya ada yang qadim selain Allah SWT dan itu musyrik hukumnya.
       Khalifah al-Ma’mun memerintahkan agar diadakan pengujian terhadap aparat pemerintah (minhah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Dalam pelaksanaanya bukan hanya aparat pemerintah saja, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadi korban, salah satunya adalah Imam Hambali. Peristiwa ini berakhir pada saat kepemimpinan al-Mutawakkil (memerintah 232-247 H /842-847 M). Dimasa Al-Mutawakkil dominasi Mu’tazilah menurun dan tidak mendapat simpati dari masyarakat. Hal ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil mambatalkan mahzab Mu’tazilah menjadi mahzab Asy’ariah. Pada perkembangannya, Mu’tazilah sempat muncul kembali pada Dinasti Buwaihi di Baghdad. Namun tidak lama karena segera digulingkan oleh Bani Seljuk yang cenderung ke Asy’ariah.
      
           


 
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah. Mu’tazilah muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad 2 hijriyah,. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atho yang berpisah dari gurunya Hasan al-Basri karea perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim yang berdosa besar bukan mukmin bukan pula kafir, yang berarti ia fasik.
Mu’tazilah memiliki ajaran pokok dengan sebutan Al-Usul Al-Khamsah (lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah).
Ø  At-Tauhid
Ø  Al-Adl
Ø  Al-wa’d wa al-Wa’id
Ø  Al-Manzilah bain Al-Manziltain
Ø  Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An Nahyu ‘An al-Munkar
B. Saran
          Dengan demikian sebagai penulis makalah ini kami meminta saran dan kritik karena masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki agar teman-teman mahasiswa yang membaca ataupun Dosen yang membimbing agar memberikan masukan demi kesempurnaan penulisan Makalah yang berjudul ”Aliran Mu’tazilah”.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar