Minggu, 21 Desember 2014

PRODUK PEMIKIRAN DAN HUKUM ISLAM

PRODUK PEMIKIRAN DAN HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
       Islam sebagai agama samawi terakhir membawa ajaran-ajaran yang bersifat final, dan mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, menjawab tantangan, dan tuntutannya sepanjang zaman. Dalam hal ini sumber dasar ajaran agama islam akan tetap aktual dan fungsional terhadap permasalahan hidup dan tantangan serta tuntutan perkembangan zaman tersebut. Sementara itu, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman yang berlangsung dan berkelanjutan, maka permasalahan dan tantangan serta tuntutan hidup manusiapun bertumbuh kembang menjadi semakin kompleks. Pemecahan permasalahan dan jawaban terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman yang semakin kompleks ini menimbulkan pertumbuhan dan perkembangan system kehidupan budaya dan peradaban manusia yang semakin maju dan modern. Mampukah sumber dasar ajaran agama Islam tetap aktual dan menjadi faktor dinamis dari perkembangan sistem budaya dan peradaban manusia yang semakin maju dan modern tersebut. (muhaimin, 2005 : 11)
       Ketika islam ini masih dibimbing langsung oleh baginda Nabi Muhammad, ketika muncul sebuah permasalahan hidup yang berkaitan dengan agama, maka para sahabat langsung datang kepada baginda Nabi Muhammad untuk meminta fatwa atau nasihat dari beliau. Akan tetapi, ketika nabi Muhammad wafat dan islam mulai tersebar keseluruh belahan dunia, dan banyaknya para sahabat yang tersebar dibumi tersebut, maka islam mulai menemukan banyak perbedaan dalam memahami nash-nash yang datangnya dari al-quran dan hadits, sehingga perbedaan ini menimbulkan banyak kontroversi antar umat islam sendiri. Ulama sebagai pemikir hukum-hukum islam, muncul sebagai pemberi jawaban atas permasalahan yang ada dimasyarakat dengan maksud untuk memberikan solusi dan memberikan pemahaman yang benar atas nash-nash yang datang dari al-quran dan hadits nabi. Islam datang sebagai rahmatan lil ‘alamin, sehingga dapat mewujudkan dalam kehidupan nyata di dunia global.
       Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah yang terakhir, sebagai penutup dari serangkaian rasul-rasul yang telah diutus oleh-Nya sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini. Beliau membawa agama samawi yang bersifat universal dan eternal. Dalam arti, bahwa jika rasul-rasul sebelumnya diutus oleh-Nya untuk mendakwahkan ajaran agama samawi kepada lingkungan budaya bangsanya masing-masing, maka nabi Muhammad SAW  sebagai nabi terakhir yang harus mendakwahkan agama kepada berbagai bangsa-bangsa dan budaya-budaya yang ada dimuka bumi ini sebagai utusan terkahir bagi seluruh alam sampai akhir zaman ini.(muhaimin, 2005 :26) Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-anbiya ayat 107 :

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dan firman Allah dalam surat saba’ ayat 28 :

“dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
       Dengan melihat dua ayat ini, maka jelaslah bahwa islam ini sebagai agama samawi terakhir yang Allah turunkan buat umat manusia diseluruh bumi ini. Sehingga islam menjadi sebuah alternative dalam menyelesaikan berbagai malasah yang ada khusus dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan syri’ah, ibadah, mua’malah, dan akhlak.

PEMBAHASAN
A.    Sumber-sumber pemikiran islam dan hukum islam
       Sumber-sumber dalam pemikiran dan juga hukum islam adalah al-qur an , as- sunnah, dan ijtihad. Adapun sumber yang ketiga ini merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan. Landasannya ialah hadits tentang Mu’adz bin jabbal: “ bagaimana kamu akan memutuskan terhadap suatu perkara yang datang kepadamu ?” Mu’adz menjawab : “saya akan memutuskan dengan kitabullah”. Nabi bertanya: “kalau engkau tidak mendapatinya di dalam kitabullah?” Mu’adz menjawab: “saya akan memutuskan berdasar sunnah rasul.” Nabi bertanya:”kalau disitu juga tidak ada?” Mu’adz menjawab: “ saya akan berdasar pendapatku dan saya tidak akan lengah”. Nabipun menepuk Mu’adz dan berkata:”Alhamdulillah, tuhan yang telah member taufik-Nya sesuai dengan apa yang diridhai oleh-Nya dan Rasul-Nya”.
1.      Al-Quran
       Secara etimologi Al-Quran berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jamu’) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-Quran karena ia berisikan ini sari semua kitabullah dan inti sari dari ilmu pengetahuan. Imam syafi’I berpendapat, bahwa kata Al-Quran ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-Quran) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa. (muhaimin, 2005 : 81)
       Dari seluruh isi Al-Quran itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut :
1.      Masalah tauhid, termasuk di dalamnya masalah kepercayaan terhadap yang gaib;
2.      Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan jiwa;
3.      Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapatkan kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka;
4.      Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhoan Allah;
5.      Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah. (muhaimin, 2005 : 84)
2.      As-Sunnah
       Menurut etimologi (bahasa), As-Sunnah diambil dari kata “sanna, yasinnu, sannan, jama’ sunanun.” Artinya menerangkan, sirah, tabi’at, dan jalan. As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan/persetujuan), sifat tubuh, serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat islam. (yazid, 2012 : 24 & 28)
            As-Sunnah memiliki fungsi terhadap Al-Quran, sebagai berikut :
1.      Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Quran. Maka dalam hal ini kedua-duanya sama-sama menjadi sumber hukum.
2.      Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal/global (bayan al-mujmal), memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih belum terbatas di dalam Al-Quran (taqyiq al-mutlaq) memberikan kekhususan (takhsish) ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum (takhsish al-‘amm), dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam Al-Quran (tawdih al-musykil).
3.      Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Quran. Hal ini berarti bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh Al-Quran dan hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata.
4.      Ketetapan hadits itu bisa merubah hukum dalam Al-Quran. (muhaimin, 2005 :134-139)
3.      Ijtihad
       Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-masyaqqah (yang sulit, yang susah). Namun dalam Al-Quran kata jahda mengandung arti badzl al-wus’I wa thaqati (pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah). (muhaimin, 2005 : 177)
            Lebih lanjut, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad sendiri yang terbagi atas tiga macam, yaitu:
1.      Fungsi al-ruju’ atau al-I’adah (kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada sumber pokok, yakni Al-Quran dan Sunnah Shahihah dari segala interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
2.      Fungsi al-ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman, sehingga islam mampu sebagai furqan, hudan, dan rahmatan lil ‘alamin.
3.      Fungsi al-inabah (pembenahan), yakni membenahi ajaran-ajaran islam yang telah diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita hadapi. (muhaimin, 2005 : 181)
            Seseorang dalam berijtihad harus memperhatikan hal-hal berikut ini :
a.       Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan mujtahid umat islam tentang hukum syara’dari  peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah meninggal dunia. Objek Ijma’ialah semua peeristiwa yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, peristiwa yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdah (ibadah yang tidak langsung ditujukan kpada Allah SWT)bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan, atau semua hal-hal yang berurusan dengan urusan duniawi tapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.      Qiyas
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannnya kepada suatu peristiwa la         yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua peristiwa itu.
c.       Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan atas suatu peristiwa dengan berdasarkan dalil syara’ menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
d.      Maslahat mursalah
Maslahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.
e.       ‘Urf
‘urf ialah suatu yang telah dikenal oleh masyarakat sebagai adat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.
f.       Syar’un man qoblana
Syar’un man qoblana ialah syari’ah yang dibawa para rasul terdahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW, yang menjadi pentunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari’ah Nabi Ibrahim As., Nabi Musa As., syariah Nabi Daud As., syari’ah Nabi Isa As., dan sebagainya.
g.      Istishab
Istishab ialah tetap berpegang teguh terhadapat hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
h.      Saddudz dzaraiah
Saddudz dzaraiah maksudnya menghambat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penepatan hukum secara Saddudz dzaraiah ini ialah untuk memudahkan tercapainya suatu kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat.
i.        Madzhab sahabat
Semasa rasul SAW hidup, semua masalah ditanyakan para sahabat kepada beliau dan langsung diberikan penyelesaian. Setelah rasul SAW meninggal, maka kelompok sahabat yang tergolong adil dalam mengistinbath-kan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persolaan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai fatwa-fatwa sahabat itu. (lidinillah, 2005 : 143-150)

B.     Jenis-Jenis Produk Pemikiran Dan Hukum Islam
1.        FIQH      
        Kata fiqh secara arti kata berarti “faham yang mendalam”. “Semua kata “fa qa ha”  yang terdapat dalam al-Quran mengandung arti ini. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Taubah ayat 122:
Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# ÇÊËËÈ
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…
2.      IBADAT
       Kata “ibadah”yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Melayu yang di pakai dan dipahami secara baik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Melayu atau Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh,mengesankan, dan merendahkan diri. Dalam istilah Indonesia iartikan: perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Juga diartikan: segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga,masyarakat, maupun alam semesta. Rasanya yang terakhir ini sudah merupakan suatu istilah yang lengkap.
.
3.  MUNAKAHAT (PERKAWINAN)
       Perkawinan dalam literature fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat al-Nisa’ ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù
Dan jika kamu takut dia akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang…
       Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam al-Quran dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 Ÿw tbqä3tƒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷Šr& 4
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan ) istrinya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak mereka…
       Secara arti kata nikah berarti atau zawaj “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan:
       Yang artinya : akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.



4.      FARAID ATAU KEWARISAN
A.    Pengertian
       Membicarakan faraidh atau kewarisan berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang  masih hidup. Dengan demikian fiqh Mawarist mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup.
       Dalam pandangan islam kewarisan termasuk salah satu bagian dari fiqh atau ketentuan yang harus dipatuhi umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan peninggalan seseorang yang telah mati. Allah menetapkan ketentuan tentang kewarisan ini adalah karena ia menyangkut dengan harta yang di satu sisi kecenderungan manusia kepadanya dapat menimbulkan persengketaan dan di sisi lain Allah tidak menghendaki manusia memakan hartanya yang bukan haknya.
B.     Hubungan Kewarisan
       Harta seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih hidup bila di antara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan. Hubungan tersebut dinamai hubungan kewarisan. Hubungan kewarisan  menurut Islam ada dalam beberapa bentuk:
a.       Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah. Hubungan di sini bersifat alamiah. Hubungan darah ini ditentukan oleh kelahiran. Seseorang yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang yang berhubungan kerabat dengan ibu itu. Selanjutnya ia mempunyai hubungan kerabat dengan laki-laki yang secara sah menikahi ibu itu dan ia lahir dari hasil pernikahan tersebut (sebagai ayah) dan berhubungan kerabat pula dengan orang-orang yang berhubungan kerabat dengan laki-laki itu. Dasar dari hubungan kerabat sebagai hubungan kewarisan itu ditemukan dalam surat al-Nisa’ ayat 7: “Bagi laki-laki  ada bagian yang ditentukan dari apa-apa yang ditinggalkan oleh ibu-bapak dan karib kerabatnya; dan bagi perempuan juga ada bagian yang ditentukan dari apa-apa yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabatnya…”



b.      Hubungan perkawinan.
Bila seseorang laki-laki telah melangsungkan akad nikah yang sah dengan seseorang perempuan maka diantara keduanya telah terdapat hubungan kewarisan; dalam arti istri menjadi ahli waris bagi suaminya yang telah mati dan suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang telah mati. Dasar  hukum adanya hubungan kewarisan antar suami istri ini adalah lafaz ‘akadat aymanukum dalam firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 33: “ Bagi tiap-tiap kami jadikan ahli waris dari apa-apa yang ditinggalkan  ibu bapak, karib kerabat dan orang-orang yang telah mengikat perjanjian…”
c.       Hubungan pemerdekaan hamba; yaitu hubungan seseorang dengan hamba sahaya yang telah dimerdekakannya.Hubungannya disini hanyalah hubungan sepihak dalam arti orang yang telah memerdekakan hamba berhk menjadi ahli waris bagi hamba sahaya yang telah dimerdekakannya; ttapi hamba sahaya yang dimerdekakan tidak berhak mewarisi orng yang memerdekakannya. Dasar hukum dari hubungan pemerdekaan sebagai hubungan kewarisan dalam firman Allah yang tersebut sebelum ini.
C.     Rukun Dan Syarat Kewarisan
            Adapun rukun kewarisan itu adalah:
a.       Orang yang telah mati dan meninggalkan harta yang akan beralih kepada orang yang masih hidup disebut pewaris atau muwarrits.
b.       Harta yang beralih dari orang yang mati kepada yang masih hidup yang disebut harta warisan atau al-mawrust.
c.       Orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati tersebut yang disebut ahli waris atau al-waris.

5.      MUA’MALAT
       Kata mua’amalat yang kata tunggalnya mua’malah yang berakar pada kata “Aamil” secara arti kata mengandung arti “saling berbuat” atau berbuat secara timbale balik. Lebih sederhana lagi berarti “hubungan antara orang dengan orang”. Bila kata ini dihubungkan kepada lafadz fiqh, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia. Ini merupakan imbangan dari fiqh ibadat yang mengatur hubungan lahir antara seseorang dengan Allah Pencipta.
       Hubungan antara sesama manusia dalam pergaulan dunia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam Al-Quran tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam muamalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar. (syarifuddin, 2010 : 176)
Bentuk-bentuk muamalah, diantaranya sebagai berikut:
A. Jual Beli
            Macam-macam jual beli, diantaranya sebagai berikut:
      1.            Jaul beli gharar
      2.            Jual beli mulaqih
      3.            Jual beli mudhamin
      4.            Jual beli hushah
      5.            Jual beli muhaqalah
      6.            Jual beli munabazah
      7.            Jual beli mukhabarah
      8.            Jual beli tsunayya
      9.            Jual beli ‘asb al-fahl
  10.            Jual beli mulamasah
  11.            Jual beli munabazah
  12.            Jual beli ‘urban
  13.            Jual beli talqi rukban
  14.            Jual beli musharrah
  15.            Jual beli shubrah

B. Sewa Menyewa Dan Upah Mengupah Atau Ijarah
       Rukun dan syarat sewa menyewa :
      1.            Orang yang menggunakan jasa
      2.            Orang yang memberikan jasa
      3.            Objek transaksi
      4.            Imbalan atas jasa yang diberikan.

C. Pinjam Meminjam
D. Utang Piutang
E. Agunan
       Unsur-unsur yang terlibat dalam muamalah agunan itu adalah:
      1.            Orang yang berhutang dan menyerahkan barang berharga sebagai jaminan, disebut orang yang memberikan agunan
      2.            Orang yang berpiutang dan menerima barang sebagai agunan, disebut orang yang memegang agunan
      3.            Barang yang diagunankan

F. Pemberian
G. Waqaf
     Bentuk-bentuk waqaf ada dua bentuk, diantaranya:
      1.            Hasil dari harta yang diwaqafkan itu langsung digunakan bagi kepentingan agama dan masyarakat, disebut waqaf khoeri seperti membangun mesjid, rumah sakit, gedung sekolah dan lain-lain
      2.            Hasil dari harta waqaf lebih dahulu digunakan untuk kepentingan kerabat, kemudian diserahkan bagi kepentingan agama dan masyarakat. Waqaf ini disebut waqaf zurriy.
H. Wasiat

6. JINAYAH
       Para ulama mengelompokkan jinayah itu dengan melihat kepada sanksi hukuman apa yang ditetapkan, ada 3 kelompok  diantaranya:
      1.            Qisas diyat, yaitu tidak kejahatan yang sanksi hukumannya adalah balasan setimpal (qisas) dan denda darah (diyat). Yang termasuk kelompok ini adalah pembunuhan, pelukaan dan penghilangan bagian anggota tubuh;
      2.            Hudud, yaitu kejahatan yang sanksi hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan Nabi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan zina tanpa bukti, minum minuman keras, maker dan murtad;
      3.            Ta’zir, yaitu kejahatan lain yang tidak diancam dengan qisas-diyat dan tidak pula dengan hudud. Dalam hal ini ancamannya ditetapkan oleh imam atau penguasa.

7. KHILAFAH
       Sebuah peraturan hukum dalam agama islam yang diwajibkan oleh tuhan penguasa ala mini adalah peraturan khilafah yang diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan apa yang allah turunkan. Seorang hakim yang menghukumi diantara kaum muslimin  dengan apa yang diturunkan oleh Allah setelah Rasul, maka ini dinamakan seorang khalifah, dan peraturan dalam hukum ini menunjukan peraturan khilafah. Ini sebuah keutamaan dari menegakkan sebuah batasan (hudud) dan terlaksananya sebuah hukum-hukum wajib, dan ini tidak akan terealisasi kecuali oleh seorang hakim. Dalam sebah kaidah ilmu ushul fiqh "ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب "  “tidaklah sempurna sebuah kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut menjadi wajib”.(taqiyudin, 2005 :10).
        Ini menunjukan bahwa wajib tegaknya sebuah khilafah untuk menegakkan hukuman-hukuman yang turun dari Allah seperti qisash, rajam dan lain-lain. Karena hukuman-hukuman tersebut tidak akan bisa diterapkan atau ditegakkan kecuali setelah tegaknya sebuah khilafah yang mana khalifah (hakim) pelaksana hukuman tersebut terlah berdiri.
       Ada perbedaan-perbedaan antara khilafah islamiyah dan  hukum yang terkenal di dunia, diantaranya sebagai berikut :
       a.  Khilafah bukan peraturan sebuah kerajaan
      b.  Khilafah bukan sebuah peraturan perserikatan
       c.  Khilafah bukan peraturan kesepakatan

       Dalam kekhilafahan ada hal-hal yang wajib diperhatikan, diantaranya :
1. Khalifah
       Khalifah adalah seseorang yang ditunjuk oleh umat dalam sebuah urusan hukum dan kekuasaan, dan mengeksekusi hukum-hukum syariat. Oleh karena itu, bahwasannya islam telah menjadikan sebuah hukum dan kekuasaan tersebut untuk umat, dan Allah telah mewajibkan kepadanya untuk menjalankan hukum-hukum syari’at seluruhnya.(taqiyudin, 2005 : 20)
       Syarat-syarat untuk menjadi khalifah :
       a.  Harus seorang yang muslim
      b.  Seorang laki-laki
       c.  Yang baligh
      d.  Orang yang berakal
       e.  Orang yang adil
       f.  Seseorang yang merdeka (bukan seorang budak)
      g.  Seseorang yang mampu (khadir)

2. Menteri Pembantu ( mu’awanun)
       Mereka adalah orang yang membantu khalifah untuk membantu dalam menanggung beban sebuah khilafah dan tanggung jawab dalam menanggungnya. Karena banyaknya beban sebuah khilafah, terutama ketika berkembangnya sebuah khilafah dari yang mampu mengganggu berjalannya sebuah kekhilafahan.
       Adapun syarat-syarat seorang menteri adalah sama dengan syarat yang telah disebutkan untuk syaratnya khalifah, yaitu seorang laki-laki, merdeka, adil, baligh, berakal dan mampu. Karena beban yang ditanggung oleh seorang menteri hampir sama dengan seorang khalifah yang akan menegakkan sebuah hukum islam.
3. Gubernur
4. Pemimpin Jihad
5. Perusahaan
6. Majlisul Ummah

       Banyak sekali penjelasan tentang bagaimana tata cara yang harus dilakukan agar sebuah khilafah itu tegak dan akan menjadi sebuah hukum yang adil dalam masyarakat baik yang muslim maupun nonmuslim. Namun penjelasan tentang hal ini tidak cukup untuk dimuat dalam sebuah resume ini.

Daftar pustaka
1.      Muhaimin, 2005. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana
2.      Syarifuddin Amir, 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana
3.      ___________, 2005. Ujhijah Daulah Khilafah Fi Hukum Wa Idaroh. Bairut: __
      

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar