Kamis, 23 April 2015

KAIDAH AL YAKIN LAA YUZAALU BISYAAK

OLEH : HENDRI PERMANA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Kaidah Asasiyah tentang اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالِشَّكِّ . Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa kaidah fikih itu memiliki ruang lingkup dan cakupan yang berbeda, dari ruang lingkup yang luas dan cakupan yang paling banyak sampai kepada kaidah-kaidah fikih yang ruang lingkup sempit dan cakupannya sedikit. Dalam makalah ini akan dibahas tentang kaidah asasi yang kedua, yaitu kaidah tentang keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan. Dimana setiap kaidah ini sangat penting, karena menyangkut masalah dalam kehidupan sehari-hari kita. Selain itu Allah SWT sama sekali tidak ingin membuat ummat-Nya merasa kesulitan, bahkan Allah SWT menginginkan kemudahan. Sebagaimana dalam hadits dikatakan الدِيْنُ يُسْرٌ artinya bahwa agama islam itu mudah, maka dengan kaidah asasiyah ini telah mencangkup bagaimana Allah dalam menurunkan syari’at islam buat seluruh manusia ini tidak ada unsur memberatkan dalam pelaksanaannya.
Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadast, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum, namun yang ia yakini bahwa ia sebelumnya telah berwudhu, maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian, yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya. Dengan hadirnya kaidah اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالِشَّكِّ akan memberikan penguat bagi kaum muslimin ketika mengalami sebuah keraguan dalam peribadatan yang mereka lakukan, sehingga tidak mudahnya membatalkan atau menganggap bahwa sebuah ibadah yang telah dilakukan dan ditengah pelaksanaannya mengalami kelupaan pada salah satu syarat atau rukun dalam ibadah tersebut menjadi batallah seluruh ibadahnya.
Dengan demikian, penulis akan berusaha memaparkan bagaimana kaidah asasiyah ini muncul dan menjadi sebuah sumber pendalilan dalam kaidah fiqhiyah (kaidah-kaidah furu’). Sehingga makin jelaslah bagaimana para ulama ushul dan ulama fiqh beristinbath dengan menggunakan kaidah ini dan menjadikannya sebuah argument kuat dalam pengambilan keputusan hukum.


B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis akan jelaskan adalah sebagai berikut :
1.      Pengertian kaidah asasiyah اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالِشَّكِّ
2.      Dalil dan sumber pembenrukan kaidah اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالِشَّكِّ
3.      Kaidah-kaidah furu’

C.    Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap sebagai berikut :
1.      Bertambahnya ilmu pengetahuan
2.      Mengetahui pengambilan sumber kaidah tersebut
3.      Memahami dalam penggunaan kaidah tersebut



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kaidah

Kaidah yang kedua adalah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ “ Keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan “ kaidah ini menjelaskan tentang keyakinan dan keraguan. اليَقِيْنُ dalam arti bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu, اليَقِيْنُ (Yaqin) juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.
Sedangkan pengertian menurut istilah sangat banyak sekali, diantaranya yang dikatakan oleh para ulama :
1.      Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”Begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”Begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
2.      Menurut Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
3.      As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Dari ketiga pengertian yang ulama sebutkan tentang “yakin”, semuanya sepakat bahwa keyakinan adalah “sesuatu yang bersifat pasti” tidak bisa dirubah dengan sebuah keraguan yang datang.
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan, atau bisa dikatakan dengan sesuatu yang mendatangkan kebingungan. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah sebagai berikut :
1.      Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
2.      Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan diantara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan Asy-Syakk. Kaidah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ sama dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum barat, karena seorang muslim harus memiliki rasa husnu zhan (berprasangka baik) dalam menanggapi segala sesuatu yang sifatnya ada dua kemungkinan, sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.
Adapun yang dimaksud dengan ( yakin ) ialah:
اليَقِيْنُ هُوَ مَا كَانَ ثَابِتًا بِالنَّظْرِ وَالدَلِيْلِ
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil”
Sedangkan yang dimaksud ( syak ) ialah:
الشَكُ هُوَ مَا كَانَ مُتَرَدِدًا بَيْنَ الثُبُوْتِ وَعَدَ مِهِ مَعَ تُسَاوِيِ طَرْفِيِ الصَوَّابِ وَالخَطَإِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ أَحَدُهُمَا عَلَى الْأَخَرِ
“Keraguan adalah pertentangan antara tetap dan tidaknya, di mana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa ditarjihkan salah satunya terhadap yang lain”
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu). Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1.      Keraguan yang berasal dari sesuatu yang haram
2.      Keraguan yang berasal dari sesuatu yang mubah
3.      Keraguan yang berasal dari sesuatu yang syubhat (tidak jelas halal dan haramnya)
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.

B.     Dalil Dan Sumber Pembentukan Kaidah

Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ sebagai kaidah yang kedua ini mengenai keyakinan dengan keraguan, antara lain sebagai berikut:
1.      Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
2.      Sabda Nabi Muhammad SAW :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Artinya: “ Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)

C.    Qaidah-Qaidah Furu’

Kaidah-kaidah yang diambil dari الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ  (tentang keyakinan dan keraguan)  ada 11 (sebelas) yang merupakan furu’ (sub-sub) dari kaidah tersebut, yaitu:
1.      الْيَقِنُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
“ Keyakinan bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula “
Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedualah yang dianggap benar.
Contoh: Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
2.      أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِينٍ لَا يَرْتَفِعُ إلَّا بِيَقِينٍ
“ Bahwasanya apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi “
Dalam kaidah diatas  berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
Contoh: Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mu’amalah atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
3.      الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
“ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab “
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya.
Contoh: Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa.
4.      الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان                   
“ Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya “
Keadaan ini seperti dalam contoh diatas atau kaidah sebelumnya bisa terjadi perubahan lagi, manakala ada unsur lain yang mengubahnya.
Contoh : Mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya.
Contoh lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu, sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan berwudhu (tetap dalam keadaan suci).
5.      الْأَصْلُ الْعَدم
“ Hukum asal adalah ketiadaan “
Contoh : pak ikin membeli HP android buatan china, ketika HP tersebut dibawa ke rumahnya, HP tersebut tidak berfungsi ( mati/eror ) . dalam hal ini penjual tidak perlu mengganti HP pak ikin, karena dari awal penjualan, HP tersebut telah di uji coba dulu oleh pak ikin ( sebagai pembeli).
6.      الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقْدِّ يْرُهُ بِأَقْرَبِ زَّمَنٍ
“ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya “
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.
Contoh: Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.
7.      الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya “
Maksudnya selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya adalah boleh.
Contoh: Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau memperjualbelikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya.
Kaidah ini hanya berlaku bagi hal-hal yang berkenaan dengan mu’amalah, sedangkan hal-hal yang berkenaan dengan ibadah, maka kaidah yang digunakan adalah sebagai berikut :
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْمبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“ Hukum asal dalam ibadah (mahdah) adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya “
8.      الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَة
“ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya “
Kaidah ini memberi maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki. Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya.
Contoh: Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
9.      لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
“ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya “
Contoh: Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.
10.  لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
“ Tidak diakui adanya waham (kira-kira) “
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan.
Contoh: Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja.
11.  مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
“ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya “
Contoh: Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.
















BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan tentang kaidah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ (keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan) ini, pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Djazuli, A.  Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. 2006. Jakarta: Kencana.
2.      Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. 2006. Jakarta: Kencana
3.      Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi. 2002 Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
4.      Musbikin, Imam. Qawa’id al-fiqhiyah. 2001. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
5.      Usman, Mukhlis. Kaidah-kaidah Istinbath hukum Islam. 2002. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar