Kamis, 01 Oktober 2015

Kajian Hadits Ahkam " Konsep Mahram :



BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang

Mungkin di antara kita ada yang tidak mengetahui apa itu mahram dan siapa saja yang termasuk mahramnya. Padahal mahram ini berkaitan dengan banyak masalah. Seperti tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar) kecuali dengan mahramnya. Tidak boleh seorang laki-laki dengan wanita berduaan kecuali dengan mahramnya. Wanita dan pria tidak boleh jabat tangan kecuali itu mahramnya. Dan masih banyak masalah lainnya.
Dalam hal ini, islam sebagai agama terakhir yang membawa syariat terakhir, maka islampun sudah memberikan rambu-rambu yang mengatur perkara ini, sehingga umat muslim merasa aman dan terpeliharalah dari mulai jiwa dan kehormatannya. Konsep mahram yang diatur oleh islam ini akan menjaga kemuliaan derajat wanita dan laki-laki, sehingga tidak mudah untuk bergaul dan berinteraksi antar sesama yang lain jenis.
Dalam kamus istilah fiqh dikatakan bahwa mahram itu adalah yang haram dinikahi, karena ada hubungan nasab atau susuan. Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh / tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang tidak boleh keluar rumah, kecuali bersama dengan mahramnya / mahramahnya. (M. Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah, kamus istilah fiqh, hal. 186).

Bahkan ada salah pengungkapan dimasyarakat dalam pengungkapan kata mahram ini. Ada yang mengatakan mahram dengan kata muhrim, padahal dua kata ini sangat berbeda dalam penggunaan dan dalam artinya. Muhrim digunakan untuk orang yang sedang berihram, sedangkan mahram adalah seseorang yang di haramkan untuk menikahinya.
Dengan penulisan makalah ini, semoga kita akan memahami siapa saja mahram kita dan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada mahram, sehingga kita tidak salah dalam berucap mengatakan mahram dengan muhrim dan juga pelaksanaan dalam pergaulan sehari-hari, agar kita mampu menjaga sikap dan diri kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa.


B.     Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa hal yang akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya, diantara rumusan masalah terebut antara lain :
1.      Pengertian mahram;
2.      Hadits-hadits yang berkenaan dengan mahram;
3.      Ayat-ayat al-quran yang menjelaskan mahram;
4.      Pendapat para ulama tentang mahram;
5.      Realitas pergaulan mahram dan bukan mahram di masyarakat.

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan tentang konsep mahram ini, penulis berharap tercapainya hal-hal berikut ini :
1.      Memahami pengertian mahram;
2.      Mengetahui hadits-hadits dan ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang peraturan mahram;
3.      Mengambil pendapat ulama disertai dengan alasan mereka dalam menyingkapi masalah mahram;
4.      Mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari tentang pengamalan mahram.


BAB II
Pembahasan

A.    Pengertian Mahram

Mahram diambil dari kata bahasaa arab : محرم adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. (https://id.wikipedia.org/wiki/Mahram).
Dalam kamus istilah fiqh dikatakan bahwa mahram itu adalah yang haram dinikahi, karena ada hubungan nasab atau susuan. Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh / tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang tidak boleh keluar rumah, kecuali bersama dengan mahramnya / mahramahnya. (M. Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah, kamus istilah fiqh, hal. 186). Terkadang sering salah dalam menggunakan istilah mahram ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain. Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, namun haram (tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya. Namun kita boleh bepergian dengannya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, boleh berjabat tangan, dan seterusnya.
Imam an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi berikut,
كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها
Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)
            Dari definisi diatas kita dapat mengambil sebuah kesimpulan, bahwasannya mahram itu adalah keluarga dekat yang tidak boleh dinikahi secara mutlak dan ada yang boleh dinikahi dengan sebab. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengetahui mahram-mahram dalam keluarga kita, agar kita tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa, atau bahkan menganggap hal tersebut menjadi penyebab sebuah dosa.
Dalam masalah maham pula ada yang hanya membatasi haram dalam pernikahan saja, bahkan ada pula yang menjelaskan tentang haramnya bersentuhan dengan yang bukan mahram, mereka berdalil dengan hadits “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
dan juga ada yang mengharamkan bersafar tanpa dibarengi oleh mahram. Seperti pendapat ulama Hanafiyah dan Hambali.
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Tidak boleh seorang wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar)

Mengenai mahram ini telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 22-24
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ  (النساء : 22 – 24 )
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An Nisa’: 22-24)
Dalam sebuah hadits banyak sekali yang menjelaskan tentang mahram, akan tetapi hadits-hadits ini tidak secara utuh menjelaskan seluruh konsep mahram. Oleh sebab itu, kita akan memahami fungsi syariat yang menjelaskan mahram dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat. Dibawah ini salah satu hadits yang mejelaskan mahram :
وَعَنْهَا: ( أَنْ أَفْلَحَ -أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ- جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا بَعْدَ اَلْحِجَابِ. قَالَتْ: فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ, فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخْبَرْتُهُ بِاَلَّذِي صَنَعْتُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ عَلَيَّ. وَقَالَ: إِنَّهُ عَمُّكِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“ Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa suatu ketika Aflah -saudara Abu Qu'ais- datang meminta izin untuk bertemu dengannya setelah ada perintah hijab. 'Aisyah berkata: Aku tidak mengizinkannya. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang aku beritahukan apa yang telah aku lakukan. Lalu beliau menyuruhku untuk mengizinkannya seraya bersabda: "Sesungguhnya dia itu pamanmu (sepenyusuan)." (HR. Muttafaq Alaihi)

B.     Macam-macam mahram

Dilihat dari ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 22-24 diatas dan juga beberapa hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, Mahram di sini terbagi menjadi dua macam:
1.      Mahram Muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya;
Mahram muabbad dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor nasab, ikatan perkawinan, dan disebabkan karena persusuan.
1.1. Mahram muabbad yang dipengaruhi oleh nasab diantaranya; ibu, anak perempuan, bibi dari jalur ayah, bibi dari jalur ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempuan.
Firman Allah Ta’ala
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan “
(QS. An-Nisa : 23)
1.2. Mahram muabbad yang dipengaruhi oleh ikatan perkawinan, diantaranya; istri dari ayah, ibu mertua, anak tiri, dan menantu (termasuk pula menantu dari yang sepersusu)
Firman Allah dalam Al-Qur’an
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ
“Ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS. An-Nisa : 23)
1.3. Mahram Muabbad disebabkan oleh persusuan, diantaranya :
a.       Wanita yang menyusui dan ibunya.
b.      Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
c.       Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
d.      Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
e.       Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
f.       Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
g.      Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
h.      Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
i.        Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Firman Allah dalam Al-Qur’an
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan” (QS. An-Nisa : 23)
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahram adalah lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim
وَعَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ فِيمَا أُنْزِلُ فِي اَلْقُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ, ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ, فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهِيَ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ اَلْقُرْآنِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Yang diharamkan al-Qur'an ialah sepuluh penyusuan yang dikenal, kemudian di hapus dengan lima penyusuan tertentu dan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam wafat ketika keadaan masih tetap sebagaimana ayat al-Qur'an yang dibaca. (HR. Muslim)
2.      Mahram Muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal kembali.
Diantara yang termasuk kedalam mahram muaqqot ialah :
2.1. Saudara perempuan istri (ipar), seorang laki-laki tidak boleh menikahi saudara perempuan istrinya dalam satu waktu, hal ini berdasarkan ijmak para ulama. Akan tetapi, jika istrinya meninggal atau di talak, maka laki-laki tersebut boleh menikahi saudara perempuan istrinya.
Firman Allah Ta’ala
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ
“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara”  (QS. An-Nisa : 23)
2.2. Bibi dari istri ( baik dari jalur ayah atau ibu ). Hal ini sesuai dengan hadits nabi shallahu ‘alaihi wasallam
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها
“ Dari Abu Hurairoh Radiyallahu Anhu, bahwasannya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : tidak boleh menghimpun (dalam perkawinan) perempuan dengan bibinya (baik bibi dari ayah atau bibi dari ibu). (HR. Bukhari)

C.     Pandangan para ulama terhadap mahram dalam bersentuhan

Beberapa perkataan ulama madzhab tentang larangan bentuhan dengan orang yang bukan mahramnya mahram disini berlaku bagi yang mahram muabbad dan muaqqot.
1.      Madzhab Hanafi
Penulis kitab Al-Hidayah berkata: “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menyentuh wajah atau telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”
Penulis kitab Ad-Dur Mukhtar mengatakan: “Tidak diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak tangan wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”
2.      Madzhab Maliki
Imam Ibnul Arabi, yang merupakan ulama madzhab Maliki, berkata mengenai firman Allah yang artinya “Ketika datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia kepadamu, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun” (Al-Mumtahanah: 12) (Ayat ini turun berkenaan dengan wanita-wanita muslimah yang ingin berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. pent). Kemudian beliau menerangkan hadits dari Urwah bahwasanya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wasallam diuji dengan ayat ini “Jika datang kepadamu perempuan-perempuan beriman”. Ma’mur berkata bahwasanya Ibnu Thawus mengabarkan dari bapaknya: “Tidak boleh seorang laki-laki menyentuh tangan perempuan kecuali perempuan yang ia miliki”.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha juga mengatakan di dalam Kitab Shahih Bukhari-Muslim: “Tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidaklah menyentuh tangan perempuan ketika membaiat (mengadakan janji setia)”. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam pun bersabda “(Ketika membaiat) Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, namun aku membaiatnya dengan ucapanku kepada seratus orang wanita sebagaimana baiatku kepada satu orang wanita”. Diriwayatkan pula bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam berjabat tangan dengan wanita menggunakan bajunya.
3.      Madzhab As-Syafi’i
Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Sahabat kami berkata bahwa diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian.
4.      Madzhab Hambali
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu Fatawa, “Haram hukumnya memandang wanita dan amrod (anak berusia baligh tampan yang tidak tumbuh jenggotnya) diiringi dengan syahwat. Barang siapa yang membolehkannya, maka ia telah menyelisihi Ijma (kesepakatan) kaum muslimin. Hal ini juga merupakan pendapatnya Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi’i. Segala hal yang dapat menimbulkan syahwat, maka hukumnya adalah haram tanpa keraguan di dalamnya. Baik itu syahwat yang timbul karena kenikmatan memandang atau karena hubungan badan. Dan menyentuh dihukumi sebagaimana memandang sesuatu yang haram.”

D.    Pandangan para ulama terhadap mahram dalam masalah batasan aurat yang boleh terlihat

Berikut pendapat ulama dari empat madzhab besar:
1. Madzhab Al-Hanafiyah
Dalam madzhab ini dikatakan bahwa batasan aurat antara wanita dengan mahramnya adalah: anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut, punggungnya, dan perutnya. Artinya, anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah yang selain dari anggota tubuh tersebut, jika ada dalam keadaan aman dari fitnah dan tidak disertai syahwat.
Dalilnya adalah firman Allah SWT 
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ
Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka...." (QS. An-Nur : 31)
Yang dimaksud dengan kalimat 'jangan menampakkan perhiasannya' dalam ayat di atas adalah bahwa larangan untuk menampakkan 'anggota tubuh' yang menjadi objek yang biasa dipakaikan perhiasan. Sebab, melihat perhiasan itu sendiri hukumnya mubah secara mutlak. Maka kepala boleh dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh untuk dipakaikan mahkota, leher dan dada untuk kalung, telinga untuk anting, pergelangan tangan untuk gelang, pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari untuk cincin, punggungnya telapak kaki untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda dengan perut, punggung dan paha yang lazimnya tidak untuk dipakaikan perhiasan.
2. Madzhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut ulama dari Madzhab Maliki dan pendapat resmi dari kalangan Madzhab Hambali, anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya hanya: wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki. Maka haram baginya menampakkan dada, payudara, dan anggota tubuh lainnya dihadapan mahramnya. Dan haram pula bagi ayah, anak laki-lakinya dan mahramnya yang lain untuk melihat aurat dirinya selain pada empat anggota tersebut, walaupun tanpa syahwat.
Sedangkan Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali sedikit berbeda dengan pendapat resmi madzhabnya. Menurut beliau, batasan aurat bagi wanita dengan mahramnya adalah seperti aurat antara laki-laki dengan laki-laki, dan wanita dengan wanita. Yakni anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut.
Pendapat resmi ulama dari Madzhab Hambali menambahkan bahwa mahram yang boleh melihat sebagian aurat si wanita itu maksudnya mahram yang muslim maupun yang kafir. Dalilnya adalah bahwa Abu Sufyan Bin Harb pernah masuk ke rumah putrinya yang bernama Ummu Habibah (salah satu istri Rasulullah SAW) dalam keadaan tidak berhijab, tidak menutupi seluruh auratnya. Dan saat itu Rasulullah SAW tidak menyuruh Ummu Habibah untuk menutupi auratnya di hadapan Abu Sufyan, ayahandanya yang masih kafir.


3. Madzhab Asy-Syafi'yah
Mayoritas ulama dalam Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa aurat wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah anggota tubuhnya selain yang ada di antara pusar dan lutut.Walaupun ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah anggota tubuh yang biasa ia tampakkan saat ia beraktifitas di dalam rumah. Seperti kepala, leher, dan tangan hingga siku, juga kaki hingga lutut. Dan anggota-anggota tubuh tersebut juga menjadi batasan aurat yang boleh dilihat wanita terhadap aurat mahramnya.









.









BAB III
Penutup

Demikianlah makalah tentang konsep mahram telah kami sampaikan dimulai dari ayat-ayat al-qur’an, hadits-hadits nabi dan pandangan para ulama tentang hukum yang berkenaan dengan mahram. Dalam mahram ini dapat diketahui bahwasannya ada mahram yang sifatnya tetap, yakni mahram muabbad. Dan adapula mahram yang hanya disebabkan adanya faktor tertentu, seperti adanya ikatan pernikahan atau disebut dengan mahram muaqqot.
Dalam masalah penghukuman dalam berinteraksipun ada batasan-batasan yang boleh dan tidak bolehnya kita langgar, seperti dalam masalah bersentuhan, dalam masalah penampakan aurat, dan dalam masalah perjalanan. Hal ini jelas islam mengaturnya agar tercipta sebuah kehormatan dan penjagaan terhadap jiwa perempuan khususnya.
Jika kita ke Arab Saudi misalnya, akan kita dapati para muslimahnya menutup seluruh tubuhnya tanpa kecuali, saat mereka keluar rumah. Sebab masyarakat di negeri ini kebanyakan lebih condong bermadzhab Hambali. Begitupula saat mereka beraktifitas di dalam rumah, tak banyak menampakkan anggota tubuhnya, kecuali kepala, leher, tangan dan kaki. Sebab –dalam madzhab ini- hanya bagian tubuh inilah yang boleh tampak oleh mahramnya.
Begitu pula jika kita berkujung ke Asia Selatan, seperti India dan Pakistan. Maka disana akan ditemui bahwa para muslimahnya kebanyakan tidak menutup kaki hingga mata kakinya, bahkan saat menunaikan shalat. Sebab mayoritas masyarakat disana cenderung bermadzhab Hanafi.
Lain lagi dengan kita yang tinggal di Indonesia. Hampir semua muslimahnya tidak menutup wajah dan telapak tangannya, namun tetap banyak yang mengenakan kaos kaki agar bagian kakinya tertutupi dengan baik.
Begitupula saat para wanita kita beraktifitas di dalam rumah bersama mahramnya, banyak yang tetap menampakkan sebagian punggung dan lengan atasnya. Hal ini disebabkan masyarakatnya lebih banyak yang condong pada Madzhab Syafi'i.



Daftar Pustaka

1.      Ad-Dimasyqi, ibnu katsir. ____. Tafsir Ibnu Katsir.____: Sinar Baru Algensindo
2.      Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahannya
3.      Bukhari, Imam. Al-lulu’ wal marjan.
4.      Efendi, Sopyan. Hadits Web kumpulan dan referensi belajar hadits.
5.      Hidayat, Dani. 2008. Bulughul Maram. Tasikmalaya : Pustaka Al-Hidayah
7.      Syafi’ah, M. Abdul Mujieb. 2010. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus


1 komentar: