Kamis, 23 April 2015

Memaknai hadits prespektif perempuan



OLEH : Hendri Permana

BAB I
 PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Hadits biasa didefinisikan sebagai perkataan [qawl], perbuatan [fi’il] dan persetujuan [taqrîr] yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw [kullu mâ udhîfa ilâ an-Nabiyy min qawlin aw fi’lîn aw taqrîrin]. Ia merupakan teks berita yang berasal dari Nabi. Ia juga biasa dikenal dengan istilah lain, seperti sunnah, khabar dan atsar. Di antara ketiga istilah ini, sunnah lebih banyak digunakan dari yang lain, sehingga hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah Nabi. Sunnah secara bahasa berarti jalan, karena itu sering diterjemahkan sebagai tradisi. Atau sesuatu yang biasa dijalankan Nabi Saw. Khabar secara bahasa berarti berita, atsar berarti peninggalan dan hadits sendiri berarti sesuatu yang baru, atau sesuatu yang diceritakan. Tetapi kemudian hadits dikenal sebagai istilah untuk sesuatu yang dikisahkan dari atau mengenai Nabi Muhammad Saw; baik ucapan, perbuatan atau penetapan.
Dalam metodologi pengambilan dan penetapan hukum Islam [istinbâth], secara hirarkis hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân. Argumentasinya, seperti yang dinyatakan dalam ushul fiqh, bahwa hukum Islam adalah hukum Allah Swt. Hukum Allah Swt harus bersumber dari rujukan wahyu dan kalam-Nya. Wahyu yang langsung, primer dan pasti akurat [mutawâtir] adalah al-Qur’ân. Sementara hadits adalah penjelas terhadap wahyu. Kalaupun hadits dianggap wahyu, maka ia wahyu yang tidak langsung, sekunder dan dalam beberapa hal akurasinya tidak terjamin. Tidak persis seperti al-Qur’ân yang purna-terjamin. Al-Qur’ân dipastikan sebagai wahyu yang akurat, karena pada jalur transmisi [riwâyah], ia diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasi [mutawâtir]. Sementara kebanyakan teks-teks hadits, ditransmisikan secara lebih sederhana, oleh satu atau dua orang [ahâd], yang masih menyisakan adanya kemungkinan salah dan alpa, bahkan bohong [ihtimâl al-khata’ wa an-nisyân wa al-kidzb]. Karena itu, hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân dalam penempatan sebagai sumber hukum Islam.
Oleh sebab itu, penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana hadits-hadits yang menyatakan tentang perempuan dan bagaimana cara memaknai hadits tersebut, karena ada kemungkinan dalam pemaknaan hadits tersebut ada kekeliruan dan prespektif orang yang memahaminya, atau bahkan ada makna yang tersembunyi di dalamnya.

B.     Rumusan Masalah

  1. Memaknai hadits prespektif perempuan
  2. Memaknai lafal hadits keniscayaan ragam pemaknaan
  3. Membumikan hadits

C.     Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah keingin tahuan penulis tentang hadits-hadits yang berprespektif gender dimaknai oleh ulama-ulama, dan ingin lebih mengenal bagaimana memahami hadits tersebut dengan tujuan makna yang dimaksud (sebenarnya)



BAB II
 PEMBAHASAN

A.     Memaknai hadits prespektif perempuan

Hadits biasa didefinisikan sebagai perkataan [qawl], perbuatan [fi’il] dan persetujuan [taqrîr] yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw [kullu mâ udhîfa ilâ an-Nabiyy min qawlin aw fi’lîn aw taqrîrin]. Ia merupakan teks berita yang berasal dari Nabi. Ia juga biasa dikenal dengan istilah lain, seperti sunnah, khabar dan atsar. Di antara ketiga istilah ini, sunnah lebih banyak digunakan dari yang lain, sehingga hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah Nabi. Sunnah secara bahasa berarti jalan, karena itu sering diterjemahkan sebagai tradisi. Atau sesuatu yang biasa dijalankan Nabi Saw. Khabar secara bahasa berarti berita, atsar berarti peninggalan dan hadits sendiri berarti sesuatu yang baru, atau sesuatu yang diceritakan. Tetapi kemudian hadits dikenal sebagai istilah untuk sesuatu yang dikisahkan dari atau mengenai Nabi Muhammad Saw; baik ucapan, perbuatan atau penetapan.
Dalam metodologi pengambilan dan penetapan hukum Islam [istinbâth], secara hirarkis hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân. Argumentasinya, seperti yang dinyatakan dalam ushul fiqh, bahwa hukum Islam adalah hukum Allah Swt. Hukum Allah Swt harus bersumber dari rujukan wahyu dan kalam-Nya. Wahyu yang langsung, primer dan pasti akurat [mutawâtir] adalah al-Qur’ân. Sementara hadits adalah penjelas terhadap wahyu. Kalaupun hadits dianggap wahyu, maka ia wahyu yang tidak langsung, sekunder dan dalam beberapa hal akurasinya tidak terjamin. Tidak persis seperti al-Qur’ân yang purna-terjamin. Al-Qur’ân dipastikan sebagai wahyu yang akurat, karena pada jalur transmisi [riwâyah], ia diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasi [mutawâtir]. Sementara kebanyakan teks-teks hadits, ditransmisikan secara lebih sederhana, oleh satu atau dua orang [ahâd], yang masih menyisakan adanya kemungkinan salah dan alpa, bahkan bohong [ihtimâl al-khata’ wa an-nisyân wa al-kidzb]. Karena itu, hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân dalam penempatan sebagai sumber hukum Islam.
Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, 150-204H/820M), dalam analisisnya menyatakan bahwa hadits termasuk dalam kategori ‘berita personal’ [al-khabar al-khâsh], yang hanya didengar dan ditransmisikan oleh kalangan tertentu, bahkan terkadang oleh satu orang saja. Tidak seperti al-Qur’ân, sebagai ‘berita publik’ [al-khabar al-‘amm], ia didengar, disaksikan dan ditransmisikan secara publik, sehingga diterima oleh setiap muslim.  Karena sifat hadits yang personal, ia tidak bisa dipaksakan untuk diyakini kebenarannya oleh setiap muslim.  Kualitas pengetahuan yang dimilikinya hanya bersifat praduga kuat [zhanni], bukan aksiomatika agama [al-‘ilm adh-dharûri]. Karena itu, Imam Syafi’i menyatakan “Kami tidak berhak meminta bertaubat kepada orang yang ragu dengan kebenaran suatu hadits” [man syakka fîhi lam naqul lahû tubb]1. Perbedaan hirarkis hadits dari al-Qur’ân tentu melahirkan perbedaan otoritas [hujjiyah].  Otoritas hadits berada di bawah otoritas al-Qur’ân.  Sekalipun demikian, hadits tetap memiliki otoritas yang cukup kuat jika dibandingkan Ijmâ’ [konsensus ulama] dan Qiyâs [analogi].  Karena  hadits merupakan perkataan Nabi Saw penerima wahyu, sehingga ia menjadi media yang otoritatif bagi penjelasan [bayân] dan perincian [tafshîl] makna-makna yang terkandung dalam wahyu Allah Swt, al-Qur’ân.  Hadits dalam hal ini, bisa bersifat konfirmatif [ta’kîd] terhadap wahyu [al-Qur’ân], bisa interpretatif [tafsîr] dan bisa juga afirmatif [ityân bi al-jadîd] dengan mendukung hal baru yang tidak disebutkan oleh wahyu, tetapi sesuai dengan semangat dasar yang diusungnya.   Dalam hal ini, Imam Syafi’i (150-204H) menyatakan bahwa hadits merupakan ‘pengetahuan bijak’ [al-hikmah], yang juga diamanatkan untuk disampaikan, sebagaimana al-Qur’ân (QS. Al-Baqarah, 2: 129).  Lebih jauh lagi, bahwa penerimaan otoritas hadits merupakan bentuk implementatif dari kewajiban beriman kepada Allah Swt yang mewajibkan beriman kepada Nabi Saw.  Implementasinya, adalah menerima dan mengamalkan hadits, sebagai pengamalan dari keimanan kepada Nabi Saw2. Sifat personalitas [ahad] periwayatan hadits tidak menghalangi otoritasnya sebagai sumber hukum Islam.  Menurut Imam Syafi’i, hadits sekalipun termasuk pengetahuan personal, ia wajib diterima dan diamalkan.  Seperti halnya kita diharuskan menerima dan mengamalkan kesaksian seseorang dalam persidangan, atau pemberitaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.  Tetapi Imam Syafii cukup tepat ketika menyatakan dengan rendah hati:
“Kalau seseorang diperbolehkan menyatakan bahwa penetapan otoritas [tatsbît] hadits merupakan kesepakatan [ijmâ’] seluruh ulama, maka sayalah yang paling berhak untuk menyatakan itu. Tetapi tidak demikian, saya hanya menyatakan: bahwa sepengetahuan saya, ulama fiqh tidak berbeda pendapat (pen: bukan ijmâ’) bahwa hadits merupakan  sumber hukum Islam”
Bisa disimpulkan bahwa otoritas hadits diterima oleh mayoritas ulama, tidak oleh seluruh ulama.  Sementara otoritas al-Qur’ân diterima bulat oleh seluruh ulama. Karena itu, wilayah cakupan otoritas hadits hanya sebagai rujukan pengamalan dalam beragama [lil a’mâl], tetapi tidak untuk rujukan keyakinan beragama [lâ lil ‘aqâ’id].  Hal ini dinyatakan oleh Ibn ash-Shalâh (577-643H), an-Nawawî (631-676H) dan as-Suyûthi (849-911H) dan ulama-ulama Hadits yang lain 4.   Amalan agama, seperti cara beribadah: shalat, puasa, zakat atau haji dan cara-cara pergaulan; relasi keluarga, bertetangga, atau kehidupan sosial, ekonomi dan politik.  Sementara keyakinan agama, seperti: sifat-sifat Allah Swt, malaikat, kisah-kisah hari kiamat atau berita surga dan neraka.

B.     Memaknai lafal hadits : keniscayaan beragam pemaknaan

Studi hadits, baik melalui kritik sanad maupun matan, adalah titik awal dari upaya untuk memahami dan mengamalkan hadits.  Dengan kritik matan, ulama berusaha melakukan pemilahan lebih tajam terhadap makna-makna yang terkandung di dalam teks hadits.  Dengannya, korelasi matan dan dasar-dasar lain menjadi lebih tegas, seperti konfirmasi ayat al-Qur’ân, hadits-hadits lain dan fakta sejarah.  Teks hadits juga merupakan rangkaian huruf, kata dan kalimat yang membentuk lafal-lafal tertentu.  Dalam kata lain, teks hadits adalah teks bahasa.  Sebagai sebuah teks bahasa, ia memiliki makna-makna yang terkait dengan struktur dan gaya bahasa yang digunakan, serta kosa kata-kosa kata yang dipilih.  Bahasa adalah produk budaya.  Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya.  Tidak terkecuali bahasa Arab.  Transformasi suatu ide melalui simbol-simbol bahasa dan pemaknaannya oleh pembaca, sangat memungkinkan terjadinya keragaman, perbedaan, bahkan reduksi dan distorsi. Dengan demikian, keragaman pemaknaan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dinafikan.
Misalnya dalam fikih, teks hadits “faharraka ishba’ahu” dalam kaitan tasyahud dalam shalat.  Sebagian ulama memaknai: menggerakkan telunjuk sekali lalu turun kembali menggenggam. Sebagian lain memahami: menggerakkan telunjuk dengan mengangkatnya ke atas lurus menghadap kiblat dan tidak diturunkan sampai bacaan tasyahhud selesai. Sebagian lain memahami: menggerak-gerakkan telunjuk dengan mengangkatnya ke atas dan ke bawah secara terus menerus. Yang lain memaknai: menggerak-gerakkan telunjuk dengan memutar-mutarkannya ke atas, samping kanan, kiri dan ke bawah, terus dilakukan demikian dari awal tasyahhud sampai bacaan selesai.
Dari lafal yang sama, pemaknaannya bisa muncul berbeda-beda. Apalagi dalam periwayatan hadits boleh dilakukan dengan lafal yang berbeda untuk suatu makna yang dianggap sama.  Seperti dinyatakan oleh Nuruddin ‘Itr, para sahabat dan mayoritas ulama memperkenankan periwayatan hadits dengan makna yang dipahaminya [arriwâyah bi al-ma’nâ], tidak harus sama persis dengan lafalnya.  Karena itu, sahabat seperti Ibn Mas’ud, Anas dan Abi ad-Darda ra sering mengakhiri periwayatan hadits dengan ujaran “kira-kira mirip seperti lafal ini” [aw syabîhu dzâ aw nahwa dzâ], “mungkin tidak demikian lafalnya, tetapi maknanya demikian” [allâhumma in lâ hakadzâ fa ka syakluhu], atau “sepertinya lafal yang diucapkan Nabi adalah demikian” [aw kamâ qâla rasûlullâh].  Teks hadits, dengan lafal yang sama saja memunculkan ragam pemaknaan dan pemahaman,  lebih lagi kalau lafalnya berbeda-beda.
Sejak masa Nabi Saw, lafal hadits sangat memungkinkan munculnya ragam pemaknaan.  Ragam pemaknaan ini didengar, dilihat dan diakui oleh Nabi sendiri [taqrîr].  Untuk memperjelas pernyataan ini ada sebuah contoh yang selalu dikutip oleh ulama ushul fiqh ketika berbicara tentang ijtihâd pada masa Nabi Saw.  Ketika para sahabat ra berangkat pulang dari perang Ahzâb, Nabi Saw berujar kepada mereka, “Siapapun tidak diperkenankan shalat Asar kecuali di kampung Bani Quraizhah [lâ yushalliyanna ahadun al-‘ashra illâ fî banî quraizhah]”.  Pada prakteknya, ketika sebagian sahabat di dalam perjalanan menuju kampung Bani Quraizhah menemukan waktu Asar hampir habis, mereka berselisih pendapat.  Ada yang bersikukuh tidak akan shalat Asar di perjalanan, harus di kampung Bani Quraizhah seperti yang diperintahkan Nabi, sekalipun waktu habis.  Ada yang memahami bahwa perintah itu untuk memacu agar mempercepat perjalanan, sementara shalat Asar harus tetap dilakukan di dalam waktu yang telah ditentukan.
Sebagian sahabat memaknai pernyataan Nabi persis seperti yang terungkap dalam lafal, yaitu hanya shalat di kampung Bani Quraizhah.  Sementara sahabat lain memahami tujuan dari lafal tersebut, yaitu mempercepat perjalanan ke Bani Quraizhah bukan menangguhkan pelaksanaan shalat di luar waktunya.  Artinya, pemaknaan tekstual dan kontekstual terhadap lafal hadits, sejak awal telah muncul dan dilakukan oleh para sahabat pada masa Nabi Saw.
Dua pemaknaan yang literal dan kontekstual terhadap suatu teks hadits, juga muncul di kalangan ulama generasi berikutnya, baik dalam disiplin ilmu fikih, tafsir, maupun ‘aqidah.  Dalam fikih misalnya, beberapa teks hadits yang berkaitan dengan zakat harta dan zakat fitrah, dimaknai berbeda-beda oleh para ulama.  Teks hadits yang berkaitan dengan kewajiban zakat fitrah dengan gandum dan kurma, dimaknai oleh madzhab Syafi’i sebagai kewajiban yang tetap dan tidak berubah; bahwa dalam zakat fitrah yang harus dikeluarkan adalah gandum dan kurma.  Paling jauh mereka memaknai dengan makanan pokok, sehinga makanan pokok dalam jenis apapun bisa digunakan untuk membayar zakat fitrah.  Tetapi madzhab Hanafi lebih jauh memaknai bahwa zakat fitrah itu diwajibkan untuk menutupi kebutuhan orang-orang miskin pada saat lebaran, sehingga tidaklah penting yang diberikan apakah gandum, kurma, atau makanan pokok lain, yang penting adalah menutupi kebutuhan mereka dengan ketentuan nilai gandum dan kurma.  Zakat fitrah bisa dibayar dengan uang senilai gandum atau kurma, karena orang-orang miskin juga lebih tahu kebutuhan yang mereka perlukan, dan uang mereka bisa memenuhi apa saja yang mereka perlukan itu.
Begitu juga teks hadits tentang ketentuan pengeluaran zakat fitrah setelah terbit fajar dan sebelum shalat id pada hari raya.  Sebagian ulama memahmai ketentuan itu sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat.  Sementara sebagaian yang lain, memahami bahwa ketentuan itu terkait dengan konteks sosial yang masih sederhana, rumah berdekatan, penduduk sedikit, dan bentuk makanan terbatas.  Pada konteks lain, zakat fitrah juga bisa dikeluarkan dari makanan-makanan lain, seperti beras, jagung dan sagu, bahkan yang dikeluarkan adalah uang seharga makanan tersebut.  Waktu pengeluaran zakat juga bisa dipercepat, termasuk pada awal Ramadan, karena waktu yang ditentukan Nabi sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan pengumpulan dan penegeluaran zakat fitrah.
Artinya, pemaknaan hadits ada yang tekstual dan ada yang substansial. Pemahaman tekstual pada praktiknya akan mempersempit ruang gerak cakupan hadits itu sendiri.  Oleh karena itu, saat ini tuntutan untuk menghindari simplifikasi pemaknaan hadits secara literal semakin menguat. Syekh al-Ghazali mengkritik pedas kecenderungan pemaknaan literal terhadap hadits. Muridnya, Al-Qaradhawi menawarkan delapan kerangka [ma’âlim wa dhawâbith] pemahaman yang baik terhadap teks-teks hadits: mempertemukan dengan ayat al-Qur’ân, mempertemukan dengan hadits-hadits lain yang satu tema, melakukan pemilahan terhadap hadits-hadits yang kontradiktif, menelusuri sebab-kondisi-tujuan hadits, memilah antara hadits yang terkait dengan persoalan yang relatif dan yang prinsipal,  antara yang hakikat dan yang majaz, yang  terkait dengan persoalan supranatural dan natural, terakhir konfirmasi dengan makna dari lafal-lafal hadits.
Dari delapan kerangka ini, muaranya adalah kontekstualisasi pemahaman terhadap lafal-lafal hadits.  Lafal hadits jelas tidak akan berubah, yang berubah adalah kondisi-kondisi kehidupan masyarakat yang menjadi konteksnya.  Lafal hadits bisa dikatakan shalih likulli zamanin wa makanin, ketika dipahami sesuai dengan konteksnya masing-masing.  Karena itu, ilmu asbab wurud al-hadits menjadi sangat penting dalam disiplin ilmu hadits.

C.     Membumikan hadits

Teks hadits adalah teks sejarah.  Ia berkenaan dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw: pernyataan, anjuran dan tindakan beliau.   Sebagai sebuah teks sejarah, ia bersinggungan langsung dengan dinamika sosial masyarakat Arab pada masa hidup Nabi.  Meminjam istilah para pemikir ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ seperti Taha Jabir al-‘Ulwani dan Abd al-Hamid Abu Sulayman, bahwa teks hadits tidak mengangkangi ruang dan waktu [lâ yat’âla alâ al-makân wa az-zamân].  Ia muncul, hidup dan bermakna dengan konteksnya.
Teks hadits, dengan sifat demikian dipahami oleh beberapa ulama dengan melihat tujuan pokok dan akar persoalan yang terkandung.  Pemahaman yang tersurat dari lafal teks menjadi tidak final dan tidak harus diberlakukan secara mutlak.  Pemahaman literal hanya berlaku pada konteks munculnya saja.  Ketika konteks sosial berubah, maka yang harus dikedepankan adalah tujuan pokok yang terkandung pada teks, bukan lafal teks.
Dalam hal ini Ibn Khladun mencontohkan, bahwa hadits, “Kepemimpinan itu di tangan orang-orang Quraisy”, harus dipahami pada konteks di mana suku Quraisy memiliki ketokohan, ketangguhan, kekuatan dan realitas politik.  Ketika suku Quraisy tidak lagi memiliki sifat-sifat ini, maka kepemimpinan tidak lagi diberikan kepada mereka, sekalipun lafal hadits menyatakan demikian.  Kepemimpinan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki karakter-karakter dasar, seperti yang dimiliki oleh orang Quraisy dulu.  Artinya, pokok persoalannya tidak terletak pada orang Quraisy, tetapi pada karakter kepemimpinan orang Quraisy.
Bagi syekh Muhammad al-Ghazali, hadits “Tidak akan bahagai suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada seorang perempuan” harus dipahami sesuai konteksnya.  Karena jika tidak, teks hadits ini akan berseberangan dengan realitas keberhasilan kepemimpinan perempuan di muka bumi ini.  Teks hadits itu menceritakan tentang konteks kepemimpinan seorang ratu Persia, yang harus mewarisi dinasti yang sedang goyah.  Realitas sosial politik bangsa Persia saat itu sedang kacau, kalah perang dengan Romawi, terjadi anarkhi di mana-mana.  Mereka memerlukan kepemimpinan yang tangguh, kuat, disiplin dan mengerti persoalan mereka.  Pada saat demikian, ternyata tahta kerajaan diwariskan kepada seorang perempuan yang masih muda dan tidak mengerti persoalan kerajaan.  Nabi hanya bercerita tentang realitas, bukan berbicara tentang keputusan hukum tentang kepemimpinan perempuan.
Hadits-hadits mengenai berbagai larangan terhadap perempuan, seperti larangan mencukur rambut, membuat tato, menyambung rambut, mencukur alis, atau yang lain, bagi Syekh Muhammad bin ‘Asyur (1879-1973), juga harus dipahami sebagai sesuatu pada konteks Arab pada saat itu.  Kata Ibn Asyur, larangan itu turun karena perbuatanperbuatan tersebut pada zaman dulu menjadi ciri khas perempuan-perempuan pelacur yang tidak memliki harga diri.  Artinya, larangan tidak mengarah kepada perbuatan tetapi kepada sesuatu yang memotivasi perbuatan tersebut.  Yaitu menghancurkan kehormatan dan harga diri perempuan.  Karena, mencukur atau menyambung rambut adalah salah satu cara untuk berhias, sama seperti bercelak dan menggosok gigi.  Kalau berhias itu dilarang, maka jenis apapun dan untuk siapapun juga harus dilarang.  Tetapi ternyata Islam memperkenankan seseorang, termasuk perempuan untuk berhias, selama tidak digunakan untuk hal-hal yang menistakan harga dirinya.
Artinya teks-teks hadits harus dimaknai dalam bingkai konteks sosialnya.  Teksteks hadits  ‘relasi laki-laki dan perempuan’ adalah potret realitas sosio kultur masyarakat dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan relasi tersebut.  Ia harus dipahami dengan logika historisitasnya untuk tujuan transformasi keadilan dan kemaslahatan.  Sebagai sebuah rekaman kasus,  teks-teks hadits mungkin masih mengakomodasi realitasrealitas yang bias gender.  Karena itu kita temukan beberapa lafal hadits, secara literal memandang rendah terhadap perempuan.  Tetapi teks-teks ini harus dipahami dalam konteksnya dan diintegrasikan dengan semangat transformatif yang diusung oleh alQur’ân dan hadits-hadits lain.
Prinsip keadilan dan kemaslahatan adalah prinsip dasar dan cita sosial Islam.  Di atasnya ditegakkan seluruh bangunan hukum Islam.  Pemaknaan teks-teks ‘relasi laki-laki dan perempuan’ adalah benar ketika diintegrasikan dengan prinsip dasar ini.  Ketika pemaknaan terjadi yang sebaliknya, maka harus digugat validitasnya dan diluruskan.
Beberapa prinsip keadilan, dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan telah ditegaskan oleh al-Qur’ân.  Prinsip tersebut adalah:
Pertama, bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4:1).  Karena itu kedudukan mereka sama dan sejajar; yang membedakan hanyalah kualitas kiprah [taqwa] (QS. Al-Hujurât, 49:31).
Kedua, perempuan dan laki-laki sama-sama dituntut untuk mewujudkan kehidupan yang baik [hayâtan thayyibab] dengan melakukan kerja-kerja positif [‘amalan shâlihan] (QS., An-Nahl, 16:97).  Untuk tujuan ini, diharapkan perempuan dan laki-laki bahu membahu, membantu satu dengan yang lain (QS. At-Taubah, 9:71).
Ketiga, bahwa perempan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh balasan yang layak atas kerja-kerja yang dilakukan (QS. Al-Ahzâb, 33:35).
Pemaknaan hadits-hadits ‘relasi laki-laki dan perempuan’ harus memperhatikan prinsip-prinsip yang bersifat konseptual dalam tataran yang lebih praksis dan operasional.  Yang terkait relasi perkawinan misalnya, ada beberapa prinsip: kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233), tanggung jawab [al-amânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), komitmen bersama untuk membangun kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-mawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), perlakuan yang baik antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), selalu berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. Al-Baqarah, 2:233, Ali ‘Imrân, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38) dan menghilangkan ‘beban ganda’ dalam tugas-tugas keseharian [al-ghurm bil ghunm] .
Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi pemaknaan ulang terhadap haditshadits yang terkait dengan ‘relasi laki-laki dan perempuan’.  Sampai saat ini masih banyak pemaknaan hadits yang menimbulkan ketimpangan ‘relasi laki-laki dan perempuan’.  Ketimpangan yang justru menyalahi prinsip-prinsip dasar yang telah dibangun oleh al-Qur’ân dan hadits.  Karena itu, pemaknaan ulang terhadap seluruh teks-teks hadits ‘relasi laki-laki dan perempuan’ harus dilakukan, untuk menemukan cita keadilan sosial Islam dalam tataran realitas.
Misalnya hadits yang melarang perempuan untuk bepergian:
“Tidak dihalalkan bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian tanpa ditemani mahram [keluarga dekat], sejauh jarak tempuh perjalanan tiga hari tiga malam” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini harus dipahami sebagai upaya mewujudkan perlindungan kepada orangorang lemah dari kemungkinan-kemungkinan kejahatan yang muncul.  Perempuan pada saat itu termasuk kategori orang-orang lemah yang perlu dilindungi.  Karena itu, bila bepergian jauh harus ditemani oleh keluarga dekatnya [mahram].  Keluarga dekat biasanya memiliki jalinan emosional yang cukup kuat, sehingga perlindungan dan keamanan bisa diberikan.  Kemungkinan terjadinya sesuatu yang buruk terhadap perempuan bisa dihindari dengan kehadiran kerabatnya, atau mahramnya.
Artinya, makna hadits tersebut bukan pelarangan terhadap perempuan tertentu untuk melakukan bepergian.  Tetapi perintah untuk melindungi perempuan dari kemungkinan terjadinya kejahatan ketika ia bepergian.  Karenanya, pelarangan ini menafikan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam memperoleh kesempatan dan akses yang sama terhadap aktivitas kehidupan, tanpa membedakan jenis kelamin, ras maupun bangsa.  Maka, ketika Nabi mendengar ada seorang perempuan yang bepergian sendirian untuk menunaikan ibadah haji, beliau tidak melarang perempuan tersebut, tetapi justru menegur suaminya dan menyatakan kepadanya, “Susullah dan temani isterimu” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)35.  Ini, adalah pernyataan tegas dari Nabi bahwa inti persoalannya terletak pada jaminan dan perlindungan keamanan, bukan pada pelarangan bepergian.
Jika persoalannnya adalah perlindungan, maka seluruh komponen masyarakat dianjurkan untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan dan pengamanan kepada seluruh warga.  Sungguh sangat naif, jika terjadi sesuatu yang menimpa perempuan, kemudian perempuan dilarang untuk keluar melakukan aktivitas dengan alasan keamanan.  Mengapa tidak dengan alasan yang sama laki-laki seharusnya yang dilarang untuk keluar, agar perempuan bisa aman melakukan perjalanan dan aktivitas-aktivitas lain?
Dalam masyarakat modern dan beradab, stabilitas sosial tidak lagi bergantung pada orang dan komunalisme, melainkan pada sistem dan struktur yang rasional, termasuk kepastian hukum.  Fungsi pengamanan dan perlindungan sosial seharusnya menjadi bagian dari kerja sistem dan struktur tersebut.  Seharusnya, negara melalui sistem politik dan hukumnya menjamin pengamanan dan perlindungan bagi setiap warganya, baik laki-laki maupun perempuan.  Negara dituntut mewujudkan pengamanan, bukan individu.  Tak berdasar apalagi  negara melarang warga melakukan aktivitas yang merupakan hak paling mendasar.
Dengan demikian, memahami dan mengamalkan hadits harus melalui metodologi yang tepat, yang telah dibangun oleh para ulama terdahulu.  Setiap hadits harus melalui pemilahan sanad, antara yang sahih dan yang tidak sahih.  Kemudian dilakukan kritik matan, dengan penelitian dan penilaian terhadap kejanggalan [syudzûdz] dan kerancuan [‘illah] makna yang terkandung di dalamnya.  Teks hadits yang memuat kejanggalan atau kerancuan makna, tidak dipertimbangkan untuk menjadi rujukan dalam pengambilan dan pemutusan hukum.  Kontekstualisasi teks-teks hadits juga menjadi sebuah keniscayaan.  Kontekstualisasi adalah pemaknaan yang menyatu dengan cita sosial Islam, yang terangkum dalam prinsip fundamental dan konseptual syarî’ah Islam.  Karena fondasi utama bangunan syarî’ah Islam, seperti yang dinyatakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jawzi adalah pada cita sosialnya: keadilan, kemaslahatan, kerahmatan dan kebijaksanaan untuk semua, tanpa membedakan jenis kelamin, ras dan suku bangsa.  Dengan  cara pandang demikian, segala bentuk ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan harus dihentikan karena tidak sesuai dengan cita sosial Islam.  Cita kebaikan bagi semua [rahmatan lil ‘alamîn]. Wallâhu a’lam.



BAB III
PENUTUP

Hadits biasa didefinisikan sebagai perkataan [qawl], perbuatan [fi’il] dan persetujuan [taqrîr] yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw [kullu mâ udhîfa ilâ an-Nabiyy min qawlin aw fi’lîn aw taqrîrin]. Ia merupakan teks berita yang berasal dari Nabi. Setelah wafatnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, maka banyak sekali permasalahan yang muncuk di hadapan umat ini, sehingga membutuhkan sebuah penyelesaian yang dapat menuntaskan permasalahan tersebut.
Namun, dalam cara pemahaman dari hadits tersebut, para ulama berbeda dan bahkan perbedaan ini yang menyebabkan banyak makna yang bisa diambil manfaatnya dari hasil pengistinbathan ulama. Sehingga memberikan pemahaman kepada kita bahwa makna hadits yang ada bisa jadi salah dan bisa jadi benar.
Oleh sebab itu, maka penelitian dan pembahasan tentang ilmu hadits terus berlangsung sampai sekarang, karena hadits merupakan sumber dalil dan menjadi sumber kedua dalam kehidupan setelah wahyu al-quran. Dengan demikian, maka jelaslah dalam memahami hadits tersebut harus memiliki ilmunya, dan juga harus mampu menyelesaikan  dari sebuah permaslahan yang sedang terjadi dengan cara mengambil inti makna hadits di dalamnya.
Dalam prespektif gender ini, banyak pemahaman hadits yang mesti dikaji ulang untuk memahami maksud yang sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan sebuah kontradiksi dari makna yang diinginkan sebenarnya. Jangan sampai ada sebuah diskriminasi hukum antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan hukum tersebut.



Daftar Pustaka

  1. Abu Zakariya Muhy ad-Dîn Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ Syarh alMuhadzdzab, 1984: al-Maktabah as-Salafiyyah, Madinah, Saudi Arabia.
  2.  Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqallâni, Fath al-Bâri, 1993: Dâr al-Fikr, Beirut, Libanon. Ahmad bin Muhammad Ibn Hanbal, al-Musnad, tt: Dar al-Fikr, Beirut, Libanon.
  3. Ali Ahmad an-Nadawi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah; Mafhûmuha, Nasy’atuhâ, Tathawwuruhâ, Dirâsat Mu’allafâtiha, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ, Tathbîqatuhâ, 1994: dar al-Qalam, Damaskus.
  4. Al-Khair Abadi, al-Manhaj al-‘Ilmi ‘ind al-Muhadditsîn fi at-Ta’âmul ma’a Mutûn asSunnah, Jurnal Islamiyyat al-Ma’rifah, tahun IV, no. XIII, 1998, IIIT, Kuala Lumpur, Malaysia.
  5.  Ibn al-atisr, Jâmi’ al-Ushûl min Ahâdîts ar-Rasûl, 1983: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Bairut.
  6. Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwi fi Syarh Taqrîb an-Nawawi, ed. Ahmad Umar Hisyam, 1989: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Libanon.
  7. Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risâlah, ed. Abd al-Fattah bin Zhafir Kabbarah, 1999: Dar an-Nafa’is, Beirut-Libanon.
  8. Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, tt: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Libanon.
  9. Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ed. Musthafa Dib al-Bugha, 1987: Dar al-Qalam, Damaskus, Syria.
  10. Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, ed. Fuad Abd al-Baqi, tt: al-Maktabah al-Islamiyyah, Istanbul, Turki.
  11. Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, 1985: Dar al-Fikr, Damaskus
  12. Syekh Muhammad al-Ghazali, As-Sunnah an-Nabawiyyay bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl alHadits, 1992: Dar asy-Syuruq, Beirut, Libanon.
  13. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989: Dar al-Fikr, Damaskus.
  14. Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah; al-Ma’alim wa adhDhawabith, 1999: IIIT, Cairo, Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar