Oleh : Hendri Permana
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam mengatur keluarga dengan segala
perlindungan dan pertanggungan syariatnya. Islam juga mengatur hubungan lain
jenis yang didasarkan pada perasaan yang tinggi, yakni pertemuan dua tubuh, dua
jiwa, dua hati, dan dua ruh. Dalam bahasa yang umum, pertemuan dua insan yang
diikat dengan kehidupan bersama, cita-cita bersama, penderitaan bersama dan
masa depan bersama untuk menggapai keturunan yang tinggi dan menyongsong
generasi baru. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh dua orang tua secara
bersama yang tidak dapat dipisahkan. (Azzam dan Hawwas, 2011 : 251)
Dalam keluarga yang dibutuhkan adalah
sebuah ketenangan (sakinah), kecintaan (mawadah) dan kasih sayang (rahmah). Ini
sebuah indikasi yang seluruh manusia yang berkeluarga ingin menciptakannya,
sehingga semua cita-cita dan harapan dalam memenuhi kehidupan berkeluarga
tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan. Terkadang berbagai macam cara
dilakukan untuk mendapatkan tiga unsur dalam pernikahan ini (sakinah, mawadah
dan warahmah) oleh satu pihak (baik suami atau istri) atau kedua pihak ( suami
dan istri).
Anehnya, ketika tujuan dari sebuah
pernikahan ini hanya ingin mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan jalan syariat
atau peraturan syariat islam, maka muncullah sebuah permasalahan yang
semestinya tidak boleh terjadi dalam sebuah pernikahan. Masalah tersebut hanya
memberikan sebuah dampak yang bisa memberikan pengaruh negative kepada keluarga
seseorang, bahkan yang menyedihkan dari akibat
permasalahan ini adalah terlahirnya seorang anak yang semestinya diberikan sebuah perhatian dan pendidikan oleh keluarga ( ayah dan ibu), kini dia harus merelakan dirinya terbengkalai oleh sebab perpisahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
permasalahan ini adalah terlahirnya seorang anak yang semestinya diberikan sebuah perhatian dan pendidikan oleh keluarga ( ayah dan ibu), kini dia harus merelakan dirinya terbengkalai oleh sebab perpisahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
ketika muncul sebuah permasalahan dalam
rumah tangga kejenjang perceraian, islam memberikan solusi yang harus
dijalankan yaitu mengirimkan seorang hakin dari pihak suami dan istri untuk
menyelesaikan permaslahan yang sedang terjadi. Jadi, ketika sebuah permasalahan
muncul dalam keluarga, selayaknya jangan terburu-buru untuk mengambil langkah
dengan menjatuhkan sebuah talak, dikhawatirkan akan terjadi sebuah penyesalan
yang mengakibatkan hancurnya sebuah harapan kehidupan yang dicita-citakan.
Jika jalan penengah ini masih tidak
bisa didapatkan hasilnya, maka terpaksa jalan yang harus diambil adalah jalan
talak, walaupun hal ini perkara halal yang di benci dalam islam seperti dalam
hadits Nabi Muhammad Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling
dibenci Allah ialah cerai." (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits
shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal).
Dalam
pengambilan talak tidak bisa dilakukan sembarangan, ada waktu-waktu yang di
sunnahkannya yaitu dalam keadaan suci dan belum dipergauli seperti dalam hadits
Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang haid pada zaman
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu Umar menanyakan hal itu kepada
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda:
"Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa
suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh
menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh
dengannya. Itu adalah masa iddahnya yang diperintahkan Allah untuk menceraikan
Allah untuk menceraikan istri." (HR. Muttafaq Alaihi).
Penulis dalam kesempatan ini akan mengupas
tentang permasalahan talak, dimulai dari definisi, syarat dan rukunnya. Semoga
dengan tulisan ini, banyak keluarga yang mengetahui hakikat talak dan mampu
menjauhi perceraian dalam rumah tangganya, sehingga impian dan harapan untuk
membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan mawarahmah terlaksana dan
terwujud sampai usia pernikahan yang sudah ditetapkan oleh Allah sang maha
pengatur alam semesta raya ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui
definisi talak
2.
Menjelaskan
tentang hukum talak
3.
Menjelaskan
rukun-rukun talak
4.
Bentuk-bentuk
penjatuhan talak
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan
makalah ini, penulis bermaksud untuk menjelaskan secara jelas tentang
permasalahan talak dalam prespektif hukum agama islam, sehingga pembaca mampu
mengetahui hakikat talak dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam permaslahan
talak. Semoga dengan adanya sebuah tulisan ini akan memberikan gambaran secara
global tentang hakikat pentingnya sebuah perhatian dalam setiap permasalahan
dalam kehidupan keluarga, sehingga tidak mudah untuk berucap dan menjatuhkan
talak kepada istri tercinta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. definisi talak
Menurut bahasa, talak berarti melepas tali
dan membebaskan. Misalnya, ناقة طالقة (unta yang terlepas tanpa diikat). Menurut
syara’ adalah melepas tali nikah dengan lafal talak atau sesamanya. Menurut
imam nawawi dalam bukunya Tahdzib, talak adalah tindakan orang terkuasai
terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutuskan nikah. (Azzam dan
Hawwas, 2011 : 255)
Dalam
kitab kifayatul ahyar, Syekh Abu Syuja’ berkata :
وَالطَّلاَقُ ضَرْبَانِ : صَرِيْحٌ وَ
كِنَايَةٌ
“ Talak itu ada dua macam : Dengan jelas dan Sindiran.” (Al
Husaini, 2011 : 466)
Lafal talak sudah ada sejak zaman
jahiliyah. Syari’at islam datang untuk menguatkannya bukan secara spesifik
untuk umat ini. Penduduk jahiliyah menggunakannya ketika melepas tanggungan,
tetapi dibatasi tiga kali. Hadits diriwayatkan dari Urwah bin Zubair berkata :
“ Dulunya manusia menalak istrinya tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang
menalak istri, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian
menalak lagi begitu seterusnya, kemudian kembali lagi dengan maksud menyakiti
wanita, maka turunlah ayat 229 surat Al-Baqarah.
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ
شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ “
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali.
(Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecualai keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah,
maka jangan kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang dzalim.” (QS. Al-Baqarah : 229)
Allah mensyariatkan talak dan menjadikannya
sebagai hak prerogatif di tangan suami. Sebagian kalangan mengklaim bahwa
kedudukan hak semacam ini akan menjadi faktor yang bisa membahayakan tata
kehidupan sosial dan menghancurkan institusi keluarga. Statemen ganjil itu,
menurut mereka, telah dikuatkan oleh kenyataan bahwa persentase kasus talak di
Mesir (sebagai sampel) dinyatakan termasuk cukup tinggi jumlahnya hingga
mencapai angka 30 %, bahkan lebih. Hal itu akan berujung pada meningkatnya jumlah
anak-anak terlantar. Di sini kita mencoba mengklarifikasikan persoalan, dengan
mengulas maksud hak prerogatif suami dalam talak dan menjelaskan benar tidaknya
statemen di atas.
Pertama, hak talak yang diberikan
kepada suami tidak bebas begitu saja, tapi ada ketentuannya -baik yang bersifat
psikologis atau kwantitatif- berkaitan dengan istri yang sudah digauli.
Ketentuan-ketentuan tersebut di antaranya:
1.
Suami
tidak menjatuhkan talak kepada istri lebih dari satu kali talak raj'iy, yang
mengandung pengetian bahwa suami berhak merujuk kembali istrinya selama masa
idah atau membiarkannya tanpa rujuk. Alternatif kedua ini menandakan bahwa
suami tidak lagi menyukai istrinya. Dan sebagaimana dimaklumi, tidak akan ada
perkawinan tanpa didasari oleh rasa suka sama suka.
2.
Suami
tidak boleh mencerai istrinya jika sedang dalam masa haid, karena dalam kondisi
seperti ini istri mudah marah. Di samping itu, selama masa haid wanita tidak
bisa melaksanakan tugas (menuruti kehendak suami untuk melakukan hubungan
seksual) seperti pada masa suci. Barangkali persoalan sepele ini justru sebagai
hal yang melatarbelakangi perceraian.
3.
Suami
tidak boleh menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan suci tapi telah
terjadi hubungan seksual pada masa itu.
Kedua, pendapat yang menyatakan
bahwa kasus perceraian di Mesir tergolong tinggi, kalau saja benar itu masih
berada di bawah jumlah kasus yang terjadi di beberapa negara maju seperi
Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Di sisi lain bahwa kasus-kasus semacam
itu tidak seluruhnya berakibat pada perceraian yang mengakhiri perkawinan atau
bubarnya sebuah rumah tangga.
Dapat dijelaskan, bahwa talak yang terjadi
sebelum suami berhubungan dengan istri tidak tergolong sebagai bencana, tapi
justru sebagai upaya menghindari bencana itu sendiri. Sementara kita juga
menemukan bukti bahwa kasus rujuk, kasus talak sebelum suami istri berhubungan,
talak yang sama-sama dikehendaki oleh kedua belah pihak secara sukarela dan
termasuk perkawinan yang diperbarui lagi sesudah talak, cukup besar jumlahnya.
Kalau saja jumlah itu kita bandingkan dengan kasus talak yang 30% dan bersifat
umum itu, maka persentase itu akan turun drastis sehingga kasus talak yang
benar-benar berakhir dengan perpisahan suami istri hanya akan berkisar antara 1
sampai dengan 2% saja.
Ketiga, menyangkut persoalan anak
terlantar akibat perceraian orang tua bisa dipastikan tidak benar. Penelitian
yang pernah dilakukan membuktikan bahwa kasus talak jarang sekali terjadi
setelah kelahiran anak. Secara rinci dibuktikan bahwa 75% kasus talak terjadi
pada pasangan muda yang belum mempunyai keturunan, dan 17% terjadi pada
pasangan suami istri yang mempunyai tidak lebih dari seorang anak. Persentase
itu semakin menurun sebanding dengan bertambahnya anak hingga mencapai 0,25%
pada pasangan suami istri yang mempunyai lima orang anak atau lebih.
Dari hasil penelitian ini sepertinya tidak
ada lagi bukti yang menguatkan bahwa keterlantaran anak itu sebagai akibat dari
talak. Justru yang benar adalah bahwa problem anak terlantar itu diakibatkan
oleh lemahnya pengawasan orangtua dalam pendidikan anak. Hal itu diperkuat oleh
hasil penelitian lain bahwa kasus kriminalitas lebih banyak disebabkan oleh
kurangnya perhatian edukatif orangtua dan bukan faktor perceraian.
Dalam ayat lain Allah shubhanahu wata’ala
berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا
يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي
لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
"Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu
tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru." [Ath-Thalaaq: 1]
Dari ayat di atas sangat jelas sekali bahwa
talak itu sesuatu yang dibolehkan oleh syariat, namun ada sebuah peraturan yang
wajib menjadi sebuah pegangan kaum muslimin, yaitu mentalak seorang istri harus
di dahului dengan sebuah usaha atau proses perbaikan rumah tangga dengan
mendatangkan dua orang hakim, kedua hakim tersebut harus mewakili dari kedua
belah pihak, yakni dati pihak suami dan pihak istri. Tujuannya, supaya tidak
dengan mudahnya orang melakukan perceraian.
Talak dalam islam dibatasi tiga kali saja,
dua kali masih bisa melakukan rujuk, adapun yang ketiga kalinya harus
mendatangkan seorang penghalal (muhalil) untuk dinikahi kembali. Inilah islam,
dengan begitu indahnya mengatur system kehidupan dalam masyarakat, agar
tercipta sebuah keluarga yang benar-benar menciptakan suasana sakinah, mawaddah
warahmah. Dengan demikian, janganlah mudah untuk mengucapkan kata talak, baik
kata talak dengan sharih (jelas) atau hanya dengan sebuah kinayah ( sindiran).
B. Hukum Talak
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah talak. Pendapat yang
paling kuat adalah makruh, apabila penjatuhan talaknya dengan tidak memiliki
hajat yang menyebabkan jatuhnya talak tersebut, Karena dengan penjatuhan talak,
berarti mengindikasikan kufur terhadap nikmat dari Allah shubhanahu wata’ala.
Pernikahan adalah suatu nikmat dari Allah yang diberikan kepada makhlukNya,
menjatuhkan talak berarti menolak sebuah nikmat dari Allah, dengan penolakan
nikmat ( kufur) dari apa yang diberikan oleh Allah, maka hukumnya menjadi
haram.
Talak hukumnya tidak halal bagi seorang
suami yang hanya mencari sebuah kesenangan belaka, karena talak ini hanya
diperbolehkan ketika kondisi suatu keluarga benar-benar tidak memungkinkan
untuk diperbaiki kembali dengan berbagai macam cara yang sudah dilakukan, hukum
talak akan berubah jika talak ini dilakukan benar-benar akibat sebuah persoalan
yang tidak bisa diselesaikan lagi, maka hukum talak berubah dari boleh menjadi
haram.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
tentang hukum talak secara rinci. Menurut mereka hukum talak terkadang wajib
dan terkadang haram dan sunnah. Al-Baijarami berkata: “ Hukum talak ada lima,
yaitu adakalanya wajib seperti talaknya orang yang bersumpah ilaa
(bersumpah tidak mencampuri istri) atau dua utusan dari keluarga suami dan
istri, adakalanya haram seperti talak bid’ah, dan adakalanya sunnah seperti
talaknya orang yang lemah, tidak mampu melaksanakan hak-hak pernikahan.
Demikian juga sunnah, talaknya suami yang tidak ada kecenderungan hati kepada
istri, karena perintah salah satu dari dua orang tuanya yang bukan memberatkan,
karena buruk akhlaknya dan ia tidak tahan hidup bersamanya, tetapi ini tidak
mutlak karena umumnya wanita seperti itu.” Rasulullah telah mengisyaratkan
dengan sabdanya: wanita yang baik seperti burung gagak yang putih kedua
sayap dan kedua kakinya. Hadits ini sindiran kelangkaan wujudnya Al-A’shamm
artinya putih kedua sayapnya atau kedua kakinya dan atau salah satunya. ( Azzam
dan Hawwas, 2011 : 258)
Di dalam kitab kifayatul ahyar, syekh Abu
Syuja’ memberikan pandangan bahwa ada dua macam wanita di dalam talak, yaitu
sebagai berikut :
1.
Menalaknya
bisa sunnah dan bisa bid’ah, yaitu wanita yang masih bisa mengalami haid.
a.
Yang
sunnah ialah menjatuhkan talak ketika wanita itu dalam keadaan suci yang pada
saat suci itu tidak pernah disetubuhi.
b.
Yang
bid’ah ialah menjatuhkan talak ketika wanita sedang haid, atau ketika suci
tetapi pada saat itu pernah di setubuhi.
2.
Menalaknya
tidak sunnah dan tidak bid’ah, yaitu kepada empat macam wanita :
a.
Istri
yang masih kecil (belum pernah haid)
b.
Istri
yang sudah tidak bisa haid lagi
c.
Istri
yang hamil
d.
Istri
yang dikhuluk yang tidak pernah disetubuhi suami.
Para ulama dahulu dan sekarang selalu
menyifati talak dengan sunnah dan bid’ah. Ada dua istilah dalam memberikan dua
pengertian tersebut :
Pertama, sunnah ialah tidak haram
menjatuhkannya, sedangkan bid’ah ialah haram menjatuhkannya. Menurut istilah
yang pertama ini, tidak ada pembagian lagi selain sunnah dan bid’ah.
Kedua, yaitu yang berlaku umum dan diikuti
oleh pengarang, adalah sebagai berikut :
ü
Talak
yang sunnah ialah mentalak istri yang sudah disetubuhi namun tidak hamil, bukan
istri yang masih kecil (belum pernah haid) dan bukan istri yang tidak bisa haid
lagi.
ü
Talak
yang bid’ah ialah mentalak istri yang sudah disetubuhi, pada saat talak itu
istri sedang haid atau sedang nifas atau pada saat suci yang pada saat suci itu
pernah disetubuhi dan tidak jelas hamilnya.
ü
Tinggal
satu bagian lagi, yaitu talak yang tidak sunnah dan tidak bid’ah, misalnya
menalak istri yang belum pernah disetubuhi, istri yang sedang hamil, istri yang
sudah tidak bisa haid lagi dan istri yang masih kecil. (Al-Husaini, 2011 : 477-478)
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat
disimpulkan bahwa talak itu terbagi menjadi 3 bagian, talak yang bersifat
sunnah, talak yang bersifat bid’ah dan talak yang bersifat tidak sunnah dan
tidak bidah.
Talak Sunnah yaitu seorang suami mentalak
isterinya yang telah dicampuri dengan satu talak, dalam keadaan suci dan pada
masa itu ia tidak mencampurinya.Allah Ta’ala berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik."
(Al-Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
"Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)."
(Ath-Thalaaq: 1)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak
isterinya yang sedang dalam keadaan haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ
لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ
أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ
الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.
“Perintahkan
agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa
haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus
menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah
masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan isteri.” (HR. Mutafaq
Alaih)
Adapun Talak yang bid’ah, yaitu talak yang
menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya dalam keadaan
haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau seorang suami
melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis,
seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”, atau ucapannya,
“Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.”
Terakhir talak yang tidak sunnah dan bid’ah
atau disebut juga talak mubah , talak mubah adalah talak karena hajat seperti
akhlak wanita yang tidak baik, interaksi pergaulannya yang tidak baik dan
merugikan. Apabila pernikahannya dilanjutkanpun tidak akan mendapat tujuan
apa-apa.
C. Rukun-rukun Talak
Dalam talak harus diperhatikan pula
rukun-rukunnya, karena ini sebuah syariat yang mengatur muamalah antar sesama
manusia, sehingga bisa jadi seseorang menghendaki sebuah talak, namun
disebabkan tidak terpenuhinya sebauh rukun, maka tidak jatuhlah talak tersebut,
atau malah sebaliknya, seseorang menghendaki tidak terjadinya sebuah talak,
namun Karena perbuatannya telah memenuhi sebuah rukun-rukun talak, maka
jatuhlah kepadanya sebuah talak. Rukun talak itu ada 3 bagian, sebagai berikut
:
1. Mukallaf
2. Istri yang ditalak
3. Ucapan (lafal) yang digunakan untuk
mentalak
Ketika 3 rukun ini
terpenuhi, maka telah jatuhlah talak bagi seorang istri dari suaminya.
1. Mukallaf
Ulama telah
sepakat bahwa rukun dari jatuhnya talak adalah mukallaf, maksudnya adalah
seorang suami yang menjatuhkan talak tersebut berakal dan baligh. Tidak syah
talak seseorang yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, mabuk dan tidur,
baik talak yang dilakukannya itu secara jelas (sharih) atau hanya dengan
sindiran (kinayah). Sesungguhnya talak akan diterima manakala dilakukan oleh
ahli talak, yaitu berakal, baligh, dan pilihan sendiri. Seperti dalam hadits dikatakan
: “ Setiap talak itu boleh kecuali talaknya orang yang kurang akalnya.” (HR.
At-Tirmidzi dan Bukhari secara mauquf)
Selain mukallaf
yang dikecualikan, ada juga seorang pemabuk dengan sengaja, maksudnya ia adalah
seorang peminum khamr dan dia mengetahui bahwa yang diminumnya adalah khamr
yang dapat memabuknya, katika dia menjatuhkan sebuah talak, maka talaknya akan
terjadi meskipun dia dalam keadaan mabuk, karena kesalahannya dengan sengaja
menghilangkan akal, maka ia dijadikan seperti berakal. Hukum yang digunakan
adalah hukum wadh’I, yakni penetapan hukum yang berkaitan dengan sebab. (Azzam
dan Hawwas, 2011 : 262)
2. Istri yang ditalak
Salah satu rukun talak adalah adanya
seorang istri yang ditalak. Bagaimana talak akan jatuh terhadap seseorang istri,
jika seorang laki-laki tidak memiliki istri ? maka rukun dari jatuhnya talak
adanya seorang istri yang sudah dinikahi oleh seorang suami.
3. Lafal yang
digunakan untuk mentalak
Talak akan
jatuh jika di ucapkan oleh seorang suami terhadap istrinya, tidaklah jatuh
sebuah talak yang hanya berada dalam niat saja. Namun, seandainya seorang suami
menggerakkan mulutnya dengan maksud talak, tetapi hanya diucapkan secara
berbisik dan tidak terdengar oleh dirinya sendiri, maka ada dua pendapat yang
di katakan oleh Al-Muzani :
1)
Talaknya
jatuh karena yang demikian itu lebih kuat daripada talak sindiran dengan
disertai niat;
2)
Talaknya
tidak jatuh, karena suara berbisik tersebut dianggap bukan perkataan. Atas
dasar ini pula, jika seseorang hendak melaksanakan shalat, disyaratkan untuk
mengeraskan bacaanya minimal didengar oleh dirinya sendiri.
Imam nawawi
mengatakan : “ Yang lebih jelas adalah pendapat kedua (talaknya tidak berlaku),
karena ucapan yang tidak bisa didengar oleh diri pengucap sindiri hukumnya sama
dengan kategori niat aja. Lain dengan talak sindiran, Karen jatuhnya talak itu
harus dengan ucapan yang bisa dipahami. Sedangkan dalam hal ini tidak ada
yang bisa dipahami.” (Al-Husaini, 2011 :
466-467)
Lafal talak itu adakala nya sharih (jelas)
dan adakalanya kinayah (sindiran).
Lafal talak yang sharih (jelas) adalah
lafal yang bisa mengakibatkan jatuhnya talak tanpa tergantung kepada niat,
karena lafal tersebut memang dijadikan oleh pembuat syariat (yaitu Allah) untuk
mengatakan talak.
Lafal talak kinayah (sindiran) ialah lafal
yang tergantung terhadap niat. Demikian ini menurut ijmak para ulama. Lafal
talak dengan sindirian tidak mengakibatkan jatuhnya talak, jika tidak dibarengi
dengan niat talak.
Syekh abu
syuja’ berkata : talak yang sharih (jelas) itu lafalnya ada 3 :
a.
Dengan
kata-kata talak
b.
Dengan
kata-kata cerai
c.
Dengan
kata-kata lepas
Talak dengan menggunakan lafal sharih tidak
memerlukan niat.
Kata firaq (cerai) dan sarah (lepas)
termasuk kategori sharih, karena dua kata tersebut berlaku di dalam Alquran
bermakna talak.
وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلاً ( الاحزاب : 49 )
Artinya :” ….
Dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya…” (QS. Al-Ahzab : 49)
Diriwayatkan
bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang talak yang ketiga,
beliau menjawab :
أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ (رواه الدرقطنى)
Artinya :” Atau
menceraikan dengan baik.” (HR. Al-Daruquthni)
Al-Daruquthni
membenarkan bahwa hadits ini mursal, tetapi ibnul Qaththan menganggap hadist
shahih.
Menurut kaul qadim, kata firaq dan sarah
termasuk kinayah (sindiran). Karena dua kata tersebut disamping dipergunakan
untuk pernyataan talak, kata ini juga dipergunakan untuk selain talak, maka
kata ini hampir menyerupai kata dzahir. Adapun menurut kaul jaded, dua kata
tersebut (firaq dan sarah) termasuk kepada arti yang pertama ( yakni sharih
bukan sindirin).
Dalam buku fiqh
munakahat dijelaskan bahwa talaq tidak sah bagi orang yang dipaksa atau terpaksa,
dengan alasan hadits nabi shalallahu alaihi wasallam:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطَّاءُ وَ النِسْيَانُ وَمَا اسْتَكْرَهُوْا
عَلَيْهِ
“ terangkat dari umatku kesalahan, lupa dan dipaksa.”
Paksaan adalah
sebuah perbuatan yang tidak benar, karena paksaan mengungkapkan perkataan kufur
(terpaksa) dalam mengucapkannya, bukan benar-benar dari dalam hati atau niat
untuk mentalak seorang istri.
Sabda Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam :
لاَطَلاَقَ فِي إِغْلاَقِ
“ tidak ada talak sah pada orang yang tertutup”
Maksud tertutup disini adalah orang yang
terpaksa dalam pengucapannya, tidak mampunya seseorang karena paksaaan,
sehingga dia harus mengucapkan sesuatu yang dirinya sendiri tidak menginginkan
kata-kata tersebut terucap dari bibirnya, yaitu perkataan talak. Adapun jika
paksaaan tersebut dimaksudkan dalam kebenaran, seperti pemaksaan seorang hakin
kepada suami yang mengharuskan dia bertalak, maka hukum paksaan ini di sahkan
dan dibenarkan.
Ungkapan dalam
talak ada 2 macam, yaitu talak dengan ucapan sharih (jelas) dan ucapan sindiran
(kinayah).
1. ucapan talak
dengan bahasa sharih (jelas)
Jika seseorang berniat mentalak istrinya di
dalam hati tanpa di ucapkan atau semacamnya, maka tidak jatuh talak menurut
keumumam para fuqaha. Diantarnya seperti Atha’, Jabir bin Zaid, Said bin
Jubair, Yahya bin Abi Katsir, Asy-Syafi’I, Ishak, Al-Qasim, Salim, dan
Al-Hasan. Namun berbeda dengan pendapat Zubair dan Ibnu Sirin, dimana mereka
berpendapat bahwa sebuah talak tanpa diucapkan, jika hal itu didasari oleh azam
(keinginan) untuk mentalak istri, maka hal ini menimbulkan jatuhnya talak
kepada istri. Bahkan Ibnu Sirin mengatakan “ Tidakkah Allah mengetahuinya”.
Namun pendapat
jumhur ulama lebih kuat dengan membawakan hadits nabi:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا خَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا
مَالَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“ Sesungguhnya Allah melewati umatku (tidak ada sanksinya) apa
yang dikatakan hati selagi belum dikerjakan atau belum diungkapkan.” (HR.
Al-Bukhari, An-Nasa’I, dan At-Tirmidzi)
Contoh lafadz talak yang diungkapkan secara
sharih (jelas):
1)
Hai
orang yang tertalak (يا طالق)
2)
Wanita
tertalak (مطلّة)
3)
Engkau
seorang tertalak(أنْتِ
طالقة)
4)
Aku
talak engkau(
طَلَّقْتُكِ)
Semua lafal diatas menunjukan sebuah
ungkapan talak yang sharih (jelas), wanita tertalak dengan ungkapan-ungkapan
tersebut, ungkapan ini baik di ucapkan secara sengaja atau tidak sengaja,
karena selama seorang suami tersebut memahmi maksud dari kata-kata tersebut.
Dalam sebuah hadits dikatakan:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ حَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ حَدٌّ النِّكَاحُ
وَالطَّلاَقُ وَالرّجْعَةُ
“ ada tiga perkara kesungguhannya menjadi sungguh-sungguh dan
bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh, yakni talak, nikah dan rujuk.”
Jika seseorang mengatakan hal-hal diatas
(ungkapan talak) namun maksudnya yang lain, hanya saja lisannya mengucapkannya,
maka tidak diterima perkataan orang tersebut karena menyalahi lahirnya. Hal ini
urusan antara dirinya dengan Allah Karena bisa saja diartikan seperti
pengakuannya, seperti dalam hadits Rasulullah, beliau bersabda:” Aku menghukumi
yang lahir dan Allahlah yang menguasai yang tersembunyi.”
2. ungkapan
talak dengan sindiran (kinayah)
Lafal talak sindiran (kinayah), yaitu suatu
kalimat yang mempunyai arti cerai atau yang lain. Berikut adalah contoh-contoh
ungkapan sindiran yang menyebabkan jatuhnya sebuah talak, diantaranya :
1)
Engkau
bebas
2)
Engkau
terputus
3)
Engkau
terpisah
4)
Melanggarlah
5)
Bebaskan
rahimmu
6)
Pulanglah
ke orang tuamu
7)
Talimu
terhadapku keanehanmu
8)
Jauhkan
aku
9)
Pergilah
10) Dan lain-lain.
Jika seseorang berkata kepada istrinya : “
Aku memerdekakan engkau atau engkau merdeka “ dan berniat talak, maka
terjadilah talak. Demikian juga perkataan seseorang kepada hambanya : “ Engkau
saya talak “ dengan niat talak terjadilah pemerdekaan dan ia merdeka.
Beberapa masalah, perkataan seorang suami
terhadap istri: “ Engkau terhadapku haram atau aku haramkan engkau “ adalah
sebuah sindiran, mungkin saja diartikan sebuah talak atau hanya sebuah dzihar
(penyerupaan istri dengan mahram suami). Ada beberapa kemungkinan makna
ungkapan tersebut, yakni sebagai berikut:
a.
Jika
ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut Karena mengandung arti haram
sebab talak.
b.
Jika
diniatkan sebagai dzihar, maka jatuhlah dzihar karena dzihar menuntut keharaman
sampai kekufuran.
c.
Jika
seseorang meniatkan keduanya secara bersamaan (talak dan dzihar), maka
seseorang itu diperbolehkan memilih salah satunya dan terjadilah apa yang
dipilih oleh seseorangnya. Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang terkuat
adalah talak, Karen alasan talak lebih kuat dalam melenyapkan kepemilikan.
Pendapat lain mengatakan bahwa jatuh dzihar, karena asalnya adalah tetapnya
sebuah pernikahan. Keduanya tidak terjadi secara bersamaan, karena talak
menghilangkan nikah, sedangkan dzihar menyebabkan talak.
d.
Jika
ia tidak berniat apapun, maka tidak terjadi apapun juga (tidak talak dan tidak
dzihar), karena perkataan tersebut tidak mengandung perkataan tegas, sedangkan
sebuah sindiran memerlukan sebuah niat yang membantu sebuah maksud dari lafal.
e.
Jika
ia berniat dengan ucapannya: “ Engkau terhadapku haram atau keharamanmu seperti
keharaman matanya atau seperti farajnya dan atau seperti menggaulinya “.
Ungkapan ini tidak menunjukan sebuah keharaman, tetapi wajib membayar sebuah
kaffarah sumpah. Kewajiban kaffarah sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan :
“ Rasulullah bersumpah ilaa terhadap sebagian istrinya, kemudian beliau jadikan
yang haram menjadi halal dan beliau jadikan sumpah dengan kaffarah.”
f.
Jika
ia mengatakan ungkapan demikian dan tidak ada niat sesuatu, apakah ia wajib
membayar kaffarah ? jawabannya ada dua pendapat ; pertama, wajib
membayar kaffarah, berdasarkan lafalnya yang tegas dalam mewajibkannya. Kedua,
tidak wajib kaffarah, berdasarkan
lafalnya yang tidak tegas. (Azzam dan Hawwas, 2011 : 264-272)
dalam pembagian ungkapan talak yang terbagi
menjadi 2 macam, yaitu talak sharih dan talak kinayah, ada pula beberapa cara
dalam mengungkapkan talak, seperti dengan tulisan dan dengan isyarat. Dalam
ungkapan-ungkapan diatas, walaupun dilakukan dengan hanya sebuah tulisan atau
sebuah isyarat, jika dia berniat dan menghendaki sebuah perceraian, maka akan
jatuhlah sebuah talak bagi seorang istri.
D. Macam-Macam Talak
Talak memiliki macam-macamnya yang perlu diperhatikan, ini
memberikan sebuah gambaran untuk membedakan talak mana yang masih bisa di rujuk
(kembali) atau talak mana yang tidak bisa di rujuk, bisa rujuk namun harus
menghadirkan seorang muhalil (yang menghalalkan) yang menikahi istrinya setelah
mendapatkan talak tiga. Berikut ini macam-macam talak :
1.
Talak
raj’I, yakni talak yang jatuh kepada istri untuk pertama dan kedua, sehingga
seorang suami masih bisa rujuk (kembali) kepada pangkuan istrinya tanpa harus
melakukan pernikahan terlebih dahulu. Dalam talak ini seorang suami wajib
memberikan nafkah sampai habis masa iddahnya, tidak boleh seoarang istri keluar
rumah atau seorang suami mengeluarkan istrinya dari rumah. Sebagaimana dalam
firman Allah yang artinya,” wahai Nabi ! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah
(diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.”
(QS.At-Thalak: 1)
2.
Talak
ba’in, yaitu talak yang tidak membolehkan seorang suami untuk rujuk kembali
kepada istrinya, kecuali seorang istri sudah menikah dengan laki-laki lain
(muhalil), kemudian mereka terjadi sebuah percerain dan telah melakukan hubungan
badan. Maka hal ini boleh seorang suami pertama menikahinya kembali setelah
masa idahnya selesai. Dalam talak ini (talak ba’in) seorang istri tidak
mendapatkan hak-haknya sebagai seorang istri, yaitu tidak memperoleh tempat
tinggal (rumah) dan nafkah. Dalam hadits dari Fatimah binti qois, dari Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang talak tiga, beliau bersabda:” tidaklah bagi
wanita (yang ditalak tiga) itu mendapatkan tempat tinggal dan tidak pula
mendapatkan nafakah.” (HR. Muslim).
3.
Talak
Sunni, yaitu talak yang diperbolehkan kepada seorang suami untuk mentalak
istrinya yang masih suci dan masih belum dicampuri selama masa sucinya.
4.
Talak
Bad’I, yaitu talak yang dilarang dijatuhkan kepada seorang istri, dimana istri
dalam keadaan haid atau seorang istri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri.
Demikianlah penulis dapat penjelasan tentang macam-macam talak, semoga
dengan mengetahui macam-macam talak dan bentuk-bentuk penjatuhan talak, pembaca
mampu menghindari sebuah perbuatan yang halal namun Allah benci ini, sehingga
dalam menjalani kehidupan berkeluarganya tercipta sebuah kehidupan yang
harmonis dan mensejahterakan.
5.
BAB III
PENUTUP
A. Ringkasan
Islam
sebagai agama yang sempurna dan sebagai risalah terakhir yang turun kepada
manusia mulia yakni nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, mengatur setiap
aspek kehidupan manusia yang memiliki akal untuk menjalani kehidupan yang
mulia, yang memberikan kenyamanan dan keamanan. Begitu pula dalam masalah
kehidupan berkeluarga, syariat islam sangat memperhatikan permaslah ini,
sehingga memberikan sebuah aturan yang dapat menjadikan sebuah pegangan bagi
kaum muslimin dalam menjalankan kehidupan berkeluarga, karena berkeluarga ini
sebuah kehidupan yang menyatukan dua insan yang memiliki latar dan sifat yang
berbeda, maka layaklah bagi orang yang hendak berkeluarga mempelajari dulu
aspek-aspek yang menjelaskan tentang hal-hal dalam berkeluarga, salah satunya
adalah talak.
Talak
sudah ada sejak zaman jahiliyah, islam datang untuk menguatkan dalam proses menjalankannya
bukan datang hanya memberikan sebauh syariat baru bagi umat ini, oleh sebab
itu, islam memberikan sebuah mengaturan yang lebih spesifik ketika terjadi
sebuah pertalakan.
Dalam
pengucapan terjadi dua macam, ada yang bisa menjatuhkan langsung kepada talak
walaupun tanpa niat dan hanya bercanda saja, pengucapan talak ini dinamakan
dengan pengucapan talak secara sharih. Sedangkan ada pengucapan talak yang
tidak menjatuhkan terhadap talak, jika maksud pengucapan ini tidak dibarengi
dengan sebuah niat, apabila pengucapan tersebut dibarengi dengan sebuah niat
pentalakan, maka jatuhlah talak tersebut, pengucapan seperti ini dinamakan
dengan kinayah (sindiran).
Ketika
penjatuhan talak terjadi, maka seorang suami dan istri akan terbagi kepada 4
keadaan, diantaranya :
1.
talak
raj’i
2.
talak
ba’in
3.
talak
sunni
4.
talak
bad’i
B. Saran
Bahayanya
talak bagi kelangsungan pernikahan seseorang, maka selayaknya kepala keluarga
harus bisa menjaga keutuhan keluarga dengan selalu memberikan perhatian pernuh
dan juga berhati-hati dalam berucap. dalam pernikahan harus saling percaya satu
sama lainnya, sehingga keutuhan keluarga akan selalu terjaga dan selalu
tercipta suasana harmoni.
Ada
hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjaga keutuhan kehidupan keluarga,
diantaranya sebagai berikut :
1.
Selalu
tumbuhkan saling percaya satu sama lainnya dan jauhi curiga yang berlebihan;
2.
Berikanlah
sapaan yang mampu menyenangkan suami atau istri walaupun dalam sesibuk yang
dijalani;
3.
Luangkan
waktu untuk mengajak keluarga untuk menikmati liburan, dan jalan-jalan dalam
rangka menghibur dan menghilangkan kejenuhan;
4.
Bantulah
tugas rumah tangga agar dapat memberikan ketenangan dan pasangan merasa tidak
terbebani oleh aktivitas yang selalu dia lakukan.
Daftar Pustaka
1.
Al
quranul karim. 2005. Bandung: PT. Syamil Cipta Media
2.
Azzam,
Abdul Aziz dan Hawwas, Abdul Wahab. Fiqh Munakahat. 2011. Jakarta : Amzah
3.
Al
Husaini, al imam taqiyuddin abu bakar. Kifayatul akhyar. 2011. Surabaya: PT.
Bina Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar