Oleh : Hendri Permana
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
permasalah teologi dalam agama islam, banyak bermunculan kelompok-kelompok yang
memperkuat argumentasi dalam beragamanya dengan menggunakan rasio, walaupun
mereka tetap menggunakan nash yaitu al qur an dan al hadits. Akan tetapi,
dengan menggunakan rasio yang mereka agungkan ini, maka muncul pemikir-pemikir
islam yang memperkuat sebuah alasan dalam mempertahankan keyakinannya.
Mu’tazilah
adalah salah satu kelompok/golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi
lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa
oleh kaum khawarij dan murji’ah. Walaupun pada mulanya kelompok ini hanya
sebatas gerakan beberapa orang sahabat saja yang tidak puas dengan sikap
pemerintahan sayidina ali bin abi thalib.
Penyebutan
kelompok ini dengan sebutan kelompok mu’tazilah terjadi setelah adanya
perbedaan pendapat antara wasil ibn atha dengan gurunya hasan al bishri tentang
penilaian orang yang berbuat dosa. Dengan munculnya pemikiran seperti inilah maka
mu’tazilah lahir sebagai nama kelompok baru dalam dunia pemikiran islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Pengertian
mu’tazilah
b.
Latar
belakang munculnya aliran mu’tazilah
c.
Doktrin-doktrin
aliran mu’tazilah
d.
Sejarah
perkembangan mu’tazilah
C.
Tujuannya
Adapun tujuan penulisan makalah ini, agar :
a.
Memhami
sejarah munculnya mu’tazilah
b.
Mengetahui
pemikiran-pemikiran mu’tazilah
c.
Mengetahui doktrin-doktrin mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’tazilah
Secara harfiah
kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.
Kaum Mu’tazilah
adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam
dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij
dan Murji’ah. Dalam pembahasan teologi,
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Kelompok
Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan
tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran
Mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka
Abd al-Jabbar yeng berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash
tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara dan Suyuti menambahkan
dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan
muamalah manusia.
Kaum Mu’tazilah
muncul sebagai tanggapan atas pertikaian antara Khawarij dan murji’ah mengenai
pelaku dosa besar. Khawarij berpendapat dosa besar termasuk orang kafir,
sedangkan murji’ah berpendapat pelaku dosa besar masih dianggap mukmin.
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad 2 hijriyah, yaitu
antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik
bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Basrah mantan murid Hasan al Basri yang bernama Washil bin Atha
Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Washil bin Atha berpendapat
bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.
Imam Hasan al Basri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Inilah awal kemunculan paham dikarenakan perselisihan tersebut antara murid dan
guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah
dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang. Secara
teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama
(selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon polotik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral polotik, khususnya bersikap lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua
(selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis
yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa
tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat
dosa besar.
Beberapa versi
tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada
golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata
serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang
bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berbuat dosa besar. Ketika Hasan
Al-Basri masih berpikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,”Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di
antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.
Versi lain
dikemukakan oleh Al-Baghdadi, ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin
Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majlisnya karena ada pertikaian
diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa itu
tidak mukmin dan tidak kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan
Mu’tazilah.
Versi lain
dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majlis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majlis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majlis
tersebut bukan majis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil
berkata, “Ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakanMu’tazilah.
Al-Mas’udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkan dengan peristiiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri, mereka
diberi nama Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat di antara kafir dan mukmin
(al-manzilah bain al-manzilatain).
Teori baru yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat
sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya
pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada
yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana: Satu
golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke
Kharbita (i’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya
kpada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan diri dengan
Mu’tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.
C. Doktrin-doktrin Pokok Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah
memiliki ajaran pokok dengan sebutan Al-Usul Al-Khamsah (lima ajaran dasar
teologi Mu’tazilah).
1. At Tauhid
Tauhid dalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan
milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahlut-tauhid. At-Tauhid berarti ke Maha
Esaan Tuhan. Menurut faham mereka,Tuhan hrus disucikan dari segala yang dapat
mengurangi arti ke Maha Esaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan
tidak satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim.
Bila yang qadim itu lebih dari satu, maka
telah terjadi ta’addud al qudama (berbilangnya
dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhn, Mu’tazilah menolak konsep
Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum),
dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan itu Esa tak satupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha
melihat, Mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun mendengar, kuasa,
mengetahui dan sebagainyaitu bukanlah sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka
sifat adalah suautu yang melekat. Bila sifat itu qadim, berarti ada dua qadim,
yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Atho yang dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “siapa
yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak
bis aditerima karena pebuatan syirik. Apa yang disebut sifat menurut Mu’tazilah
adalah Tuhan itu sendiri. Abu Huzzail berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu
dan ilmu itu tuhan sendiri, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu
Tuhan sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan
sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
2.
Al-‘Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua
adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Ajaran ini bertujuan untuk
menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut pandangan manusia. Tuhan dipandang
adil jika bertindak hanya yang baik dan terbaik. Tuhan juga dianggap adil jika
memenuhi janjinya karena Tuhan terikat dengan janji-Nya.
Ajaran tentang
keadilan ini terkait dengan beberapa hal:
a.
Perbuatan
Manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya
sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, manusia bebas menentukan
perbuatannya, Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
b.
Berbuat
Baik dan Terbaik
Yang dimaksud dengan berbuat
baik dan terbaik adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi
manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan
Tuhan penjahat dan penganiyaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Bahkan
menurut An-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah berpendapat, “Tuhan tidak dapat
berbuat jahat”. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan dan
pengasihan Tuhan (sifat-sifat yang layak bagi-Nya).
c.
Mengutus
Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena
alasan-alasan berikut ini:
·
Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali
dengan mengutus rasul kepada mereka.
·
Al-Qur’an
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada
manusia (Q.S. As-Syu’ara:29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah
dengan pengutusan rasul.
·
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.
3.
Al-Wa’d
wa Al-Wa’id
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan
dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan wajib
melaksanakan janji-Nya, yaitu janji Tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi
orang yang berbuat baik dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat
jahat, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan.Siapa yang berbuat baik
akan dibalas dengan kebaikan atau pahala, sebaliknya orang yang berbuat buruk
akan dibalas dengan keburukan atau siksa.Tiada ampunan bagi orang berbuat dosa
kecuali ia bertobat. Ajaran ini tampaknya bertujuan untuk medorong manusia
berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.
Al-Manzilah
bain Al-Manziltain
Prinsip ini
sangat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yang
timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang
yang berdosa besar, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq
suatu posisi diantara dua posisi. Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang
tersebut menjad kafir dan akan kekal di neraka. Golongan Murji’ah berpendapat
bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di neraka. Dan golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tetapi
fasik dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir.
Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat Murji’ah.
5.
Al-Amr
bi al-Ma’ruf wa An Nahyu ‘An al-Munkar
Al-amr bi al-Ma’ruf wa An Nahyu ‘An
al-Munkar artinya mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ajaran ini
berpihak kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari
keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan berbuat baik,
diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan mu’tazilah saja, tapi
juga dimiliki oleh umat Islam lainnya. Namun dalam pelaksanaannya, Mu’tazilah
menggunakan kekerasan bila dianggap perlu.
D. Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini
tidak mendapat simpati umat Islam. Karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofi itu. Alasan lain karena kaum
Mu’tazilah dianggap tidak teguh berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para
sahabat.
Kelompok ini baru mendapat dukungan yang
luas pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun, penguasa Abasiyah (198-218 H /
813-833 M). Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah al-Ma’mun menjadikannya
sebagai mahzab resmi negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil
dididik dalam tradisi yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Karena mendapat dukungan dari pemerintah, kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya
kepada kelompok lain yang dikenal dengan peristiwa minhah (inquisition). Minhah
itu timbul sehubungan pendapat mereka bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT.
Kalam adalah terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf dan dapat ditiru
bunyinya. Al-Qur’an itu makhluk, dalam arti ciptaan Tuhan. Karena itu diciptakan
maka sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika dikatakan Al-Qur’an itu qadim,
maka kesimpulannya ada yang qadim selain Allah SWT dan itu musyrik hukumnya.
Khalifah al-Ma’mun memerintahkan agar diadakan
pengujian terhadap aparat pemerintah (minhah) tentang keyakinan mereka akan
paham ini. Dalam pelaksanaanya bukan hanya aparat pemerintah saja, tetapi juga
tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadi korban,
salah satunya adalah Imam Hambali. Peristiwa ini berakhir pada saat
kepemimpinan al-Mutawakkil (memerintah 232-247 H /842-847 M). Dimasa
Al-Mutawakkil dominasi Mu’tazilah menurun dan tidak mendapat simpati dari
masyarakat. Hal ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil mambatalkan mahzab
Mu’tazilah menjadi mahzab Asy’ariah. Pada perkembangannya, Mu’tazilah sempat
muncul kembali pada Dinasti Buwaihi di Baghdad. Namun tidak lama karena segera
digulingkan oleh Bani Seljuk yang cenderung ke Asy’ariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti
berpisah. Mu’tazilah muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad 2 hijriyah,.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atho yang berpisah dari gurunya
Hasan al-Basri karea perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa
muslim yang berdosa besar bukan mukmin bukan pula kafir, yang berarti ia fasik.
Mu’tazilah
memiliki ajaran pokok dengan sebutan Al-Usul Al-Khamsah (lima ajaran dasar
teologi Mu’tazilah).
Ø At-Tauhid
Ø Al-Adl
Ø Al-wa’d wa al-Wa’id
Ø Al-Manzilah bain Al-Manziltain
Ø Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An Nahyu ‘An al-Munkar
B. Saran
Dengan demikian sebagai
penulis makalah ini kami meminta saran dan kritik karena masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki agar teman-teman mahasiswa yang membaca
ataupun Dosen yang membimbing agar memberikan masukan demi kesempurnaan
penulisan Makalah yang berjudul ”Aliran
Mu’tazilah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar