PRODUK PEMIKIRAN DAN HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama samawi terakhir membawa ajaran-ajaran yang bersifat final, dan
mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, menjawab tantangan, dan
tuntutannya sepanjang zaman. Dalam hal ini sumber dasar ajaran agama islam akan
tetap aktual dan fungsional terhadap permasalahan hidup dan tantangan serta
tuntutan perkembangan zaman tersebut. Sementara itu, seiring dengan pertumbuhan
dan perkembangan zaman yang berlangsung dan berkelanjutan, maka permasalahan
dan tantangan serta tuntutan hidup manusiapun bertumbuh kembang menjadi semakin
kompleks. Pemecahan permasalahan dan jawaban terhadap tantangan dan tuntutan
perkembangan zaman yang semakin kompleks ini menimbulkan pertumbuhan dan
perkembangan system kehidupan budaya dan peradaban manusia yang semakin maju
dan modern. Mampukah sumber dasar ajaran agama Islam tetap aktual dan menjadi
faktor dinamis dari perkembangan sistem budaya dan peradaban manusia yang
semakin maju dan modern tersebut. (muhaimin, 2005 : 11)
Ketika
islam ini masih dibimbing langsung oleh baginda Nabi Muhammad, ketika muncul
sebuah permasalahan hidup yang berkaitan dengan agama, maka para sahabat langsung
datang kepada baginda Nabi Muhammad untuk meminta fatwa atau nasihat dari
beliau. Akan tetapi, ketika nabi Muhammad wafat dan islam mulai tersebar
keseluruh belahan dunia, dan banyaknya para sahabat yang tersebar dibumi
tersebut, maka islam mulai menemukan banyak perbedaan dalam memahami nash-nash
yang datangnya dari al-quran dan hadits, sehingga perbedaan ini menimbulkan
banyak kontroversi antar umat islam sendiri. Ulama sebagai pemikir hukum-hukum
islam, muncul sebagai pemberi jawaban atas permasalahan yang ada dimasyarakat
dengan maksud untuk memberikan solusi dan memberikan pemahaman yang benar atas
nash-nash yang datang dari al-quran dan hadits nabi. Islam datang sebagai
rahmatan lil ‘alamin, sehingga dapat mewujudkan dalam kehidupan nyata di dunia
global.
Nabi
Muhammad SAW adalah Rasul Allah yang terakhir, sebagai penutup dari serangkaian
rasul-rasul yang telah diutus oleh-Nya sepanjang sejarah kehidupan manusia di
muka bumi ini. Beliau membawa agama samawi yang bersifat universal dan eternal.
Dalam arti, bahwa jika rasul-rasul sebelumnya diutus oleh-Nya untuk
mendakwahkan ajaran agama samawi kepada lingkungan budaya bangsanya
masing-masing, maka nabi Muhammad SAW
sebagai nabi terakhir yang harus mendakwahkan agama kepada berbagai
bangsa-bangsa dan budaya-budaya yang ada dimuka bumi ini sebagai utusan
terkahir bagi seluruh alam sampai akhir zaman ini.(muhaimin, 2005 :26)
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-anbiya ayat 107 :
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dan firman
Allah dalam surat saba’ ayat 28 :
“dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
Dengan
melihat dua ayat ini, maka jelaslah bahwa islam ini sebagai agama samawi
terakhir yang Allah turunkan buat umat manusia diseluruh bumi ini. Sehingga
islam menjadi sebuah alternative dalam menyelesaikan berbagai malasah yang ada
khusus dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan syri’ah, ibadah, mua’malah,
dan akhlak.
PEMBAHASAN
A. Sumber-sumber pemikiran islam dan hukum islam
Sumber-sumber dalam pemikiran dan juga
hukum islam adalah al-qur an , as- sunnah, dan ijtihad. Adapun sumber yang
ketiga ini merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan. Landasannya
ialah hadits tentang Mu’adz bin jabbal: “ bagaimana kamu akan memutuskan
terhadap suatu perkara yang datang kepadamu ?” Mu’adz menjawab :
“saya akan memutuskan dengan kitabullah”. Nabi bertanya: “kalau
engkau tidak mendapatinya di dalam kitabullah?” Mu’adz menjawab:
“saya akan memutuskan berdasar sunnah rasul.” Nabi bertanya:”kalau disitu juga
tidak ada?” Mu’adz menjawab: “ saya akan berdasar pendapatku dan
saya tidak akan lengah”. Nabipun menepuk Mu’adz dan
berkata:”Alhamdulillah, tuhan yang telah member taufik-Nya sesuai dengan
apa yang diridhai oleh-Nya dan Rasul-Nya”.
1. Al-Quran
Secara etimologi Al-Quran berasal dari kata
“qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jamu’)
dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu
bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-Quran karena ia berisikan
ini sari semua kitabullah dan inti sari dari ilmu pengetahuan. Imam syafi’I
berpendapat, bahwa kata Al-Quran ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-Quran) dan
tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab
suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat
dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa.
(muhaimin, 2005 : 81)
Dari
seluruh isi Al-Quran itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut
:
1. Masalah tauhid, termasuk di dalamnya masalah kepercayaan terhadap yang
gaib;
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang
mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan jiwa;
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dan balasan baik bagi mereka yang
berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan
memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapatkan kesengsaraan
dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka;
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan
aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhoan Allah;
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah
bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah. (muhaimin, 2005 : 84)
2. As-Sunnah
Menurut etimologi
(bahasa), As-Sunnah diambil dari kata “sanna, yasinnu, sannan, jama’ sunanun.”
Artinya menerangkan, sirah, tabi’at, dan jalan. As-Sunnah menurut istilah
syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi dalam bentuk qaul
(ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan/persetujuan), sifat tubuh, serta
akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat
islam. (yazid, 2012 : 24 & 28)
As-Sunnah memiliki
fungsi terhadap Al-Quran, sebagai berikut :
1. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
Al-Quran. Maka dalam hal ini kedua-duanya sama-sama menjadi sumber hukum.
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang masih
mujmal/global (bayan al-mujmal), memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih
belum terbatas di dalam Al-Quran (taqyiq al-mutlaq) memberikan kekhususan
(takhsish) ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum (takhsish al-‘amm), dan
memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam Al-Quran
(tawdih al-musykil).
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Quran.
Hal ini berarti bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetapan yang bersifat
tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh Al-Quran dan hukum-hukum atau
aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata.
4. Ketetapan hadits itu bisa merubah hukum dalam Al-Quran. (muhaimin, 2005
:134-139)
3. Ijtihad
Secara
etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-masyaqqah
(yang sulit, yang susah). Namun dalam Al-Quran kata jahda mengandung arti badzl
al-wus’I wa thaqati (pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga
berarti al-mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah). (muhaimin,
2005 : 177)
Lebih lanjut, urgensi
upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad sendiri yang terbagi atas tiga
macam, yaitu:
1. Fungsi al-ruju’ atau al-I’adah (kembali), yaitu mengembalikan
ajaran-ajaran islam kepada sumber pokok, yakni Al-Quran dan Sunnah Shahihah
dari segala interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
2. Fungsi al-ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian
dari nilai dan semangat ajaran islam agar mampu menjawab dan menghadapi
tantangan zaman, sehingga islam mampu sebagai furqan, hudan, dan rahmatan lil
‘alamin.
3. Fungsi al-inabah (pembenahan), yakni membenahi ajaran-ajaran islam yang
telah diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut
konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita hadapi. (muhaimin, 2005 :
181)
Seseorang dalam
berijtihad harus memperhatikan hal-hal berikut ini :
a. Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan mujtahid umat islam
tentang hukum syara’dari peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah meninggal dunia. Objek Ijma’ialah semua peeristiwa
yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, peristiwa yang
berhubungan dengan ibadat ghairu mahdah (ibadah yang tidak langsung ditujukan
kpada Allah SWT)bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan, atau semua hal-hal
yang berurusan dengan urusan duniawi tapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
b. Qiyas
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannnya
kepada suatu peristiwa la yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara
kedua peristiwa itu.
c. Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan hukum yang
telah ditetapkan atas suatu peristiwa dengan berdasarkan dalil syara’ menuju
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa itu juga, karena ada suatu dalil syara’
yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
d. Maslahat mursalah
Maslahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan
yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang
menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.
e. ‘Urf
‘urf ialah suatu yang telah dikenal oleh
masyarakat sebagai adat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan.
f. Syar’un man qoblana
Syar’un man qoblana ialah syari’ah yang
dibawa para rasul terdahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW, yang menjadi
pentunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari’ah Nabi Ibrahim
As., Nabi Musa As., syariah Nabi Daud As., syari’ah Nabi Isa As., dan
sebagainya.
g. Istishab
Istishab ialah tetap berpegang teguh
terhadapat hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada
dalil yang mengubah hukum tersebut.
h. Saddudz dzaraiah
Saddudz dzaraiah maksudnya menghambat semua
jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penepatan hukum secara
Saddudz dzaraiah ini ialah untuk memudahkan tercapainya suatu kemaslahatan atau
jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan
perbuatan maksiat.
i.
Madzhab sahabat
Semasa rasul SAW hidup, semua masalah
ditanyakan para sahabat kepada beliau dan langsung diberikan penyelesaian.
Setelah rasul SAW meninggal, maka kelompok sahabat yang tergolong adil dalam
mengistinbath-kan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persolaan
tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai fatwa-fatwa sahabat itu. (lidinillah,
2005 : 143-150)
B. Jenis-Jenis Produk Pemikiran Dan Hukum Islam
1.
FIQH
Kata fiqh secara arti kata berarti “faham yang
mendalam”. “Semua kata “fa qa ha” yang
terdapat dalam al-Quran mengandung arti ini. Umpamanya firman Allah dalam surat
Al-Taubah ayat 122:
wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# ÇÊËËÈ
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…
2. IBADAT
Kata
“ibadah”yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Melayu yang di pakai
dan dipahami secara baik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Melayu atau
Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti,
berkhidmat, tunduk, patuh,mengesankan, dan merendahkan diri. Dalam istilah
Indonesia iartikan: perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari
ketaatan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Juga
diartikan: segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah tuhan untuk
mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri,
keluarga,masyarakat, maupun alam semesta. Rasanya yang terakhir ini sudah
merupakan suatu istilah yang lengkap.
.
3. MUNAKAHAT (PERKAWINAN)
Perkawinan
dalam literature fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini kata
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam
al-Quran dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Quran dengan
arti kawin, seperti dalam surat al-Nisa’ ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù …
Dan jika kamu takut dia akan berlaku adil
terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi,
dua, tiga, atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup
satu orang…
Demikian
pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam al-Quran dalam arti kawin, seperti
pada surat al-Ahzab ayat 37:
( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r& 4
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan (menceraikan ) istrinya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak
mereka…
Secara
arti kata nikah berarti atau zawaj “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga
berarti “akad”. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak
diartikan dengan:
Yang
artinya : akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan
kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.
4. FARAID ATAU KEWARISAN
A.
Pengertian
Membicarakan
faraidh atau kewarisan berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari
orang yang telah mati kepada orang yang
masih hidup. Dengan demikian fiqh Mawarist mengandung arti ketentuan
yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari
seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup.
Dalam
pandangan islam kewarisan termasuk salah satu bagian dari fiqh atau ketentuan
yang harus dipatuhi umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan
peninggalan seseorang yang telah mati. Allah menetapkan ketentuan tentang
kewarisan ini adalah karena ia menyangkut dengan harta yang di satu sisi
kecenderungan manusia kepadanya dapat menimbulkan persengketaan dan di sisi
lain Allah tidak menghendaki manusia memakan hartanya yang bukan haknya.
B.
Hubungan Kewarisan
Harta
seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih hidup bila di
antara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan. Hubungan tersebut dinamai
hubungan kewarisan. Hubungan kewarisan
menurut Islam ada dalam beberapa bentuk:
a. Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah.
Hubungan di sini bersifat alamiah. Hubungan darah ini ditentukan oleh
kelahiran. Seseorang yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan
kerabat dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang yang berhubungan
kerabat dengan ibu itu. Selanjutnya ia mempunyai hubungan kerabat dengan
laki-laki yang secara sah menikahi ibu itu dan ia lahir dari hasil pernikahan
tersebut (sebagai ayah) dan berhubungan kerabat pula dengan orang-orang yang
berhubungan kerabat dengan laki-laki itu. Dasar dari hubungan kerabat sebagai
hubungan kewarisan itu ditemukan dalam surat al-Nisa’ ayat 7: “Bagi
laki-laki ada bagian yang ditentukan
dari apa-apa yang ditinggalkan oleh ibu-bapak dan karib kerabatnya; dan bagi
perempuan juga ada bagian yang ditentukan dari apa-apa yang ditinggalkan
ibu-bapak dan karib kerabatnya…”
b. Hubungan perkawinan.
Bila seseorang laki-laki telah
melangsungkan akad nikah yang sah dengan seseorang perempuan maka diantara
keduanya telah terdapat hubungan kewarisan; dalam arti istri menjadi ahli waris
bagi suaminya yang telah mati dan suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang
telah mati. Dasar hukum adanya hubungan
kewarisan antar suami istri ini adalah lafaz ‘akadat aymanukum dalam firman
Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 33: “ Bagi tiap-tiap kami jadikan ahli waris
dari apa-apa yang ditinggalkan ibu
bapak, karib kerabat dan orang-orang yang telah mengikat perjanjian…”
c. Hubungan pemerdekaan hamba; yaitu hubungan seseorang dengan hamba sahaya
yang telah dimerdekakannya.Hubungannya disini hanyalah hubungan sepihak dalam
arti orang yang telah memerdekakan hamba berhk menjadi ahli waris bagi hamba sahaya
yang telah dimerdekakannya; ttapi hamba sahaya yang dimerdekakan tidak berhak
mewarisi orng yang memerdekakannya. Dasar hukum dari hubungan pemerdekaan
sebagai hubungan kewarisan dalam firman Allah yang tersebut sebelum ini.
C.
Rukun Dan Syarat Kewarisan
Adapun
rukun kewarisan itu adalah:
a. Orang yang telah mati dan meninggalkan harta yang akan beralih kepada
orang yang masih hidup disebut pewaris atau muwarrits.
b. Harta yang beralih dari orang
yang mati kepada yang masih hidup yang disebut harta warisan atau al-mawrust.
c. Orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati
tersebut yang disebut ahli waris atau al-waris.
5. MUA’MALAT
Kata
mua’amalat yang kata tunggalnya mua’malah yang berakar pada kata “Aamil” secara
arti kata mengandung arti “saling berbuat” atau berbuat secara timbale balik.
Lebih sederhana lagi berarti “hubungan antara orang dengan orang”. Bila kata
ini dihubungkan kepada lafadz fiqh, mengandung arti aturan yang mengatur
hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia. Ini
merupakan imbangan dari fiqh ibadat yang mengatur hubungan lahir antara
seseorang dengan Allah Pencipta.
Hubungan
antara sesama manusia dalam pergaulan dunia senantiasa mengalami perkembangan
dan perubahan sesuai dengan kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu
aturan Allah yang terdapat dalam Al-Quran tidak mungkin menjangkau seluruh segi
pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam muamalat dan dalam bentuk umum yang
mengatur secara garis besar. (syarifuddin, 2010 : 176)
Bentuk-bentuk muamalah, diantaranya sebagai
berikut:
A. Jual Beli
Macam-macam
jual beli, diantaranya sebagai berikut:
1.
Jaul beli gharar
2.
Jual beli mulaqih
3.
Jual beli mudhamin
4.
Jual beli hushah
5.
Jual beli muhaqalah
6.
Jual beli munabazah
7.
Jual beli mukhabarah
8.
Jual beli tsunayya
9.
Jual beli ‘asb al-fahl
10.
Jual beli mulamasah
11.
Jual beli munabazah
12.
Jual beli ‘urban
13.
Jual beli talqi rukban
14.
Jual beli musharrah
15.
Jual beli shubrah
B. Sewa Menyewa Dan Upah Mengupah Atau Ijarah
Rukun dan
syarat sewa menyewa :
1.
Orang yang menggunakan jasa
2.
Orang yang memberikan jasa
3.
Objek transaksi
4.
Imbalan atas jasa yang diberikan.
C. Pinjam Meminjam
D. Utang Piutang
E. Agunan
Unsur-unsur
yang terlibat dalam muamalah agunan itu adalah:
1.
Orang yang berhutang dan menyerahkan barang
berharga sebagai jaminan, disebut orang yang memberikan agunan
2.
Orang yang berpiutang dan menerima barang
sebagai agunan, disebut orang yang memegang agunan
3.
Barang yang diagunankan
F. Pemberian
G. Waqaf
Bentuk-bentuk
waqaf ada dua bentuk, diantaranya:
1.
Hasil dari harta yang diwaqafkan itu
langsung digunakan bagi kepentingan agama dan masyarakat, disebut waqaf khoeri
seperti membangun mesjid, rumah sakit, gedung sekolah dan lain-lain
2.
Hasil dari harta waqaf lebih dahulu
digunakan untuk kepentingan kerabat, kemudian diserahkan bagi kepentingan agama
dan masyarakat. Waqaf ini disebut waqaf zurriy.
H. Wasiat
6. JINAYAH
Para ulama
mengelompokkan jinayah itu dengan melihat kepada sanksi hukuman apa yang
ditetapkan, ada 3 kelompok diantaranya:
1.
Qisas diyat, yaitu tidak kejahatan yang
sanksi hukumannya adalah balasan setimpal (qisas) dan denda darah (diyat). Yang
termasuk kelompok ini adalah pembunuhan, pelukaan dan penghilangan bagian
anggota tubuh;
2.
Hudud, yaitu kejahatan yang sanksi
hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan Nabi. Yang termasuk
dalam kelompok ini adalah : pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan zina
tanpa bukti, minum minuman keras, maker dan murtad;
3.
Ta’zir, yaitu kejahatan lain yang tidak
diancam dengan qisas-diyat dan tidak pula dengan hudud. Dalam hal ini
ancamannya ditetapkan oleh imam atau penguasa.
7. KHILAFAH
Sebuah peraturan hukum dalam agama islam
yang diwajibkan oleh tuhan penguasa ala mini adalah peraturan khilafah yang
diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan apa yang allah turunkan.
Seorang hakim yang menghukumi diantara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan oleh Allah setelah
Rasul, maka ini dinamakan seorang khalifah, dan peraturan dalam hukum ini
menunjukan peraturan khilafah. Ini sebuah keutamaan dari menegakkan sebuah
batasan (hudud) dan terlaksananya sebuah hukum-hukum wajib, dan ini tidak akan
terealisasi kecuali oleh seorang hakim. Dalam sebah kaidah ilmu ushul fiqh "ما لا
يتم الواجب إلا به فهو واجب " “tidaklah sempurna sebuah kewajiban kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu tersebut menjadi wajib”.(taqiyudin, 2005 :10).
Ini menunjukan bahwa wajib tegaknya sebuah
khilafah untuk menegakkan hukuman-hukuman yang turun dari Allah seperti qisash,
rajam dan lain-lain. Karena hukuman-hukuman tersebut tidak akan bisa diterapkan
atau ditegakkan kecuali setelah tegaknya sebuah khilafah yang mana khalifah
(hakim) pelaksana hukuman tersebut terlah berdiri.
Ada
perbedaan-perbedaan antara khilafah islamiyah dan hukum yang terkenal di dunia, diantaranya
sebagai berikut :
a. Khilafah bukan peraturan sebuah kerajaan
b. Khilafah bukan sebuah peraturan perserikatan
c. Khilafah bukan peraturan kesepakatan
Dalam
kekhilafahan ada hal-hal yang wajib diperhatikan, diantaranya :
1. Khalifah
Khalifah
adalah seseorang yang ditunjuk oleh umat dalam sebuah urusan hukum dan
kekuasaan, dan mengeksekusi hukum-hukum syariat. Oleh karena itu, bahwasannya
islam telah menjadikan sebuah hukum dan kekuasaan tersebut untuk umat, dan
Allah telah mewajibkan kepadanya untuk menjalankan hukum-hukum syari’at
seluruhnya.(taqiyudin, 2005 : 20)
Syarat-syarat
untuk menjadi khalifah :
a. Harus seorang yang muslim
b. Seorang laki-laki
c. Yang baligh
d. Orang yang berakal
e. Orang yang adil
f. Seseorang yang merdeka (bukan seorang budak)
g. Seseorang yang mampu (khadir)
2. Menteri Pembantu ( mu’awanun)
Mereka
adalah orang yang membantu khalifah untuk membantu dalam menanggung beban
sebuah khilafah dan tanggung jawab dalam menanggungnya. Karena banyaknya beban
sebuah khilafah, terutama ketika berkembangnya sebuah khilafah dari yang mampu
mengganggu berjalannya sebuah kekhilafahan.
Adapun
syarat-syarat seorang menteri adalah sama dengan syarat yang telah disebutkan
untuk syaratnya khalifah, yaitu seorang laki-laki, merdeka, adil, baligh,
berakal dan mampu. Karena beban yang ditanggung oleh seorang menteri hampir
sama dengan seorang khalifah yang akan menegakkan sebuah hukum islam.
3. Gubernur
4. Pemimpin Jihad
5. Perusahaan
6. Majlisul Ummah
Banyak
sekali penjelasan tentang bagaimana tata cara yang harus dilakukan agar sebuah
khilafah itu tegak dan akan menjadi sebuah hukum yang adil dalam masyarakat
baik yang muslim maupun nonmuslim. Namun penjelasan tentang hal ini tidak cukup
untuk dimuat dalam sebuah resume ini.
Daftar pustaka
1.
Muhaimin, 2005. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana
2.
Syarifuddin Amir, 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana
3.
___________, 2005. Ujhijah Daulah Khilafah Fi Hukum Wa Idaroh.
Bairut: __
Tidak ada komentar:
Posting Komentar