BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaidah Asasiyah
tentang اليَقِيْنُ لاَ
يُزَالُ بِالِشَّكِّ . Sebagaimana yang telah
kita ketahui, bahwa kaidah fikih itu memiliki ruang lingkup dan cakupan yang
berbeda, dari ruang lingkup yang luas dan cakupan yang paling banyak sampai
kepada kaidah-kaidah fikih yang ruang lingkup sempit dan cakupannya sedikit.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang kaidah asasi yang kedua, yaitu kaidah
tentang keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan. Dimana setiap kaidah
ini sangat penting, karena menyangkut masalah dalam kehidupan sehari-hari kita.
Selain itu Allah SWT sama sekali tidak ingin membuat ummat-Nya merasa
kesulitan, bahkan Allah SWT menginginkan kemudahan. Sebagaimana dalam hadits
dikatakan الدِيْنُ يُسْرٌ artinya bahwa agama islam itu mudah, maka
dengan kaidah asasiyah ini telah mencangkup bagaimana Allah dalam menurunkan
syari’at islam buat seluruh manusia ini tidak ada unsur memberatkan dalam
pelaksanaannya.
Di dalam
kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan
keyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadast,
kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum, namun yang ia yakini
bahwa ia sebelumnya telah berwudhu, maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya
saja untuk kehati-hatian, yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya.
Dengan hadirnya kaidah اليَقِيْنُ
لاَ يُزَالُ بِالِشَّكِّ akan memberikan penguat
bagi kaum muslimin ketika mengalami sebuah keraguan dalam peribadatan yang
mereka lakukan, sehingga tidak mudahnya membatalkan atau menganggap bahwa
sebuah ibadah yang telah dilakukan dan ditengah pelaksanaannya mengalami
kelupaan pada salah satu syarat atau rukun dalam ibadah tersebut menjadi
batallah seluruh ibadahnya.
Dengan demikian,
penulis akan berusaha memaparkan bagaimana kaidah asasiyah ini muncul dan
menjadi sebuah sumber pendalilan dalam kaidah fiqhiyah (kaidah-kaidah furu’).
Sehingga makin jelaslah bagaimana para ulama ushul dan ulama fiqh beristinbath
dengan menggunakan kaidah ini dan menjadikannya sebuah argument kuat dalam
pengambilan keputusan hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah yang penulis akan jelaskan adalah sebagai berikut :
1.
Pengertian kaidah asasiyah اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالِشَّكِّ
2.
Dalil dan sumber pembenrukan kaidah اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالِشَّكِّ
3.
Kaidah-kaidah furu’
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan
makalah ini, penulis berharap sebagai berikut :
1.
Bertambahnya ilmu pengetahuan
2.
Mengetahui pengambilan sumber kaidah tersebut
3.
Memahami dalam penggunaan kaidah tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah
Kaidah yang kedua adalah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ “ Keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan “ kaidah
ini menjelaskan tentang keyakinan dan keraguan. اليَقِيْنُ dalam arti bahasa adalah
kemantapan hati atas sesuatu, اليَقِيْنُ (Yaqin) juga bisa dikatakan pengetahuan
dan tidak ada keraguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin
yang artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.
Sedangkan pengertian menurut istilah sangat banyak sekali,
diantaranya yang dikatakan oleh para ulama :
1.
Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu
bahwasanya ”Begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali
dengan ”Begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan
untuk menghilangkannya”.
2.
Menurut Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang
bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan
sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
3.
As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti
yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.
Dari ketiga pengertian yang ulama sebutkan tentang “yakin”,
semuanya sepakat bahwa keyakinan adalah “sesuatu yang bersifat pasti” tidak
bisa dirubah dengan sebuah keraguan yang datang.
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan,
atau bisa dikatakan dengan sesuatu yang mendatangkan kebingungan. Sedangkan
menurut pengertian istilah adalah sebagai berikut :
1.
Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
2.
Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat
dimenangkan salah satunya”.
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan diantara dua
hal yang mana tidak bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satunya, namun
apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan
Asy-Syakk. Kaidah الْيَقِينُ
لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ sama dengan asas praduga
tak bersalah dalam hukum barat, karena seorang muslim harus memiliki rasa husnu
zhan (berprasangka baik) dalam menanggapi segala sesuatu yang sifatnya ada dua
kemungkinan, sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.
Adapun yang dimaksud dengan ( yakin ) ialah:
اليَقِيْنُ
هُوَ مَا كَانَ ثَابِتًا بِالنَّظْرِ وَالدَلِيْلِ
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan
karena penglihatan atau dengan adanya dalil”
Sedangkan yang dimaksud ( syak )
ialah:
الشَكُ هُوَ مَا كَانَ مُتَرَدِدًا بَيْنَ الثُبُوْتِ وَعَدَ مِهِ مَعَ
تُسَاوِيِ طَرْفِيِ الصَوَّابِ وَالخَطَإِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ أَحَدُهُمَا عَلَى الْأَخَرِ
“Keraguan
adalah pertentangan antara tetap dan tidaknya, di mana pertentangan tersebut
sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa ditarjihkan salah satunya
terhadap yang lain”
Jadi maksud
kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka
yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal
yang masih ragu-ragu). Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam
Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1.
Keraguan yang berasal dari sesuatu yang haram
2.
Keraguan yang berasal dari sesuatu yang mubah
3.
Keraguan yang berasal dari sesuatu yang syubhat (tidak jelas halal
dan haramnya)
Dari
uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang
bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan.
Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu
adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan
termasuk sesuatu yang terbebankan.
B. Dalil Dan Sumber Pembentukan Kaidah
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ sebagai kaidah yang kedua ini mengenai keyakinan dengan
keraguan, antara lain sebagai berikut:
1.
Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ
أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ
لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ
رِيحًا
Artinya:
“ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan
apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan
sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
2.
Sabda Nabi Muhammad SAW :
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى
ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا
شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا
تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Artinya: “ Dari Abu Sa’id Al Khudri
berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian
ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia
mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang
dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu
shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan
jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat
jengkel setan.” (HR. Muslim)
C. Qaidah-Qaidah Furu’
Kaidah-kaidah yang diambil dari الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ (tentang keyakinan dan
keraguan) ada 11 (sebelas) yang
merupakan furu’ (sub-sub) dari kaidah tersebut, yaitu:
1.
الْيَقِنُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
“
Keyakinan bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula “
Maksudnya
apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang
hal tersebut, maka keyakinan kedualah yang dianggap benar.
Contoh: Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena
percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan
bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena
air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti
kuat bahwa air itu najis.
2.
أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِينٍ لَا يَرْتَفِعُ إلَّا بِيَقِينٍ
“ Bahwasanya
apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan lagi “
Dalam
kaidah diatas berhubungan dengan jumlah
bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang
meyakinkan.
Contoh: Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya,
kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah
yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mu’amalah atau hubungan sesama
manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan
hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT
seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan
terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita
sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
3.
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
“ Hukum asal
adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab “
Pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang
berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari
tanggungan sampai ada yang mengubahnya.
Contoh: Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai
dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa.
4.
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
“
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya “
Keadaan
ini seperti dalam contoh diatas atau kaidah sebelumnya bisa terjadi perubahan
lagi, manakala ada unsur lain yang mengubahnya.
Contoh : Mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai
mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya.
Contoh
lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu,
sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut,
maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan berwudhu (tetap dalam keadaan
suci).
5.
الْأَصْلُ الْعَدم
“ Hukum asal
adalah ketiadaan “
Contoh : pak ikin membeli HP android buatan china, ketika HP tersebut
dibawa ke rumahnya, HP tersebut tidak berfungsi ( mati/eror ) . dalam hal ini
penjual tidak perlu mengganti HP pak ikin, karena dari awal penjualan, HP
tersebut telah di uji coba dulu oleh pak ikin ( sebagai pembeli).
6.
الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقْدِّ يْرُهُ بِأَقْرَبِ زَّمَنٍ
“
Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat
kepadanya “
Apabila
terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut,
karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.
Contoh: Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan
dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang
beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan
karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.
7.
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى
التَّحْرِيم
“
Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya “
Maksudnya
selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya
adalah boleh.
Contoh: Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau
memperjualbelikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah,
maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut
sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya.
Kaidah
ini hanya berlaku bagi hal-hal yang berkenaan dengan mu’amalah, sedangkan
hal-hal yang berkenaan dengan ibadah, maka kaidah yang digunakan adalah sebagai
berikut :
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْمبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيْلُ
عَلَى الْأَمْرِ
“
Hukum asal dalam ibadah (mahdah) adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya “
8.
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَة
“
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya “
Kaidah
ini memberi maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang
hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh
pengertian yang hakiki. Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah
arti yang sebenarnya.
Contoh: Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan
kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya.
Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat
ataupun ayah tirinya Jodi.
9.
لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
“
Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya “
Contoh: Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua
hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi,
karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya
kembali, karena ada persangkaan yang salah.
10.
لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
“ Tidak diakui
adanya waham (kira-kira) “
Maksudnya
adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan.
Contoh: Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang
banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain
yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan
saja.
11.
مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ
عَلَى خِلَافِهِ
“
Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya “
Contoh:
Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI),
kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih
hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan
masih hidup.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan tentang kaidah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ (keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan) ini,
pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila kita telah yakin terhadap sesuatu
dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti
lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita
itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas
sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djazuli, A. Ilmu Fiqh:
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. 2006. Jakarta: Kencana.
2.
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. 2006. Jakarta: Kencana
3.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi. 2002
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
4.
Musbikin, Imam. Qawa’id al-fiqhiyah. 2001. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
5.
Usman, Mukhlis. Kaidah-kaidah Istinbath hukum Islam. 2002. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar