OLEH : Hendri Permana
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits
biasa didefinisikan sebagai perkataan [qawl], perbuatan [fi’il] dan persetujuan
[taqrîr] yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw [kullu mâ udhîfa ilâ
an-Nabiyy min qawlin aw fi’lîn aw taqrîrin]. Ia merupakan teks berita yang
berasal dari Nabi. Ia juga biasa dikenal dengan istilah lain, seperti sunnah,
khabar dan atsar. Di antara ketiga istilah ini, sunnah lebih banyak digunakan
dari yang lain, sehingga hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah Nabi.
Sunnah secara bahasa berarti jalan, karena itu sering diterjemahkan sebagai
tradisi. Atau sesuatu yang biasa dijalankan Nabi Saw. Khabar secara bahasa
berarti berita, atsar berarti peninggalan dan hadits sendiri berarti sesuatu
yang baru, atau sesuatu yang diceritakan. Tetapi kemudian hadits dikenal
sebagai istilah untuk sesuatu yang dikisahkan dari atau mengenai Nabi Muhammad
Saw; baik ucapan, perbuatan atau penetapan.
Dalam
metodologi pengambilan dan penetapan hukum Islam [istinbâth], secara hirarkis
hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân. Argumentasinya, seperti yang
dinyatakan dalam ushul fiqh, bahwa hukum Islam adalah hukum Allah Swt. Hukum
Allah Swt harus bersumber dari rujukan wahyu dan kalam-Nya. Wahyu yang
langsung, primer dan pasti akurat [mutawâtir] adalah al-Qur’ân. Sementara
hadits adalah penjelas terhadap wahyu. Kalaupun hadits dianggap wahyu, maka ia
wahyu yang tidak langsung, sekunder dan dalam beberapa hal akurasinya tidak
terjamin. Tidak persis seperti al-Qur’ân yang purna-terjamin. Al-Qur’ân
dipastikan sebagai wahyu yang akurat, karena pada jalur transmisi [riwâyah], ia
diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasi [mutawâtir]. Sementara
kebanyakan teks-teks hadits, ditransmisikan secara lebih sederhana, oleh satu
atau dua orang [ahâd], yang masih menyisakan adanya kemungkinan salah dan alpa,
bahkan bohong [ihtimâl al-khata’ wa an-nisyân wa al-kidzb]. Karena itu, hadits
menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân dalam penempatan sebagai sumber hukum
Islam.
Oleh
sebab itu, penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana hadits-hadits yang
menyatakan tentang perempuan dan bagaimana cara memaknai hadits tersebut,
karena ada kemungkinan dalam pemaknaan hadits tersebut ada kekeliruan dan
prespektif orang yang memahaminya, atau bahkan ada makna yang tersembunyi di
dalamnya.
B. Rumusan Masalah
- Memaknai hadits prespektif perempuan
- Memaknai lafal hadits keniscayaan ragam pemaknaan
- Membumikan hadits
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah keingin tahuan penulis
tentang hadits-hadits yang berprespektif gender dimaknai oleh ulama-ulama, dan
ingin lebih mengenal bagaimana memahami hadits tersebut dengan tujuan makna
yang dimaksud (sebenarnya)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Memaknai hadits prespektif perempuan
Hadits
biasa didefinisikan sebagai perkataan [qawl], perbuatan [fi’il] dan persetujuan
[taqrîr] yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw [kullu mâ udhîfa ilâ
an-Nabiyy min qawlin aw fi’lîn aw taqrîrin]. Ia merupakan teks berita yang
berasal dari Nabi. Ia juga biasa dikenal dengan istilah lain, seperti sunnah,
khabar dan atsar. Di antara ketiga istilah ini, sunnah lebih banyak digunakan
dari yang lain, sehingga hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah Nabi.
Sunnah secara bahasa berarti jalan, karena itu sering diterjemahkan sebagai
tradisi. Atau sesuatu yang biasa dijalankan Nabi Saw. Khabar secara bahasa
berarti berita, atsar berarti peninggalan dan hadits sendiri berarti sesuatu
yang baru, atau sesuatu yang diceritakan. Tetapi kemudian hadits dikenal
sebagai istilah untuk sesuatu yang dikisahkan dari atau mengenai Nabi Muhammad
Saw; baik ucapan, perbuatan atau penetapan.
Dalam
metodologi pengambilan dan penetapan hukum Islam [istinbâth], secara hirarkis
hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân. Argumentasinya, seperti yang
dinyatakan dalam ushul fiqh, bahwa hukum Islam adalah hukum Allah Swt. Hukum
Allah Swt harus bersumber dari rujukan wahyu dan kalam-Nya. Wahyu yang
langsung, primer dan pasti akurat [mutawâtir] adalah al-Qur’ân. Sementara
hadits adalah penjelas terhadap wahyu. Kalaupun hadits dianggap wahyu, maka ia
wahyu yang tidak langsung, sekunder dan dalam beberapa hal akurasinya tidak
terjamin. Tidak persis seperti al-Qur’ân yang purna-terjamin. Al-Qur’ân
dipastikan sebagai wahyu yang akurat, karena pada jalur transmisi [riwâyah], ia
diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasi [mutawâtir]. Sementara
kebanyakan teks-teks hadits, ditransmisikan secara lebih sederhana, oleh satu
atau dua orang [ahâd], yang masih menyisakan adanya kemungkinan salah dan alpa,
bahkan bohong [ihtimâl al-khata’ wa an-nisyân wa al-kidzb]. Karena itu, hadits
menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân dalam penempatan sebagai sumber hukum
Islam.
Imam
Syafi’i (Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, 150-204H/820M), dalam analisisnya
menyatakan bahwa hadits termasuk dalam kategori ‘berita personal’ [al-khabar
al-khâsh], yang hanya didengar dan ditransmisikan oleh kalangan tertentu,
bahkan terkadang oleh satu orang saja. Tidak seperti al-Qur’ân, sebagai ‘berita
publik’ [al-khabar al-‘amm], ia didengar, disaksikan dan ditransmisikan secara
publik, sehingga diterima oleh setiap muslim.
Karena sifat hadits yang personal, ia tidak bisa dipaksakan untuk
diyakini kebenarannya oleh setiap muslim.
Kualitas pengetahuan yang dimilikinya hanya bersifat praduga kuat
[zhanni], bukan aksiomatika agama [al-‘ilm adh-dharûri]. Karena itu, Imam
Syafi’i menyatakan “Kami tidak berhak meminta bertaubat kepada orang yang ragu
dengan kebenaran suatu hadits” [man syakka fîhi lam naqul lahû tubb]1.
Perbedaan hirarkis hadits dari al-Qur’ân tentu melahirkan perbedaan otoritas
[hujjiyah]. Otoritas hadits berada di
bawah otoritas al-Qur’ân. Sekalipun
demikian, hadits tetap memiliki otoritas yang cukup kuat jika dibandingkan
Ijmâ’ [konsensus ulama] dan Qiyâs [analogi].
Karena hadits merupakan perkataan
Nabi Saw penerima wahyu, sehingga ia menjadi media yang otoritatif bagi
penjelasan [bayân] dan perincian [tafshîl] makna-makna yang terkandung dalam
wahyu Allah Swt, al-Qur’ân. Hadits dalam
hal ini, bisa bersifat konfirmatif [ta’kîd] terhadap wahyu [al-Qur’ân], bisa
interpretatif [tafsîr] dan bisa juga afirmatif [ityân bi al-jadîd] dengan mendukung
hal baru yang tidak disebutkan oleh wahyu, tetapi sesuai dengan semangat dasar
yang diusungnya. Dalam hal ini, Imam
Syafi’i (150-204H) menyatakan bahwa hadits merupakan ‘pengetahuan bijak’
[al-hikmah], yang juga diamanatkan untuk disampaikan, sebagaimana al-Qur’ân
(QS. Al-Baqarah, 2: 129). Lebih jauh
lagi, bahwa penerimaan otoritas hadits merupakan bentuk implementatif dari
kewajiban beriman kepada Allah Swt yang mewajibkan beriman kepada Nabi Saw. Implementasinya, adalah menerima dan mengamalkan
hadits, sebagai pengamalan dari keimanan kepada Nabi Saw2. Sifat personalitas
[ahad] periwayatan hadits tidak menghalangi otoritasnya sebagai sumber hukum
Islam. Menurut Imam Syafi’i, hadits
sekalipun termasuk pengetahuan personal, ia wajib diterima dan diamalkan. Seperti halnya kita diharuskan menerima dan
mengamalkan kesaksian seseorang dalam persidangan, atau pemberitaan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi Imam
Syafii cukup tepat ketika menyatakan dengan rendah hati:
“Kalau
seseorang diperbolehkan menyatakan bahwa penetapan otoritas [tatsbît] hadits
merupakan kesepakatan [ijmâ’] seluruh ulama, maka sayalah yang paling berhak
untuk menyatakan itu. Tetapi tidak demikian, saya hanya menyatakan: bahwa
sepengetahuan saya, ulama fiqh tidak berbeda pendapat (pen: bukan ijmâ’) bahwa
hadits merupakan sumber hukum Islam”
Bisa
disimpulkan bahwa otoritas hadits diterima oleh mayoritas ulama, tidak oleh
seluruh ulama. Sementara otoritas
al-Qur’ân diterima bulat oleh seluruh ulama. Karena itu, wilayah cakupan
otoritas hadits hanya sebagai rujukan pengamalan dalam beragama [lil a’mâl],
tetapi tidak untuk rujukan keyakinan beragama [lâ lil ‘aqâ’id]. Hal ini dinyatakan oleh Ibn ash-Shalâh
(577-643H), an-Nawawî (631-676H) dan as-Suyûthi (849-911H) dan ulama-ulama
Hadits yang lain 4. Amalan agama,
seperti cara beribadah: shalat, puasa, zakat atau haji dan cara-cara pergaulan;
relasi keluarga, bertetangga, atau kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sementara keyakinan agama, seperti:
sifat-sifat Allah Swt, malaikat, kisah-kisah hari kiamat atau berita surga dan
neraka.
B. Memaknai lafal hadits : keniscayaan beragam pemaknaan
Studi
hadits, baik melalui kritik sanad maupun matan, adalah titik awal dari upaya
untuk memahami dan mengamalkan hadits.
Dengan kritik matan, ulama berusaha melakukan pemilahan lebih tajam
terhadap makna-makna yang terkandung di dalam teks hadits. Dengannya, korelasi matan dan dasar-dasar
lain menjadi lebih tegas, seperti konfirmasi ayat al-Qur’ân, hadits-hadits lain
dan fakta sejarah. Teks hadits juga
merupakan rangkaian huruf, kata dan kalimat yang membentuk lafal-lafal
tertentu. Dalam kata lain, teks hadits
adalah teks bahasa. Sebagai sebuah teks
bahasa, ia memiliki makna-makna yang terkait dengan struktur dan gaya bahasa
yang digunakan, serta kosa kata-kosa kata yang dipilih. Bahasa adalah produk budaya. Setiap bahasa mempunyai latar belakang
budaya. Tidak terkecuali bahasa Arab. Transformasi suatu ide melalui simbol-simbol
bahasa dan pemaknaannya oleh pembaca, sangat memungkinkan terjadinya keragaman,
perbedaan, bahkan reduksi dan distorsi. Dengan demikian, keragaman pemaknaan
menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dinafikan.
Misalnya
dalam fikih, teks hadits “faharraka ishba’ahu” dalam kaitan tasyahud
dalam shalat. Sebagian ulama memaknai:
menggerakkan telunjuk sekali lalu turun kembali menggenggam. Sebagian lain
memahami: menggerakkan telunjuk dengan mengangkatnya ke atas lurus menghadap
kiblat dan tidak diturunkan sampai bacaan tasyahhud selesai. Sebagian lain
memahami: menggerak-gerakkan telunjuk dengan mengangkatnya ke atas dan ke bawah
secara terus menerus. Yang lain memaknai: menggerak-gerakkan telunjuk dengan
memutar-mutarkannya ke atas, samping kanan, kiri dan
ke bawah, terus dilakukan demikian dari awal tasyahhud sampai bacaan selesai.
Dari
lafal yang sama, pemaknaannya bisa muncul berbeda-beda. Apalagi dalam
periwayatan hadits boleh dilakukan dengan lafal yang berbeda untuk suatu makna
yang dianggap sama. Seperti dinyatakan
oleh Nuruddin ‘Itr, para sahabat dan mayoritas ulama memperkenankan periwayatan
hadits dengan makna yang dipahaminya [arriwâyah bi al-ma’nâ], tidak harus sama
persis dengan lafalnya. Karena itu,
sahabat seperti Ibn Mas’ud, Anas dan Abi ad-Darda ra sering mengakhiri
periwayatan hadits dengan ujaran “kira-kira mirip seperti lafal ini” [aw
syabîhu dzâ aw nahwa dzâ], “mungkin tidak demikian lafalnya, tetapi maknanya
demikian” [allâhumma in lâ hakadzâ fa ka syakluhu], atau “sepertinya lafal yang
diucapkan Nabi adalah demikian” [aw kamâ qâla rasûlullâh]. Teks hadits, dengan lafal yang sama saja
memunculkan ragam pemaknaan dan pemahaman,
lebih lagi kalau lafalnya berbeda-beda.
Sejak
masa Nabi Saw, lafal hadits sangat memungkinkan munculnya ragam pemaknaan. Ragam pemaknaan ini didengar, dilihat dan
diakui oleh Nabi sendiri [taqrîr]. Untuk
memperjelas pernyataan ini ada sebuah contoh yang selalu dikutip oleh ulama
ushul fiqh ketika berbicara tentang ijtihâd pada masa Nabi Saw. Ketika para sahabat ra berangkat pulang dari
perang Ahzâb, Nabi Saw berujar kepada mereka, “Siapapun tidak diperkenankan
shalat Asar kecuali di kampung Bani Quraizhah [lâ yushalliyanna ahadun
al-‘ashra illâ fî banî quraizhah]”. Pada
prakteknya, ketika sebagian sahabat di dalam perjalanan menuju kampung Bani
Quraizhah menemukan waktu Asar hampir habis, mereka berselisih pendapat. Ada yang bersikukuh tidak akan shalat Asar di
perjalanan, harus di kampung Bani Quraizhah seperti yang diperintahkan Nabi,
sekalipun waktu habis. Ada yang memahami
bahwa perintah itu untuk memacu agar mempercepat perjalanan, sementara shalat
Asar harus tetap dilakukan di dalam waktu yang telah ditentukan.
Sebagian
sahabat memaknai pernyataan Nabi persis seperti yang terungkap dalam lafal,
yaitu hanya shalat di kampung Bani Quraizhah.
Sementara sahabat lain memahami tujuan dari lafal tersebut, yaitu
mempercepat perjalanan ke Bani Quraizhah bukan menangguhkan pelaksanaan shalat
di luar waktunya. Artinya, pemaknaan
tekstual dan kontekstual terhadap lafal hadits, sejak awal telah muncul dan
dilakukan oleh para sahabat pada masa Nabi Saw.
Dua
pemaknaan yang literal dan kontekstual terhadap suatu teks hadits, juga muncul
di kalangan ulama generasi berikutnya, baik dalam disiplin ilmu fikih, tafsir,
maupun ‘aqidah. Dalam fikih misalnya,
beberapa teks hadits yang berkaitan dengan zakat harta dan zakat fitrah,
dimaknai berbeda-beda oleh para ulama.
Teks hadits yang berkaitan dengan kewajiban zakat fitrah dengan gandum
dan kurma, dimaknai oleh madzhab Syafi’i sebagai kewajiban yang tetap dan tidak
berubah; bahwa dalam zakat fitrah yang harus dikeluarkan adalah gandum dan
kurma. Paling jauh mereka memaknai
dengan makanan pokok, sehinga makanan pokok dalam jenis apapun bisa digunakan
untuk membayar zakat fitrah. Tetapi
madzhab Hanafi lebih jauh memaknai bahwa zakat fitrah itu diwajibkan untuk
menutupi kebutuhan orang-orang miskin pada saat lebaran, sehingga tidaklah
penting yang diberikan apakah gandum, kurma, atau makanan pokok lain, yang
penting adalah menutupi kebutuhan mereka dengan ketentuan nilai gandum dan
kurma. Zakat fitrah bisa dibayar dengan
uang senilai gandum atau kurma, karena orang-orang miskin juga lebih tahu
kebutuhan yang mereka perlukan, dan uang mereka bisa memenuhi apa saja yang
mereka perlukan itu.
Begitu
juga teks hadits tentang ketentuan pengeluaran zakat fitrah setelah terbit
fajar dan sebelum shalat id pada hari raya.
Sebagian ulama memahmai ketentuan itu sebagai sesuatu yang tidak bisa
diganggu gugat. Sementara sebagaian yang
lain, memahami bahwa ketentuan itu terkait dengan konteks sosial yang masih
sederhana, rumah berdekatan, penduduk sedikit, dan bentuk makanan terbatas. Pada konteks lain, zakat fitrah juga bisa
dikeluarkan dari makanan-makanan lain, seperti beras, jagung dan sagu, bahkan
yang dikeluarkan adalah uang seharga makanan tersebut. Waktu pengeluaran zakat juga bisa dipercepat,
termasuk pada awal Ramadan, karena waktu yang ditentukan Nabi sudah tidak
memungkinkan lagi untuk dilakukan pengumpulan dan penegeluaran zakat fitrah.
Artinya,
pemaknaan hadits ada yang tekstual dan ada yang substansial. Pemahaman tekstual
pada praktiknya akan mempersempit ruang gerak cakupan hadits itu sendiri. Oleh karena itu, saat ini tuntutan untuk
menghindari simplifikasi pemaknaan hadits secara literal semakin menguat. Syekh
al-Ghazali mengkritik pedas kecenderungan pemaknaan literal terhadap hadits.
Muridnya, Al-Qaradhawi menawarkan delapan kerangka [ma’âlim wa dhawâbith]
pemahaman yang baik terhadap teks-teks hadits: mempertemukan dengan ayat
al-Qur’ân, mempertemukan dengan hadits-hadits lain yang satu tema, melakukan
pemilahan terhadap hadits-hadits yang kontradiktif, menelusuri
sebab-kondisi-tujuan hadits, memilah antara hadits yang terkait dengan
persoalan yang relatif dan yang prinsipal,
antara yang hakikat dan yang majaz, yang
terkait dengan persoalan supranatural dan natural, terakhir konfirmasi
dengan makna dari lafal-lafal hadits.
Dari
delapan kerangka ini, muaranya adalah kontekstualisasi pemahaman terhadap
lafal-lafal hadits. Lafal hadits jelas
tidak akan berubah, yang berubah adalah kondisi-kondisi kehidupan masyarakat
yang menjadi konteksnya. Lafal hadits
bisa dikatakan shalih likulli zamanin wa makanin, ketika dipahami sesuai dengan
konteksnya masing-masing. Karena itu,
ilmu asbab wurud al-hadits menjadi sangat penting dalam disiplin ilmu hadits.
C. Membumikan hadits
Teks
hadits adalah teks sejarah. Ia berkenaan
dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw: pernyataan, anjuran dan tindakan
beliau. Sebagai sebuah teks sejarah, ia
bersinggungan langsung dengan dinamika sosial masyarakat Arab pada masa hidup
Nabi. Meminjam istilah para pemikir
‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ seperti Taha Jabir al-‘Ulwani dan Abd al-Hamid
Abu Sulayman, bahwa teks hadits tidak mengangkangi ruang dan waktu [lâ yat’âla
alâ al-makân wa az-zamân]. Ia muncul,
hidup dan bermakna dengan konteksnya.
Teks
hadits, dengan sifat demikian dipahami oleh beberapa ulama dengan melihat
tujuan pokok dan akar persoalan yang terkandung. Pemahaman yang tersurat dari lafal teks
menjadi tidak final dan tidak harus diberlakukan secara mutlak. Pemahaman literal hanya berlaku pada konteks
munculnya saja. Ketika konteks sosial
berubah, maka yang harus dikedepankan adalah tujuan pokok yang terkandung pada
teks, bukan lafal teks.
Dalam
hal ini Ibn Khladun mencontohkan, bahwa hadits, “Kepemimpinan itu di tangan
orang-orang Quraisy”, harus dipahami pada konteks di mana suku Quraisy memiliki
ketokohan, ketangguhan, kekuatan dan realitas politik. Ketika suku Quraisy tidak lagi memiliki
sifat-sifat ini, maka kepemimpinan tidak lagi diberikan kepada mereka,
sekalipun lafal hadits menyatakan demikian.
Kepemimpinan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki karakter-karakter
dasar, seperti yang dimiliki oleh orang Quraisy dulu. Artinya, pokok persoalannya tidak terletak
pada orang Quraisy, tetapi pada karakter kepemimpinan orang Quraisy.
Bagi
syekh Muhammad al-Ghazali, hadits “Tidak akan bahagai suatu kaum yang menyerahkan
kepemimpinan mereka kepada seorang perempuan” harus dipahami sesuai
konteksnya. Karena jika tidak, teks
hadits ini akan berseberangan dengan realitas keberhasilan kepemimpinan
perempuan di muka bumi ini. Teks hadits
itu menceritakan tentang konteks kepemimpinan seorang ratu Persia, yang harus
mewarisi dinasti yang sedang goyah.
Realitas sosial politik bangsa Persia saat itu sedang kacau, kalah
perang dengan Romawi, terjadi anarkhi di mana-mana. Mereka memerlukan kepemimpinan yang tangguh,
kuat, disiplin dan mengerti persoalan mereka.
Pada saat demikian, ternyata tahta kerajaan diwariskan kepada seorang
perempuan yang masih muda dan tidak mengerti persoalan kerajaan. Nabi hanya bercerita tentang realitas, bukan
berbicara tentang keputusan hukum tentang kepemimpinan perempuan.
Hadits-hadits
mengenai berbagai larangan terhadap perempuan, seperti larangan mencukur
rambut, membuat tato, menyambung rambut, mencukur alis, atau yang lain, bagi
Syekh Muhammad bin ‘Asyur (1879-1973), juga harus dipahami sebagai sesuatu pada
konteks Arab pada saat itu. Kata Ibn
Asyur, larangan itu turun karena perbuatanperbuatan tersebut pada zaman dulu
menjadi ciri khas perempuan-perempuan pelacur yang tidak memliki harga
diri. Artinya, larangan tidak mengarah
kepada perbuatan tetapi kepada sesuatu yang memotivasi perbuatan tersebut. Yaitu menghancurkan kehormatan dan harga diri
perempuan. Karena, mencukur atau
menyambung rambut adalah salah satu cara untuk berhias, sama seperti bercelak
dan menggosok gigi. Kalau berhias itu
dilarang, maka jenis apapun dan untuk siapapun juga harus dilarang. Tetapi ternyata Islam memperkenankan
seseorang, termasuk perempuan untuk berhias, selama tidak digunakan untuk
hal-hal yang menistakan harga dirinya.
Artinya
teks-teks hadits harus dimaknai dalam bingkai konteks sosialnya. Teksteks hadits ‘relasi laki-laki dan perempuan’ adalah
potret realitas sosio kultur masyarakat dalam kaitannya dengan
persoalan-persoalan relasi tersebut. Ia
harus dipahami dengan logika historisitasnya untuk tujuan transformasi keadilan
dan kemaslahatan. Sebagai sebuah rekaman
kasus, teks-teks hadits mungkin masih
mengakomodasi realitasrealitas yang bias gender. Karena itu kita temukan beberapa lafal
hadits, secara literal memandang rendah terhadap perempuan. Tetapi teks-teks ini harus dipahami dalam
konteksnya dan diintegrasikan dengan semangat transformatif yang diusung oleh
alQur’ân dan hadits-hadits lain.
Prinsip
keadilan dan kemaslahatan adalah prinsip dasar dan cita sosial Islam. Di atasnya ditegakkan seluruh bangunan hukum
Islam. Pemaknaan teks-teks ‘relasi
laki-laki dan perempuan’ adalah benar ketika diintegrasikan dengan prinsip
dasar ini. Ketika pemaknaan terjadi yang
sebaliknya, maka harus digugat validitasnya dan diluruskan.
Beberapa
prinsip keadilan, dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan telah
ditegaskan oleh al-Qur’ân. Prinsip
tersebut adalah:
Pertama, bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang
sama (QS. An-Nisa, 4:1). Karena itu
kedudukan mereka sama dan sejajar; yang membedakan hanyalah kualitas kiprah
[taqwa] (QS. Al-Hujurât, 49:31).
Kedua, perempuan dan laki-laki sama-sama dituntut untuk mewujudkan
kehidupan yang baik [hayâtan thayyibab] dengan melakukan kerja-kerja positif
[‘amalan shâlihan] (QS., An-Nahl, 16:97).
Untuk tujuan ini, diharapkan perempuan dan laki-laki bahu membahu,
membantu satu dengan yang lain (QS. At-Taubah, 9:71).
Ketiga, bahwa perempan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk
memperoleh balasan yang layak atas kerja-kerja yang dilakukan (QS. Al-Ahzâb,
33:35).
Pemaknaan
hadits-hadits ‘relasi laki-laki dan perempuan’ harus memperhatikan
prinsip-prinsip yang bersifat konseptual dalam tataran yang lebih praksis dan
operasional. Yang terkait relasi
perkawinan misalnya, ada beberapa prinsip: kerelaan kedua belah pihak dalam
kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233), tanggung jawab
[al-amânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), komitmen bersama untuk membangun kehidupan
yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-mawaddah wa ar-rahmah] (QS.
Ar-Rum, 30:21), perlakuan yang baik antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS.
An-Nisa, 4:19), selalu berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS.
Al-Baqarah, 2:233, Ali ‘Imrân, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38) dan menghilangkan
‘beban ganda’ dalam tugas-tugas keseharian [al-ghurm bil ghunm] .
Prinsip-prinsip
ini menjadi panduan bagi pemaknaan ulang terhadap haditshadits yang terkait
dengan ‘relasi laki-laki dan perempuan’.
Sampai saat ini masih banyak pemaknaan hadits yang menimbulkan
ketimpangan ‘relasi laki-laki dan perempuan’.
Ketimpangan yang justru menyalahi prinsip-prinsip dasar yang telah dibangun
oleh al-Qur’ân dan hadits. Karena itu,
pemaknaan ulang terhadap seluruh teks-teks hadits ‘relasi laki-laki dan
perempuan’ harus dilakukan, untuk menemukan cita keadilan sosial Islam dalam
tataran realitas.
Misalnya
hadits yang melarang perempuan untuk bepergian:
“Tidak
dihalalkan bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
bepergian tanpa ditemani mahram [keluarga dekat], sejauh jarak tempuh
perjalanan tiga hari tiga malam” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Hadits
ini harus dipahami sebagai upaya mewujudkan perlindungan kepada orangorang
lemah dari kemungkinan-kemungkinan kejahatan yang muncul. Perempuan pada saat itu termasuk kategori
orang-orang lemah yang perlu dilindungi.
Karena itu, bila bepergian jauh harus ditemani oleh keluarga dekatnya
[mahram]. Keluarga dekat biasanya
memiliki jalinan emosional yang cukup kuat, sehingga perlindungan dan keamanan
bisa diberikan. Kemungkinan terjadinya
sesuatu yang buruk terhadap perempuan bisa dihindari dengan kehadiran
kerabatnya, atau mahramnya.
Artinya,
makna hadits tersebut bukan pelarangan terhadap perempuan tertentu untuk
melakukan bepergian. Tetapi perintah
untuk melindungi perempuan dari kemungkinan terjadinya kejahatan ketika ia
bepergian. Karenanya, pelarangan ini
menafikan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam memperoleh kesempatan dan akses
yang sama terhadap aktivitas kehidupan, tanpa membedakan jenis kelamin, ras
maupun bangsa. Maka, ketika Nabi
mendengar ada seorang perempuan yang bepergian sendirian untuk menunaikan
ibadah haji, beliau tidak melarang perempuan tersebut, tetapi justru menegur
suaminya dan menyatakan kepadanya, “Susullah dan temani isterimu” (Riwayat
al-Bukhari dan Muslim)35. Ini, adalah
pernyataan tegas dari Nabi bahwa inti persoalannya terletak pada jaminan dan
perlindungan keamanan, bukan pada pelarangan bepergian.
Jika
persoalannnya adalah perlindungan, maka seluruh komponen masyarakat dianjurkan
untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan dan pengamanan kepada seluruh
warga. Sungguh sangat naif, jika terjadi
sesuatu yang menimpa perempuan, kemudian perempuan dilarang untuk keluar
melakukan aktivitas dengan alasan keamanan.
Mengapa tidak dengan alasan yang sama laki-laki seharusnya yang dilarang
untuk keluar, agar perempuan bisa aman melakukan perjalanan dan aktivitas-aktivitas
lain?
Dalam
masyarakat modern dan beradab, stabilitas sosial tidak lagi bergantung pada
orang dan komunalisme, melainkan pada sistem dan struktur yang rasional, termasuk
kepastian hukum. Fungsi pengamanan dan
perlindungan sosial seharusnya menjadi bagian dari kerja sistem dan struktur
tersebut. Seharusnya, negara melalui
sistem politik dan hukumnya menjamin pengamanan dan perlindungan bagi setiap
warganya, baik laki-laki maupun perempuan.
Negara dituntut mewujudkan pengamanan, bukan individu. Tak berdasar apalagi negara melarang warga melakukan aktivitas
yang merupakan hak paling mendasar.
Dengan
demikian, memahami dan mengamalkan hadits harus melalui metodologi yang tepat,
yang telah dibangun oleh para ulama terdahulu.
Setiap hadits harus melalui pemilahan sanad, antara yang sahih dan yang
tidak sahih. Kemudian dilakukan kritik
matan, dengan penelitian dan penilaian terhadap kejanggalan [syudzûdz] dan
kerancuan [‘illah] makna yang terkandung di dalamnya. Teks hadits yang memuat kejanggalan atau kerancuan
makna, tidak dipertimbangkan untuk menjadi rujukan dalam pengambilan dan
pemutusan hukum. Kontekstualisasi
teks-teks hadits juga menjadi sebuah keniscayaan. Kontekstualisasi adalah pemaknaan yang
menyatu dengan cita sosial Islam, yang terangkum dalam prinsip fundamental dan
konseptual syarî’ah Islam. Karena
fondasi utama bangunan syarî’ah Islam, seperti yang dinyatakan oleh Ibn
al-Qayyim al-Jawzi adalah pada cita sosialnya: keadilan, kemaslahatan,
kerahmatan dan kebijaksanaan untuk semua, tanpa membedakan jenis kelamin, ras
dan suku bangsa. Dengan cara pandang demikian, segala bentuk
ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan harus dihentikan karena tidak
sesuai dengan cita sosial Islam. Cita
kebaikan bagi semua [rahmatan lil ‘alamîn]. Wallâhu a’lam.
BAB III
PENUTUP
Hadits
biasa didefinisikan sebagai perkataan [qawl], perbuatan [fi’il] dan persetujuan
[taqrîr] yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw [kullu mâ udhîfa ilâ
an-Nabiyy min qawlin aw fi’lîn aw taqrîrin]. Ia merupakan teks berita yang
berasal dari Nabi. Setelah wafatnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam,
maka banyak sekali permasalahan yang muncuk di hadapan umat ini, sehingga
membutuhkan sebuah penyelesaian yang dapat menuntaskan permasalahan tersebut.
Namun,
dalam cara pemahaman dari hadits tersebut, para ulama berbeda dan bahkan
perbedaan ini yang menyebabkan banyak makna yang bisa diambil manfaatnya dari
hasil pengistinbathan ulama. Sehingga memberikan pemahaman kepada kita bahwa
makna hadits yang ada bisa jadi salah dan bisa jadi benar.
Oleh
sebab itu, maka penelitian dan pembahasan tentang ilmu hadits terus berlangsung
sampai sekarang, karena hadits merupakan sumber dalil dan menjadi sumber kedua
dalam kehidupan setelah wahyu al-quran. Dengan demikian, maka jelaslah dalam
memahami hadits tersebut harus memiliki ilmunya, dan juga harus mampu
menyelesaikan dari sebuah permaslahan
yang sedang terjadi dengan cara mengambil inti makna hadits di dalamnya.
Dalam
prespektif gender ini, banyak pemahaman hadits yang mesti dikaji ulang untuk
memahami maksud yang sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan sebuah kontradiksi
dari makna yang diinginkan sebenarnya. Jangan sampai ada sebuah diskriminasi
hukum antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan
hukum tersebut.
Daftar Pustaka
- Abu Zakariya Muhy ad-Dîn Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ Syarh alMuhadzdzab, 1984: al-Maktabah as-Salafiyyah, Madinah, Saudi Arabia.
- Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqallâni, Fath al-Bâri, 1993: Dâr al-Fikr, Beirut, Libanon. Ahmad bin Muhammad Ibn Hanbal, al-Musnad, tt: Dar al-Fikr, Beirut, Libanon.
- Ali Ahmad an-Nadawi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah; Mafhûmuha, Nasy’atuhâ, Tathawwuruhâ, Dirâsat Mu’allafâtiha, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ, Tathbîqatuhâ, 1994: dar al-Qalam, Damaskus.
- Al-Khair Abadi, al-Manhaj al-‘Ilmi ‘ind al-Muhadditsîn fi at-Ta’âmul ma’a Mutûn asSunnah, Jurnal Islamiyyat al-Ma’rifah, tahun IV, no. XIII, 1998, IIIT, Kuala Lumpur, Malaysia.
- Ibn al-atisr, Jâmi’ al-Ushûl min Ahâdîts ar-Rasûl, 1983: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Bairut.
- Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwi fi Syarh Taqrîb an-Nawawi, ed. Ahmad Umar Hisyam, 1989: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Libanon.
- Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risâlah, ed. Abd al-Fattah bin Zhafir Kabbarah, 1999: Dar an-Nafa’is, Beirut-Libanon.
- Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, tt: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Libanon.
- Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ed. Musthafa Dib al-Bugha, 1987: Dar al-Qalam, Damaskus, Syria.
- Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, ed. Fuad Abd al-Baqi, tt: al-Maktabah al-Islamiyyah, Istanbul, Turki.
- Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, 1985: Dar al-Fikr, Damaskus
- Syekh Muhammad al-Ghazali, As-Sunnah an-Nabawiyyay bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl alHadits, 1992: Dar asy-Syuruq, Beirut, Libanon.
- Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989: Dar al-Fikr, Damaskus.
- Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah; al-Ma’alim wa adhDhawabith, 1999: IIIT, Cairo, Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar