BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Mungkin
di antara kita ada yang tidak mengetahui apa itu mahram dan siapa saja yang
termasuk mahramnya. Padahal mahram ini berkaitan dengan banyak masalah. Seperti
tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar) kecuali dengan mahramnya. Tidak
boleh seorang laki-laki dengan wanita berduaan kecuali dengan mahramnya. Wanita
dan pria tidak boleh jabat tangan kecuali itu mahramnya. Dan masih banyak
masalah lainnya.
Dalam
hal ini, islam sebagai agama terakhir yang membawa syariat terakhir, maka
islampun sudah memberikan rambu-rambu yang mengatur perkara ini, sehingga umat
muslim merasa aman dan terpeliharalah dari mulai jiwa dan kehormatannya. Konsep
mahram yang diatur oleh islam ini akan menjaga kemuliaan derajat wanita dan
laki-laki, sehingga tidak mudah untuk bergaul dan berinteraksi antar sesama
yang lain jenis.
Dalam
kamus istilah fiqh dikatakan bahwa mahram itu adalah yang haram dinikahi,
karena ada hubungan nasab atau susuan. Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya
boleh / tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang tidak boleh
keluar rumah, kecuali bersama dengan mahramnya / mahramahnya. (M. Abdul Mujieb
Mabruri Tholhah Syafi’ah, kamus istilah fiqh, hal. 186).
Bahkan
ada salah pengungkapan dimasyarakat dalam pengungkapan kata mahram ini. Ada
yang mengatakan mahram dengan kata muhrim, padahal dua kata ini sangat berbeda
dalam penggunaan dan dalam artinya. Muhrim digunakan untuk orang yang sedang
berihram, sedangkan mahram adalah seseorang yang di haramkan untuk menikahinya.
Dengan
penulisan makalah ini, semoga kita akan memahami siapa saja mahram kita dan apa
saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada mahram, sehingga kita tidak
salah dalam berucap mengatakan mahram dengan muhrim dan juga pelaksanaan dalam
pergaulan sehari-hari, agar kita mampu menjaga sikap dan diri kita agar tidak
terjerumus kedalam perbuatan dosa.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis
merumuskan beberapa hal yang akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya,
diantara rumusan masalah terebut antara lain :
1. Pengertian mahram;
2. Hadits-hadits yang berkenaan
dengan mahram;
3. Ayat-ayat al-quran yang
menjelaskan mahram;
4. Pendapat para ulama tentang mahram;
5. Realitas pergaulan mahram dan
bukan mahram di masyarakat.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan tentang konsep mahram
ini, penulis berharap tercapainya hal-hal berikut ini :
1. Memahami pengertian mahram;
2. Mengetahui hadits-hadits dan
ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang peraturan mahram;
3. Mengambil pendapat ulama disertai
dengan alasan mereka dalam menyingkapi masalah mahram;
4. Mampu melaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari tentang pengamalan mahram.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Mahram
Mahram diambil dari kata bahasaa arab : محرم adalah
semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena
sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. (https://id.wikipedia.org/wiki/Mahram).
Dalam kamus istilah fiqh dikatakan bahwa mahram itu adalah yang haram dinikahi,
karena ada hubungan nasab atau susuan. Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya
boleh / tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang tidak boleh
keluar rumah, kecuali bersama dengan mahramnya / mahramahnya. (M. Abdul Mujieb
Mabruri Tholhah Syafi’ah, kamus istilah fiqh, hal. 186). Terkadang sering salah dalam menggunakan
istilah mahram ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki
arti yang lain. Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang
berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan
kata mahram (mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita,
namun haram (tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya. Namun kita boleh
bepergian dengannya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya,
boleh berjabat tangan, dan seterusnya.
Imam
an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi berikut,
كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها
Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya,
disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih
Muslim, An-Nawawi, 9:105)
Dari definisi diatas kita dapat
mengambil sebuah kesimpulan, bahwasannya mahram itu adalah keluarga dekat yang
tidak boleh dinikahi secara mutlak dan ada yang boleh dinikahi dengan sebab.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengetahui mahram-mahram dalam keluarga
kita, agar kita tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa, atau bahkan menganggap
hal tersebut menjadi penyebab sebuah dosa.
Dalam masalah maham
pula ada yang hanya membatasi haram dalam pernikahan saja, bahkan ada pula yang
menjelaskan tentang haramnya bersentuhan dengan yang bukan mahram, mereka berdalil dengan hadits “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi
saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara
kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak
halal baginya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
dan juga ada yang mengharamkan bersafar tanpa dibarengi oleh mahram.
Seperti pendapat ulama Hanafiyah dan
Hambali.
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ
وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan
harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar)
Mengenai
mahram ini telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa : 22-24
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ
إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ
مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ (النساء : 22 – 24 )
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An Nisa’: 22-24)
Dalam sebuah hadits
banyak sekali yang menjelaskan tentang mahram, akan tetapi hadits-hadits ini
tidak secara utuh menjelaskan seluruh konsep mahram. Oleh sebab itu, kita akan
memahami fungsi syariat yang menjelaskan mahram dari beberapa hadits yang
diriwayatkan oleh para sahabat. Dibawah ini salah satu hadits yang mejelaskan
mahram :
وَعَنْهَا: (
أَنْ أَفْلَحَ -أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ- جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا بَعْدَ
اَلْحِجَابِ. قَالَتْ: فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ, فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخْبَرْتُهُ بِاَلَّذِي صَنَعْتُ, فَأَمَرَنِي أَنْ
آذَنَ لَهُ عَلَيَّ. وَقَالَ: إِنَّهُ عَمُّكِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“ Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa
suatu ketika Aflah -saudara Abu Qu'ais- datang meminta izin untuk bertemu
dengannya setelah ada perintah hijab. 'Aisyah berkata: Aku tidak
mengizinkannya. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang aku
beritahukan apa yang telah aku lakukan. Lalu beliau menyuruhku untuk
mengizinkannya seraya bersabda: "Sesungguhnya dia itu pamanmu
(sepenyusuan)." (HR. Muttafaq Alaihi)
B. Macam-macam mahram
Dilihat dari ayat Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 22-24 diatas dan juga beberapa hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wasallam, Mahram di sini
terbagi menjadi dua macam:
1.
Mahram Muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya;
Mahram muabbad dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor nasab, ikatan
perkawinan, dan disebabkan karena persusuan.
1.1. Mahram muabbad yang dipengaruhi
oleh nasab diantaranya; ibu, anak perempuan, bibi dari jalur ayah, bibi dari
jalur ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari
saudara perempuan.
Firman Allah Ta’ala
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan “
(QS. An-Nisa : 23)
1.2. Mahram muabbad yang dipengaruhi
oleh ikatan perkawinan, diantaranya; istri dari ayah, ibu mertua, anak tiri,
dan menantu (termasuk pula menantu dari yang sepersusu)
Firman Allah dalam Al-Qur’an
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ
“Ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)”
(QS. An-Nisa : 23)
1.3. Mahram Muabbad disebabkan oleh
persusuan, diantaranya :
a. Wanita yang menyusui dan ibunya.
b.
Anak
perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
c.
Saudara
perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
d.
Anak
perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara
persusuan).
e.
Ibu
dari suami dari wanita yang menyusui.
f.
Saudara
perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
g.
Anak
perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara
persusuan).
h.
Anak
perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
i.
Istri
lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Firman Allah dalam Al-Qur’an
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
مِنَ الرَّضَاعَةِ
“ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan” (QS. An-Nisa : 23)
Adapun
jumlah persusuan yang menyebabkan mahram adalah lima persusuan atau lebih.
Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu
Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud
dan Ibnu Zubair. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam
muslim
وَعَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ فِيمَا
أُنْزِلُ فِي اَلْقُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ, ثُمَّ
نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ, فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
وَهِيَ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ اَلْقُرْآنِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Yang
diharamkan al-Qur'an ialah sepuluh penyusuan yang dikenal, kemudian di hapus
dengan lima penyusuan tertentu dan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
wafat ketika keadaan masih tetap sebagaimana ayat al-Qur'an yang dibaca. (HR.
Muslim)
2.
Mahram Muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan
jika kondisi ini hilang maka menjadi halal kembali.
Diantara yang termasuk kedalam mahram muaqqot ialah :
2.1. Saudara perempuan istri (ipar),
seorang laki-laki tidak boleh menikahi saudara perempuan istrinya dalam satu
waktu, hal ini berdasarkan ijmak para ulama. Akan tetapi, jika istrinya
meninggal atau di talak, maka laki-laki tersebut boleh menikahi saudara perempuan
istrinya.
Firman Allah Ta’ala
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الأخْتَيْنِ
“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara” (QS. An-Nisa : 23)
2.2. Bibi dari istri ( baik dari
jalur ayah atau ibu ). Hal ini sesuai dengan hadits nabi shallahu ‘alaihi
wasallam
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى
خَالَتِهَا
“Tidak boleh seorang
wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain
Rasulullah bersabda
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها
“ Dari Abu Hurairoh
Radiyallahu Anhu, bahwasannya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
tidak boleh menghimpun (dalam perkawinan) perempuan dengan bibinya (baik bibi
dari ayah atau bibi dari ibu). (HR. Bukhari)
C. Pandangan para ulama terhadap mahram dalam bersentuhan
Beberapa perkataan ulama madzhab tentang
larangan bentuhan dengan orang yang bukan mahramnya mahram disini berlaku bagi
yang mahram muabbad dan muaqqot.
1.
Madzhab Hanafi
Penulis kitab Al-Hidayah berkata:
“Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menyentuh wajah atau telapak
tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”
Penulis kitab Ad-Dur Mukhtar mengatakan: “Tidak
diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak tangan wanita walaupun ia merasa
aman dari syahwat”
2.
Madzhab Maliki
Imam Ibnul Arabi, yang merupakan ulama madzhab Maliki,
berkata mengenai firman Allah yang artinya “Ketika datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia kepadamu, bahwa
mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun” (Al-Mumtahanah:
12) (Ayat ini turun berkenaan dengan wanita-wanita muslimah yang ingin berbaiat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam.
pent). Kemudian beliau menerangkan hadits dari Urwah bahwasanya ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha berkata: “Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wasallam diuji
dengan ayat ini “Jika datang kepadamu perempuan-perempuan beriman”. Ma’mur
berkata bahwasanya Ibnu Thawus mengabarkan dari bapaknya: “Tidak boleh seorang
laki-laki menyentuh tangan perempuan kecuali perempuan yang ia miliki”.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha juga mengatakan di
dalam Kitab Shahih Bukhari-Muslim: “Tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wasallam tidaklah menyentuh tangan perempuan ketika membaiat (mengadakan janji
setia)”. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam pun bersabda “(Ketika
membaiat) Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, namun aku membaiatnya dengan
ucapanku kepada seratus orang wanita sebagaimana baiatku kepada satu orang
wanita”. Diriwayatkan pula bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wasallam berjabat tangan dengan wanita menggunakan bajunya.
3.
Madzhab
As-Syafi’i
Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu’:
“Sahabat kami berkata bahwa diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita,
jika wanita tersebut telah dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan
untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya
atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu
ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun
dalam keadaan demikian.
4.
Madzhab
Hambali
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan
dalam Majmu Fatawa, “Haram hukumnya memandang wanita dan amrod
(anak berusia baligh tampan yang tidak tumbuh jenggotnya) diiringi dengan
syahwat. Barang siapa yang membolehkannya, maka ia telah menyelisihi Ijma
(kesepakatan) kaum muslimin. Hal ini juga merupakan pendapatnya Imam Ahmad dan
Imam Asy-Syafi’i. Segala hal yang dapat menimbulkan syahwat, maka hukumnya
adalah haram tanpa keraguan di dalamnya. Baik itu syahwat yang timbul karena
kenikmatan memandang atau karena hubungan badan. Dan menyentuh dihukumi
sebagaimana memandang sesuatu yang haram.”
D. Pandangan para ulama terhadap mahram dalam masalah batasan aurat yang boleh terlihat
Berikut
pendapat ulama dari empat madzhab besar:
1. Madzhab Al-Hanafiyah
Dalam madzhab
ini dikatakan bahwa batasan aurat antara wanita dengan mahramnya adalah:
anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut, punggungnya, dan perutnya.
Artinya, anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah yang
selain dari anggota tubuh tersebut, jika ada dalam keadaan aman dari fitnah dan
tidak disertai syahwat.
Dalilnya adalah firman Allah SWT
وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ…
Dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka...." (QS. An-Nur : 31)
Yang dimaksud
dengan kalimat 'jangan menampakkan perhiasannya' dalam ayat di atas adalah
bahwa larangan untuk menampakkan 'anggota tubuh' yang menjadi objek yang biasa
dipakaikan perhiasan. Sebab, melihat perhiasan itu sendiri hukumnya mubah
secara mutlak. Maka kepala boleh dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh
untuk dipakaikan mahkota, leher dan dada untuk kalung, telinga untuk anting,
pergelangan tangan untuk gelang, pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari untuk
cincin, punggungnya telapak kaki untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda dengan
perut, punggung dan paha yang lazimnya tidak untuk dipakaikan perhiasan.
2. Madzhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut ulama dari Madzhab Maliki dan
pendapat resmi dari kalangan Madzhab Hambali, anggota tubuh wanita yang boleh
terlihat oleh mahramnya hanya: wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki. Maka
haram baginya menampakkan dada, payudara, dan anggota tubuh lainnya dihadapan
mahramnya. Dan haram pula bagi ayah, anak laki-lakinya dan mahramnya yang lain
untuk melihat aurat dirinya selain pada empat anggota tersebut, walaupun tanpa
syahwat.
Sedangkan Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali
sedikit berbeda dengan pendapat resmi madzhabnya. Menurut beliau, batasan aurat
bagi wanita dengan mahramnya adalah seperti aurat antara laki-laki dengan
laki-laki, dan wanita dengan wanita. Yakni anggota tubuh yang ada di antara
pusar dan lutut.
Pendapat resmi ulama dari Madzhab Hambali
menambahkan bahwa mahram yang boleh melihat sebagian aurat si wanita itu
maksudnya mahram yang muslim maupun yang kafir. Dalilnya adalah bahwa Abu
Sufyan Bin Harb pernah masuk ke rumah putrinya yang bernama Ummu Habibah (salah
satu istri Rasulullah SAW) dalam keadaan tidak berhijab, tidak menutupi seluruh
auratnya. Dan saat itu Rasulullah SAW tidak menyuruh Ummu Habibah untuk
menutupi auratnya di hadapan Abu Sufyan, ayahandanya yang masih kafir.
3. Madzhab Asy-Syafi'yah
Mayoritas ulama dalam Madzhab Syafi'i
berpendapat bahwa aurat wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah
anggota tubuhnya selain yang ada di antara pusar dan lutut.Walaupun ada
sebagian lagi yang mengatakan bahwa anggota tubuh wanita yang boleh terlihat
oleh mahramnya adalah anggota tubuh yang biasa ia tampakkan saat ia
beraktifitas di dalam rumah. Seperti kepala, leher, dan tangan hingga siku,
juga kaki hingga lutut. Dan anggota-anggota tubuh tersebut juga menjadi batasan
aurat yang boleh dilihat wanita terhadap aurat mahramnya.
.
BAB III
Penutup
Demikianlah makalah tentang konsep mahram
telah kami sampaikan dimulai dari ayat-ayat al-qur’an, hadits-hadits nabi dan
pandangan para ulama tentang hukum yang berkenaan dengan mahram. Dalam mahram
ini dapat diketahui bahwasannya ada mahram yang sifatnya tetap, yakni mahram
muabbad. Dan adapula mahram yang hanya disebabkan adanya faktor tertentu,
seperti adanya ikatan pernikahan atau disebut dengan mahram muaqqot.
Dalam masalah penghukuman dalam
berinteraksipun ada batasan-batasan yang boleh dan tidak bolehnya kita langgar,
seperti dalam masalah bersentuhan, dalam masalah penampakan aurat, dan dalam
masalah perjalanan. Hal ini jelas islam mengaturnya agar tercipta sebuah
kehormatan dan penjagaan terhadap jiwa perempuan khususnya.
Jika kita ke Arab Saudi misalnya, akan kita
dapati para muslimahnya menutup seluruh tubuhnya tanpa kecuali, saat mereka
keluar rumah. Sebab masyarakat di negeri ini kebanyakan lebih condong
bermadzhab Hambali. Begitupula saat mereka beraktifitas di dalam rumah, tak
banyak menampakkan anggota tubuhnya, kecuali kepala, leher, tangan dan kaki.
Sebab –dalam madzhab ini- hanya bagian tubuh inilah yang boleh tampak oleh
mahramnya.
Begitu pula jika kita berkujung ke Asia
Selatan, seperti India dan Pakistan. Maka disana akan ditemui bahwa para
muslimahnya kebanyakan tidak menutup kaki hingga mata kakinya, bahkan saat
menunaikan shalat. Sebab mayoritas masyarakat disana cenderung bermadzhab
Hanafi.
Lain lagi dengan kita yang tinggal di
Indonesia. Hampir semua muslimahnya tidak menutup wajah dan telapak tangannya,
namun tetap banyak yang mengenakan kaos kaki agar bagian kakinya tertutupi
dengan baik.
Begitupula saat para wanita kita beraktifitas
di dalam rumah bersama mahramnya, banyak yang tetap menampakkan sebagian
punggung dan lengan atasnya. Hal ini disebabkan masyarakatnya lebih banyak yang
condong pada Madzhab Syafi'i.
Daftar Pustaka
1. Ad-Dimasyqi, ibnu katsir. ____.
Tafsir Ibnu Katsir.____: Sinar Baru Algensindo
2. Al-Qur’an Al-Karim dan
terjemahannya
3. Bukhari, Imam. Al-lulu’ wal
marjan.
4. Efendi, Sopyan. Hadits Web
kumpulan dan referensi belajar hadits.
5. Hidayat, Dani. 2008. Bulughul
Maram. Tasikmalaya : Pustaka Al-Hidayah
7. Syafi’ah, M. Abdul Mujieb. 2010.
Kamus Istilah Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus
izin ngambil beberapa hal kang
BalasHapus